END
Aku tetap bekerja pada hari-hari menjelang pernikahan. Selain untuk mengurangi stres juga agar bisa terlihat lebih waras. Bagaimana tidak? Ada saja masalah yang datang. Dari mulai bapak yang masuk rumah sakit karena kecapekan, sampai pada Mbak Amira yang harus pulang ke Norwegia karena mertuanya meninggal. Belum lagi acara di Kabanjahe yang sama sekali tidak diurus WO. Karena menurut mama mertuaku, mereka terbiasa mengurus pesta sendiri. Bagaimana bisa calon pengantin tidur nyenyak tanpa tahu sama sekali tentang konsep pesta yang disiapkan? Mana bukan kota besar? Bagaimana aku bisa percaya? Bahkan mama abang masih berada di Jakarta. Semua cuma dihubungi melalui telepon.
Bahkan sampai saat ini aku belum mendapatkan detail dekorasi, make up, katering, atau apa pun. Parahnya tidak tahu harus menghubungi siapa. Bayangkan, untuk pernikahanku sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Lusia tidak jauh berbeda, hanya mengatakan 'Kakak santai saja.' Dia waras nggak, sih, waktu ngomong begitu? Apa waktu dia menikah tidak melakukan apa pun? Pernah bertanya pada mama, jawabannya tidak jauh berbeda. Lalu aku harus bagaimana? Apa benar kalau di sana semua biasa diurusi sendiri?
Akhirnya aku hanya bisa pasrah karena tidak bisa melakukan apa-apa. Abang juga tidak mungkin diajak bicara terus-menerus. Sebagai laki-laki cenderung tidak peduli dengan hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Tidak jauh berbeda dengan keluarganya, menyuruhku santai. Semua tidak bisa kutoleransi, tetapi harus diam karena tidak ingin timbul masalah baru. Sudah keputusanku untuk menerima keinginan dari keluarga mereka. Jadi segala risiko kutanggung sendiri. Berulang kali ibu berusaha menenangkanku yang panik karena tidak bisa mengontrol emosi. Lama-lama bisa gila kalau di sini terus.
Kesal dengan semua, akhirnya kuputuskan untuk berakhir pekan di Bali sendirian pada minggu ketiga bulan Mei. Ibu mengijinkan karena melihatku stres. Kali ini ibu memang tidak memberikan nasehat apa pun selain kata sabar yang terus diulang berkali-kali. Sebenarnya ingin menangis, tapi pada siapa? Aku tidak punya tempat mengadu karena abang adalah pilihanku. Aku tidak lagi kembali ke rumah kos karena kerap Ibu meminta pulang ke Ciganjur. Aku harus menjaga perasaan keluarga.
Aku membatalkan pemotretan pre-wedding kami secara sepihak. Tidak yakin bisa tersenyum di depan kamera sementara kepalaku terisi penuh masalah. Setiba di hotel aku langsung pergi ke spa. Aku butuh istirahat sejenak. Setelah itu mengikuti kelas meditasi untuk menenangkan pikiran. Memang rencana awal seperti ini, aku bukan ingin jalan-jalan. Hanya untuk benar-benar keluar sejenak dari seluruh keruwetan. Daripada aku menganggap semua orang salah? Lebih baik menjauhkan diri dari mereka. Kunikmati kegiatan satu harian sambil mematikan ponsel. Tidak ada yang bisa mengganggu termasuk pekerjaan. Apalagi hari ini memang libur nasional. Tubuhku jauh lebih segar pada malam harinya. Kulanjutkan makan malam sendirian dengan menu vege. Mengurangi asupan protein hewani masuk ke dalam tubuh.
Minggu pagi saat bangun aku bisa tersenyum. Ketika sinar matahari malu-malu masuk ke dalam kamar dan menerpa wajahku. Terasa hangat, sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan dan sadari. Bahwa hidup sebenarnya begitu berharga untuk dihabiskan untuk marah, kecewa, dan sedih yang berasal dari keputusan dan kalimat orang lain. Aku butuh menjadi diri sendiri. Sama sekali bukan menyesali keputusan, melainkan tidak sependapat dengan apa yang dilakukan keluarga abang.
Aku sarapan dengan segelas jus dan buah segar sambil duduk di balkon. Kuhirup udara dingin Ubud dan suasana hening tanpa suara. Indah sekali hari ini. Sudah berapa lama aku tidak menghargai pagi? Terlalu lama mungkin. Sambil mengunyah kembali pikiranku tertuju pada pernikahan. Menganalisa sejak awal kenapa jadi seperti ini. Kesalahanku adalah sungkan bertanya. Lupa bahwa kebiasaan pada tiap daerah berbeda dan aku menikah pria yang tidak sesuku.
Kemudian kubiarkan calon mertua dan adik iparku mengurus segala sesuatu yang memang tidak kuketahui sama sekali. Tentang pakaian pengantin, kebaya, bahkan urusan make up. Puncaknya adalah hari ini di mana seharusnya kami melakukan foto pre-wedding. Kubatalkan tiba-tiba dengan alasan kesehatan. Abang kukabari melalui pesan sebelum pesawat take off kemarin. Jadi, dia tidak bisa bertanya karena aku langsung menonaktifkan ponsel. Aku benar-benar ingin sendiri.
Selesai sarapan aku kembali mengikuti kelas meditasi sampai siang. Semua membuatku jauh lebih tenang. Hingga akhirnya minggu malam aku kembali ke Jakarta. Ternyata menyenangkan menghabiskan waktu sendirian Sebuah kejutan ketika kulihat abang dengan wajah kusut menanti di depan gerbang kedatangan. Rasanya seluruh energi baru yang tersimpan tadi hilang begitu saja. Dia menelan saliva dan terlihat berusaha untuk mengendalikan emosi.
"Sudah pulang dek?" nada suaranya terdengar pelan.
"Sudah bang. Tahu dari mana aku di sini?"
"Ibu." jawabnya singkat.
Dia meraih koper dan menariknya menuju mobil. Pasti ibu yang memintanya menjemput. Padahal aku belum ingin bertemu dengannya. Kami saling diam. Bisa kutebak abang sedang marah. Aku tidak pernah melihat dia seperti ini sebelumnya.
"Abang kenapa?"
"Adek masih tanya?" jawabnya ketus.
"Abang sudah makan?"
"Sudah,"
"Abang marah sama aku?"
"Enggak,"
"Abang marah karena aku pergi tanpa pamit?"
"Enggak!"
Wajahnya mengeras, aku tidak berani lagi bertanya. Kutatap ke luar untuk menghindar melihat wajahnya. Suasana berubah canggung. Beruntung jalanan lancar sehingga kami bisa cepat tiba di rumah. Bapak dan ibu sudah menunggu di teras. Abang segera memasang wajah ramah seolah kami tidak punya masalah.
"Bu, aku langsung pamit." ucap abang.
"Makan malam di sini dulu Keith. Ibu masak banyak tadi."
Abang mengangguk, terlihat sekali dia pandai menguasai emosi. Padahal mungkin kalau bisa dia sudah menelanku bulat-bulat. Kami ke ruang makan. Kubantu ibu menyiapkan semua. Bapak yang memimpin doa.
"Bagaimana persiapan pernikahan kalian?" tanya bapak.
"Lancar pak." jawab abang.
Apanya yang lancar? Aku saja kemarin membatalkan pemotretan. Sepertinya abang memang tidak ingin mempermalukanku di depan bapak dan ibu.
"Yang di Medan?"
"Semua sudah diurus. Mama besok pulang diantar Lusi."
Jelas aku kaget mendengar itu. Abang tidak pernah cerita kalau mamanya akan berangkat duluan.
"Kok, cepat sekali?" tanya ibu.
"Mama harus mempersiapkan acara sekalian mengundang keluarga."
"Bukannya sudah ada yang mengurus?"
"Sudah, tapi mama ingin memastikan supaya semua nanti bisa berjalan dengan lancar Bu."
Bapak dan ibu mengangguk. Semua orang pasti menganggap kami tidak punya masalah apa-apa. Selesai makan abang langsung pamit.
"Pak, Bu aku pulang dulu. Sekalian mau memastikan persiapan mama untuk besok."
"Kamu yang antar ke bandara? Lusia lama di sana?"
"Tidak, Lusi pulang di hari yang sama. Karena anak-anaknya masih sekolah dan suaminya sedang tugas luar."
"Ya, sudah kalau begitu. Hati-hati nyetirnya, ya, Keith. Salam buat mamamu dan seluruh keluarga di sana. Semoga bisa tiba di Medan dengan selamat."
"Iya pak."
Kuantar abang sampai mobil. Dia benar-benar marah karena kali ini. Buktinya tidak berkata apa-apa langsung masuk ke mobil dan pergi.
***
Pagi harinya aku ke bandara mengantar Lusi dan mama. Meski sampai sekarang kepalaku masih pusing dengan tingkah Nicole yang membatalkan pemotretan secara mendadak. Beruntung ibunya tahu kalau dia sedang pergi ke Bali. Sehingga aku tidak terlalu khawatir. Hanya saja yang dia tidak tahu aku harus seharian keluar rumah agar keluarga tidak tahu kalau pemotretan kami batal. Padahal sudah kuminta melakukan jauh-jauh hari sebelumnya, tapi dia menolak dengan alasan pekerjaan. Ada karyawan cuti, dinas luar kota dan masih banyak lagi. Apa dia kira waktu orang lain tidak penting?
Karena mengantar mama, Lusi sampai harus mengorbankan anaknya seharian. Padahal kalau tahu seperti ini, bisa saja aku yang mengantar. Tidak perlu merepotkan adikku. Sayangnya tiket sudah diambil jauh hari sebelumnya. Kekesalanku yang kedua, Nicole tidak mau bicara terbuka tentang apa yang membuatnya kecewa. Yang aku tahu setiap kali selesai bicara dan bertemu dengan Lusi dan mama wajahnya selalu keruh. Menahan marah dan sedih. Setiap kutanya jawabnya nggak ada apa-apa. Lalu sekarang tiba-tiba membatalkan jadwal secara sepihak. Aku sudah tidak tahu harus bagaimana menghadapinya. Kami seperti sedang berjalan sendiri-sendiri.
Selesai mengantar mama dan Lusi keesokan harinya, aku kembali ke bengkel. Siang menjemput kedua keponakanku dari sekolah lalu mengantar ke tempat les. Menjemput lagi sekalian ke bandara karena adikku pulang dengan pesawat sore. Begitu padat kegiatan kami semua. Sementara Nicole sibuk dengan kekecewaannya sampai mengorbankan orang lain. Apa dia pikir aku tidak bisa seperti dia? Masih beruntung dia tidak menginginkan pembatalan. Kalau sampai terjadi aku bersumpah tidak akan membujuk dan mencoret namanya dari dalam pikiranku. Benar-benar kekanakan.
Sampai tiga hari setelah kepulangan Nicole dari Bali aku belum mau menghubungi. Kutunggu sampai sejauh mana kekeraskepalaannya. Kubiarkan saja sambil tetap bekerja. Melakukan tugas-tugas lain yang memang harus diselesaikan secepat mungkin. Mengejar waktu karena pernikahan hampir tinggal dua minggu lagi. Tanggal 5 Juni kami semua sudah harus berada di Kaban Jahe. Entah apa yang ada dalam pikiran pengantin perempuanku saat ini.
Sampai hari ke-lima dia masih tetap belum menghubungi. Fix, kali ini aku marah besar. Tidak ingin semua orang terimbas karena emosiku yang tidak stabil kuputuskan tetap di bengkel. Lusia beberapa kali menghubungi katanya Nicole tidak mengaktifkan ponsel. Demikian juga mama dari Medan. Kutahan emosi sekuat mungkin. Sore harinya kutunggu di depan kantornya. Saat melihat mobilku dia diam. Kudekati dan kuiringi langkahnya.
"Apa mau kamu sebenarnya?"
Dia terkejut mendengar suaraku. "Tidak ada."
"Ikut mobilku sekarang! Nanti kuantar kamu kembali kemari." Kutarik paksa tangannya menuju mobilku.
"Kenapa tidak mengangkat panggilan Lusia dan Mama?" tanyaku begitu kami berada di dalam.
"Aku tidak tahu harus bicara apa dengan mereka. Semua yang kutanyakan dan ingin kuketahui juga tidak bisa dijawab dengan baik."
"Contohnya?"
"Aku tanya nomor WO, atau siapa saja yang bisa kutanya tentang dekorasi dan sebagainya, mereka tidak bisa menjawab."
"Aku sudah bilang kalau di sana kami terbiasa mengurus pernikahan sendiri dan menghubungi pihak terkait sendiri. Mama belum lama berada di sana. Lusi juga menghubungi dari sini."
"Tapi, kan, tetap ada nomor teleponnya sehingga aku bisa mengkomunikasikan apa yang aku mau? Bunga apa yang akan dipakai, warna apa yang kuinginkan? Apa mereka semua yang bekerja untuk pernikahan tidak punya ponsel?"
"Memangnya apa yang kamu mau? Yakin, kamu tahu apa yang kamu mau? Memangnya kamu tahu bagaimana cara orang di kampung menikah? Atau kamu meletakkan seluruh kesalahan pada orang lain yang sudah bekerja keras agar kamu terlihat baik-baik saja? Jangan playing victim Nicole."
"Jangan menuduh sembarangan! Kalau yang dipesan mama tidak sesuai dengan keinginanku, kan, bisa diganti dengan yang lain? Sudah sejak enam bulan lalu aku mencari MUA yang cocok di Medan atas rekomendasi teman. Akhirnya harus ikut maunya mama."
"Sumatera Utara itu luas. Bisa saja daerah orang yang kamu hubungi berjauhan. Dan mereka tidak paham tentang pengantin Karo. Lalu yang kamu lakukan apa? Membatalkan pre wedding secara sepihak. Pergi ke Bali sendirian. Lalu sekarang diam dan tidak melakukan apa-apa! Sampai tidak mengangkat telepon mama dan adikku? Itu bentuk protes kamu?" teriakku.
"Apa perasaan mereka jauh lebih penting daripada perasaanku!?" kali ini dia balas berteriak.
Kutepikan mobil. Takut nanti tidak bisa menahan emosi dan akhirnya justru membahayakan nyawa kami berdua. Setidaknya aku harus tetap berpikir waras. Berusaha kuatur nafas yang sedang memburu.
"Aku tanya sekarang, apa mau kamu?" tanyaku sambil menurunkan intonasi suara. Dia tidak menjawab sama sekali. Emosiku semakin tinggi. Kuembuskan nafas kasar.
"Baik, aku mau mengakui satu hal sama kamu. Pernikahan kita nanti sepertinya memang akan bermasalah. Sepanjang waktu kita akan seperti ini. Kamu yang tidak terima dengan keluargaku. Aku yang harus memahami kamu terus-menerus. Kita akan sama-sama capek karena kamu selalu merasa sebagai korban. Tidak mudah menjalani dan saat ini kita hanya memiliki dua jalan keluar. Berhenti sekarang atau lanjut! Mana yang akan kamu pilih?"
Tubuhnya meluruh. Kutatap tajam matanya yang tak sekali pun membalas tatapanku. Dia menangis, sayangnya kali ini aku tidak merasa kasihan. Paling benci ketika seseorang menganggap dirinya adalah korban. Padahal sebenarnya dia yang sudah mengorbankan orang lain. Dia tidak tahu bagaimana aku sudah berusaha untuk membujuk keluargaku dan membersihkan namanya. Sekali pun aku tidak pernah menjelekkan namanya di depan mama dan Lusia. Bahkan selalu kubela agar pernikahan ini berlangsung dengan lancar. Dia mengatakan tidak tahu apa-apa tentang pernikahan, giliran dihubungi ponsel tidak aktif. Bagaimana masalah ini bisa selesai?
"Kita batalkan saja!" jawab Nicole dengan tegas.
"Baik kalau begitu, aku akan bicara langsung dengan orang tua kamu."
Mungkin memang ini yang terbaik untuk kami berdua.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
Seperti biasa akan saya hapus dalam beberapa waktu ke depan. Terima kasih.
Silahkan mampir ke lapak sebelah. Ada Bumi dan Jemima di sana.
26924
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top