3

Mama masih tinggal di Jakarta. Dan selama itu pula aku harus bolak-balik ke rumah Lusia. Kadang sengaja tidak langsung pulang karena malas jika harus kembali membicarakan kisah perceraianku. Mungkin banyak yang tidak berpikir bahwa seorang yang baru berpisah butuh waktu untuk sendiri. Bukan untuk merenung, tetapi memang karena malas berada di keramaian dan ditanya-tanya. Saat ini aku lebih suka sendirian. Agar tidak memikirkan apa pun. Begitu banyak beban yang ada di pundakku. Terutatam trauma dalam menjalani sebuah hubungan. Meski ini bukan satu-satunya masalah yang pernah mampir dalam hidupku.

Aku sudah akrab dengan masalah. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga di pundakku ada tanggung jawab besar. Papa meninggal muda, saat itu aku masih SMP kelas 3. Ketika beliau masih hidup, kami sekeluarga tidak kekurangan. Papa bekerja di perkebunan. Kehidupan kami lebih dari cukup. Namun, begitu beliau meninggal semua berubah. Kami harus pindah dan tinggal di Medan. Beruntung  mama cukup hemat sehingga sempat membeli sebuah rumah meski tidak besar. Dulu, sering kulihat mama menangis saat berdoa tengah malam. Ia jarang mengeluh pada kami. Yang kami bicarakan di meja makan hanya tentang sekolah dan keberhasilan. Apa pun dilakukan mama agar kami berdua bisa sekolah.

Di sana lah kami bertiga tumbuh. Mama yang memang suka memasak akhirnya membuka warung untuk menjual sarapan. Kami  harus bangun pagi untuk saling membantu. Ada yang merebus telur, membereskan rumah, memasak gorengan, semua dilakukan bergantian. Jam enam pagi warung dibuka. Kami akan membantu mama sebentar baru berangkat ke sekolah. Kami juga harus pindah dari sekolah swasta  ke sekolah negeri karena mama harus berhemat.

Sayang, kami tidak lama berjualan, segera ada saingan baru. Mungkin karena selera orang, warung kami jadi sepi pembeli. Akhirnya mama pindah haluan, yakni bertani. Memanfaatkan warisan yang di terima papa dari nenek. Kalau kubayangkan sekarang, mama begitu hebat dan  kuat. Demi kami rela bekerja keras. Masih kuingat kulit mama yang putih berubah legam karena terpaan sinar matahari. Aku dan Lusia tetap tinggal di Medan dengan alasan di sini sekolah negerinya bagus. Mama kadang datang dan menginap jika tanaman sudah dipupuk, atau dibersihkan. Saat libur kami yang ke kampung. Membantu semampu mungkin. Sampai akhirnya aku selesai SMU.  Nasib baik datang, aku diterima di sebuah sekolah yang dimiliki sebuah perusahaan telekomunikasi. Begitu lulus, aku langsung bekerja di sebuah perusahaan asing.

Sejak dulu aku sudah belajar membantu keluarga. Ketika SMU, tidak jauh dari rumah ada sebuah bengkel milik keluarga jauh mama. Jika sudah selesai  mengerjakan tugas rumah dan sekolah aku sering ke sana. Membantu tulang bekerja. Awalnya cuma di suruh mengambilkan kunci atau peralatan lain. Dari sanalah aku mendapatkan uang tambahan sehingga tidak selalu minta pada mama. Ketika kuliah, aku kembali bekerja di sebuah bengkel tak jauh dari tempat kos.  Tidak ada waktu buatku bersantai. Panen kerap tidak sesuai harapan. Pekerjaan itu membuatku bisa bertahan hingga lulus kuliah.

Bahkan ketika baru sebulan bekerja, aku sudah mengambil alih tugas mama untuk membantu biaya kuliah Lusia. Adikku di terima kuliah di Semarang. Meski begitu setiap bulan aku masih menyisihkan uang untuk dikirim pada mama. Uang kiriman itu ternyata tidak pernah disentuh. Kemudian dibelikan  kebun karet. Mama memang tipe orang tua yang tidak ingin bergantung pada anak. Meski jika bertemu keluarga selalu membanggakan kami. Mengatakan setiap bulan kami masih menerima kiriman.

Sampai saat ini, meski sudah tua mama tidak pernah mau membebani kami anak-anaknya. Setiap uang yang kami kirimkan dikumpulkan. Dihitung masing-masing. Adik perempuanku kerap mendapatkan pemberian berupa emas. Menurut mama itu adalah benda yang mudah dijual jika kelak perlu. Mama yang kuat membuat kami anak-anaknya menjadi seperti itu juga. Kami jarang mengeluh meski kadang hidup susah. Seperti aku saat ini. Tidak punya apa-apa setelah perceraian.

Sayangnya, dalam kehidupan nyata ternyata tidak semua perempuan bisa diajak hidup sederhana. Laura mulai berubah sejak aku resign. Selalu mencela apa pun yang kulakukan. Apalagi ketika mengetahui bahwa aku ikut bekerja di bengkel dan kerap pulang dengan baju kotor. Dia menganggap pekerjaanku lebih rendah. Apalagi dibandingkan pria-pria rapi dan wangi di kantornya. Iya selalu menyalahkan aku ketika tidak bisa lagi jalan-jalan ke Eropa seperti sebelumnya.  Sudahlah, aku tidak mau lagi berpikir tentang dia. Aku pusing!

***

Mama akhirnya kembali ke Medan setelah hampir sepuluh hari di sini. Karena Lusia sibuk, aku yang mengantar ke bandara. Seperti biasa, mama terlihat berat meninggalkan kami. Meski aku sudah membujuk agar mama tinggal di sini saja, tetapi tidak pernah mau. Alasannya susah kalau mau ke makam papa. Lagi pula kebun tidak bisa ditinggal.  Mungkin karena merasa masih sanggup untuk hidup sendiri. Saat di jalan beliau kembali menasehatiku,

“Jangan buru-buru mencari pasangan, ya, bang. Istirahatkan dulu hatimu. Mama tidak masalah kalau kamu mau menikah lagi. Tapi juga tidak menuntutmu untuk sesegera mungkin. Mama cuma khawatir kamu sendirian dan tidak ada yang mengurus.”

“Aku bisa mengurus diri sendiri Ma. Dari dulu juga begitu. Semua akan baik-baik saja.”

“Abang selalu bilang begitu untuk menenangkan hati mama. Sekarang saja lebih banyak diam. Kalau malam-malam merasa nggak enak, telepon mama saja. Sore pasti mama sudah pulang dari ladang. Atau kamu ke rumah Lusia, di sana selalu ada orang.”

“Aku cuma capek. Rumah Lusia jauh sekali dari tempatku. Pagi-pagi kena macet kalau mau ke bengkel. Aku cuma merasa ingin mengobati diri sendiri dulu. Patah hati itu nggak enak Ma.”

“Sebaiknya memang lupakan dia. Mama tidak bermaksud menjelekkan. Biarkan semua jadi pelajaran. Sekolah hidup itu tidak ada tamatnya bang, sampai kita mati. Yang lalu biarkan berlalu. Abang perlu uang?”

“Enggak, aku masih cukup. Nanti kalau perlu aku bilang ke Mama.”

“Bilang saja kalau butuh. Jangan meminjam sama Lusi lagi. Dia sudah menikah dan punya rumah tangga sendiri. Nggak enak kalau suaminya tahu.”

“Biasanya langsung kukembalikan, kok, Ma. Paling lama dua hari. Dia juga beberapa kali pinjam sama aku kalau kredit rukonya sudah jatuh tempo. Yang penting, kan, jelas. Aku juga nggak mungkin mempermalukan diri di depan Andrew.”

“Abang yakin dengan perkembangan bengkel?”

“Aku sudah punya langganan Ma. Sayang juga kalau mau melepas mereka. Sebenarnya kalau tidak ada kasus kemarin semua sudah teratasi. Yang namanya rejeki sudah diatur sama Tuhan. Yang penting kerja dengan baik. Hidup itu seperti   roda, berputar terus. Kadang kita di atas kadang di bawah.”

“Yang penting kalau ada apa-apa kabari mama.”

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Sesampai di bandara, kutinggalkan mama di luar sebentar untuk check in. Barang-barang mama tidak pernah banyak karena dia termasuk sering kemari. Kalau pun ada hanya sekadar oleh-oleh untuk keluarga besar. Selesai semua aku kembali keluar.

“Pulang tahun baru ini, kan, bang?” tanya mama lagi.

“Rencana pulang Ma.”

“Mama tunggu. Kabari saja. Bilang kalau abang perlu apa-apa, jangan dipendam sendiri.” kembali mama mengingatkan. Rasanya sedih sekali karena sudah mengecewakan perempuan yang  sudah membesarkanku.

Aku mengangguk. Akhirnya mama masuk ke ruang tunggu setelah memelukku erat. Aku tahu dia merasa berat meninggalkanku. Kembali kukemudikan mobil untuk  pulang ke bengkel. Di sana pekerjaan sudah menunggu.

***

Tak terasa enam bulan sudah aku sendiri. Akhirnya kuputuskan membangun sebuah kamar di bagian belakang lantai dua. Hanya muat satu tempat tidur kecil sebenarnya. Perkembangan bengkel kini menemukan titik terang. Pelangganku semakin banyak. Kini aku tidak pernah lagi meminjam pada Lusia. Semua bisa diatasi. Satu hal yang kuyakini, seperti nasehat mama. Bekerja sambil berdoa. Itu saja yang kulakukan. Selama aku tidak membohongi orang dan memberikan pelayanan terbaik, pelanggan pasti datang. Lagi pula rejeki sudah diatur Tuhan.

Dua bulan terakhir aku ikut kegiatan teman-teman semasa kuliah dulu. Kembali naik gunung. Untuk menjaga stamina, sekarang setiap akhir pekan aku akan lari pagi. Rasanya tubuhku semakin sehat. Selain untuk menghilangkan kesepian, bertemu teman-teman juga ada gunanya. Mereka kerap menservis kendaraan di bengkelku. Mereka puas, sehingga menyampaikan pada rekan dan keluarga yang lain. Pelanggan baru berdatangan, aku lebih optimis sekarang.

Hari Minggu jika sedang di rumah, kuhabiskan waktu untuk beristirahat dan menonton TV. Makananku selalu dikirim oleh adikku. Tidak gratis, aku lebih suka membayar. Namun, namanya juga adik sendiri kadang lebih banyak bonusnya. Entah itu buah, cake, atau pudding. Meski cerewet Lusia begitu perhatian. Mungkin karena kami dekat sejak kecil, terutama setelah kematian papa. Bayangkan kami pernah tiga hari berturut-turut jalan kaki sepulang sekolah sejauh tiga kilometer karena tidak punya uang. Yang dititipkan mama dipakai untuk kebutuhan sekolah sehingga tinggal untuk ongkos berangkat karena kami takut terlambat.

Masih kuingat siang itu, ketika kami melewati tukang es dan minuman botol dingin. Sementara uang di saku benar-benar sudah tidak ada. Meminta pada mama takut, karena panen sedang  tidak berhasil. Harga sayur-sayuran anjlok. Sepanjang jalan, aku dan Lusi berkhayal tentang jika punya uang nanti, minuman apa saja yang akan kami beli. Suatu hari aku yang sejak dulu pandai menggambar, sering mendapat pesanan dari teman-teman yang mendapat tugas dari guru. Jadilah hari ke-empat kami bisa minum teh botol. Itu pun setelah berdiskusi, apakah mau naik angkot atau beli minum di tempat yang kami lewati. 

Kalau diingat sekarang rasanya lucu. Semiskin itu kami dulu. Jadi ketika sedang tidak punya uang aku tidak pernah stres. Kenangan-kenangan tersebut membentuk aku dan Lusia menjadi pribadi yang tegar. Seperti apa pun kesusahan yang datang, kami selalu berusaha tidak menyalahkan keadaan. Ia juga tidak berpangku tangan meski penghasilan suaminya cukup besar. Demi menjaga anak-anak  dan masa depan sendiri, dia membuka bisnis kuliner.

Melihat keberhasilannya sekarang, aku merasa bahwa kerja kerasku dulu tidak sia-sia untuk membiayai kuliahnya. Meski begitu kami masih kerap bertengkar. Aku tidak suka pada kecerewetannya. Dia juga kerap mengkritikku terutama tentang kebersihan. Seperti itulah mungkin hubungan saudara. Jauh rindu kalau dekat bertengkar.

Tak terasa mobil sudah kembali memasuki bengkel. Ada beberapa kendaraan kantor yang sepertinya sedang servis rutin. Aku tersenyum pada mereka yang  menunggu. Lalu kembali ke lantai dua untuk mengganti pakaian. Aku harus melihat pekerjaan anak buahku. Agar kualitas pelayanan tetap terjaga. Ilmu dari kantor dulu kugunakan dalam bisnisku. Dan itu cukup membantu.

Happy reading

Maaf untuk typo

9524

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top