2
Bab 2
Nicole
Hari sudah sore ketika aku baru selesai meeting dengan pihak PT Mamberamo Inti Mandiri. Sebuah perusahaan kayu yang berpusat di Papua. Selama ini mereka adalah salah satu klien besar di tempatku bekerja. Sebagai manajer marketing pada perusahaan supplier sparepart alat berat, aku harus terus membina hubungan dengan pihak perusahaan agar target penjualan tercapai. Kalau pada hari biasa, aku tidak masalah. Tapi dua bulan terakhir, kenyataan hidup telah menjungkirbalikkan kehidupanku.
Hari ini menjadi lebih kacau karena mantan kekasihku Dante bertunangan dengan Alisha, sahabat baikku. Pagar makan tanaman! Itulah istilah kami. Alisha sangat dekat denganku, bahkan sudah seperti saudara sendiri. Dia bahkan sering ikut jika aku pulang ke rumah orang tuaku di Sleman. Aku juga sudah pernah libur ke kampungnya di Palembang. Sayang, ternyata kata-kata manisnya hanya untuk menutupi sifat buruknya dan keinginan untuk memiliki apa yang kuinginkan.
Dante adalah kekasihku. Tampan dan berpendidikan. Kami bertemu saat aku masih bekerja di sebuah perusahaan swasta asing. Dia sendiri bekerja di di bidang sekuritas. Aku tidak pernah tahu kapan hubungan mereka dimulai. Sebagai sesama pekerja, kami sibuk sampai hari jumat. Selama waktu itu pula, dia dan Alisha menjalin hubungan di belakangku. Aku tidak pernah percaya jika ada teman yang menyampaikan. Karena setahuku, Alisha juga punya kekasih. Sampai akhirnya tiba-tiba Dante memutuskan hubungan kami. Dua hari kemudian aku tahu kalau dia dan Alisha sudah tinggal serumah. Aku memang tidak pernah datang ke rumahnya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Baru sekarang berpikir, pantas rumahnya selalu wangi, bersih dan kulkas lumayan terisi. Kalau bukan tangan perempuan, siapa lagi coba yang melakukan hal seperti itu?
Sempat kutemui mereka berdua, tapi yang kudapat hanya rasa marah yang bertumpuk. Dengan tenangnya Alisha mengatakan kalau penampilanku kampungan dan selama ini Dante hanya memanfaatkan aku untuk membantu membiayai kehidupannya. Sekarang saat mantan kekasihku itu sudah mendapat posisi yang lebih baik, dia tidak lagi membutuhkanku. Bayangkan bagaimana hancur dan malunya aku. Aku bukan orang yang biasa berdebat sehingga tidak menjawab apa-apa. sepanjang jalan pulang setelah pertemuan itu aku hanya merutuki kebodohan.
Setelah kupikir-pikir, memang apa yang dikatakannya benar. Selama ini Dante kerap meminjam mobilku, meminjam uang, bahkan beberapa kali kartu kredit. Aku bukan tipe orang yang berhitung dalam banyak hal. Dia juga masih mengembalikan jika sudah gajian, jadi buatku tidak masalah. Entah mungkin karena biaya hidupku tidak tinggi sementara penghasilan lebih dari cukup. Kami terbiasa berbagi dalam membayar bill restoran. Intinya aku bukan perempuan yang suka ditraktir. Buatku lebih baik memberi dari pada menerima. Bahkan pada pasangan! Ternyata prinsipku itu malah membuatku dipermainkan.
Dan baru saja aku mendapatkan sebuah kabar yang tidak enak. Ternyata biaya bengkel tidak terlalu mahal. Jadi selama ini Dante kerap membohongi agar mendapat uang lebih. Benar-benar sampah! Dia tidak jauh berbeda dengan Alisha ternyata. Pikiranku berkata, sudah bagus memang kalau mereka berdua tidak ada lagi dalam hidupku. Namun, entah kenapa hatiku masih terasa sakit. Siapa yang senang dengan pengkhianatan?
Kumasukkan kendaraan ke area parkir tempat kost. Suasana terlihat sepi. Karena memang di sini kebanyakan pekerja di perusahaan asing. Mereka tidak pulang terutama saat weekend seperti sekarang. Kumasuki kamar yang terletak di lantai 2. Kamarku tidak terlalu besar, hanya saja memiliki kamar mandi sendiri. Kunyalakan AC, dan langsung berbaring. Keletihan hari ini mencapai puncaknya ketika mobilku bermasalah. Beruntung ketemu bengkel yang masih buka. Malas mandi akhirnya aku langsung tidur.
***
Suara dering telepon membangunkanku. Kulihat, dari Ibu. Malas sekali mengangkat panggilannya. Kuabaikan sejenak. Sebenarnya orang tuaku lumayan positif. Mereka sangat membebaskan anak-anaknya. Mereka juga sudah kuberitahu tentang Dante dan Alisha. Kembali ponsel berdering, akhirnya kuangkat.
“Ya, Bu?”
“Kamu belum bangun?”
“Belum, kenapa?”
“Ini, mbakmu Tasya akan sampai di Indonesia minggu depan. Ibu sama bapak mau ke Jakarta.”
“Aku akan ke rumah kalau begitu.”
“Sekalian kamu periksa semua, ya?”
“Iya Bu.”
“Kamu baru bangun?”
“Iya, kemarin mobilku rusak. Jadi ke bengkel dulu. Ibu naik apa?”
“Kereta saja. Malas numpak pesawat. Baru duduk wes sampai.”
Aku tertawa kecil.
“Mbakmu Amira juga akan datang dari Manado.”
“Sama anak-anak mereka?”
“Iya, makannya kamu siapin rumah, ya, Nic.”
“Hmm,” Aku paling sebal kalau dipanggil Nic.
“Kenapa lagi?”
“Nggak apa-apa nanti siang aku ke rumah.”
“Ya, sudah. Jangan tidur lagi. Anak gadis, kok, bangunnya siang-siang.”
“Ini anak gadis jaman sekarang Bu. Lagian aku capek sudah lima hari kerja dan selalu pulang malam.”
“Yo wes, Nggak usah belanja. Nanti biar ibu saja.”
“Aman,”
Percakapan kami terputus. Kembali kupejamkan mata. Kedua orang tuaku memiliki rumah di Jakarta. Tidak terlalu besar sebenarnya, tapi menjadi tempat kami berkumpul. Sayang sekali rumah itu jauh di daerah Ciganjur. Sehingga harus kost karena kantorku di daerah Kota. Namun, ada yang membuatku kembali bersemangat, karena kedua kakak perempuanku akan datang. Kami bertiga terlahir perempuan. Beruntung keluargaku sudah lebih modern. Bapak bisa menerima kehadiran kami tanpa anak laki-laki. Bahkan selalu senang karena kami semua sangat menyayangi beliau.
Dulu Bapak bekerja di sebuah pabrik tekstil. Sejak masih muda sampai pensiun tidak pernah pindah tempat kerja. Sementara ibu membantu keuangan keluarga dengan berdagang batik. Kami semua dididik untuk mandiri. Satu yang kubenci adalah namaku, yakni Nicole. Sangat terdengar tidak Indonesia. Ternyata namaku diberikan oleh sahabat pena bapak sewaktu muda yang berkebangsaan Australia. Sejak dulu namaku jadi bulan-bulanan teman-teman di sekolah.
Setelah puas berbaring, aku bangkit dan langsung mandi. Inilah enaknya jauh dari ibu. Kalau ada beliau, aku pasti diomeli habis-habisan. Beruntungnya, ibu tidak pernah mencampuri urusan pribadiku. Ia hanya selalu mengingatkan, kalau pacaran jangan kebablasan. Kalau sudah kerja, jangan kebanyakan bergaya hingga berutang. Nilai-nilai seperti itu yang kubawa sampai sekarang. Meski kadang terkesan ketinggalan jaman. Ibu juga sudah tahu tentang perpisahanku dengan Dante dan ulah Alisha. Mereka tidak berkata apa-apa selain menasehati agar aku tidak terlalu terpuruk.
***
Rumah kami kini penuh. Ada Mbak Tasya dan suaminya Michael yang pulang dari Kanada. Juga Mbak Amira yang berlibur bersama suaminya Mas Johan. Yang paling seru adalah 5 orang keponakanku yang segera menempel layaknya perangko. Mengikuti ke mana pun aku pergi dengan harapan bisa bebas jajan! Ya, aku memang paling senang memanjakan mereka. Meski kadang mendapat omelan dari kedua orang tuanya. Takut anak mereka sakit perut. Namun, aku senang menyaksikan kedua ibu mereka mengomel.
Setelah menghabiskan waktu seharian di kolam renang, kini saatnya kami pulang ke rumah. Keponakanku minta makan sate. Jadilah kami mampir dulu, kasihan juga melihat mereka kelaparan. Sesampai di rumah kelimanya langsung tidur. Dan aku ikut berkumpul di ruang tengah sambil minta dielus-elus ibu.
“Manja!” protes Mbak Amira.
“Salah siapa nggak jadi anak bungsu.” balasku.
Ibu hanya tertawa kemudian mencium keningku. “Kamu tambah gemuk.”
Aku cemberut. Diantara mereka semua memang tubuhku yang tidak singset. Bukan karena tidak minum jamu, tapi memang sudah dari dulu. Diantara kami bertiga juga aku yang paling tinggi.
“Aku naik 5 kilo bu.”
“Nicole patah hati malah tambah gemuk. Susah cari jodoh kamu nanti.” lanjut Mbak Amira.
“Hush, tidak boleh begitu. Ucapan adalah doa.” Kali ini ibu yang membalas. Membuatku bisa tersenyum penuh kemenangan.
“Kamu nggak cuti Nic?”
“Mulai Kamis Bu, biar sekalian bisa ke Bali seminggu.”
Tiba-tiba kakak iparku Michael dan Johan muncul. Membawa sebuah besek berisi tahu hangat.
“Ini enak Bu, katanya tahu susu.” Ucap Michael dengan bahasa Indonesia yang lancar. Di kepalanya masih ada blankon. Kadang bule-bule itu terlihat aneh.
Tidak hanya tahu, ternyata masih ada makanan lain. Aku segera bangkit dan menikmati makanan. Kalau berkumpul kami biasa seperti ini. Tidak ada sekat, dan ibu membebaskan dari tata krama yang biasa ada.
“Nic, buatkan bapak kopi.” Perintah bapak.
Aku segera bangkit dan membuatkan. Menurutnya kopi buatanku adalah yang paling enak. Bapak kemudian menyecap kopinya.
“Rasanya beda,”
“Iya, oleh-oleh temanku dari Aceh.”
“Kamu punya banyak?”
“Kalau Bapak suka bawa saja. Nanti kalau habis kupesankan.”
“Beli di mana tho?”
“Nanti kutanya orangnya. Jaman sekarang semua sudah online Pak. Jadi nggak susah.”
Bapak mengangguk-angguk dan kembali menyeruput kopinya. Kali ini ia mengambil pisang goreng. Sebuah kebiasaan sejak lama. Dan aku selalu rindu menatap bapak seperti ini. Sarungan, pakai kaos putih kalau di rumah Sleman sambil nonton TV dan kakinya diangkat ke kursi.
“Jaman sekarang semua mudah. Mau ngobrol sama keluarga juga gampang. Jaman bapak dulu, susah sekali.”
“Mau ketemu sama ibu saja harus surat-suratan, ya, Pak.” balas Mbak Tasya yang sejak tadi diam.
“Iya, apalagi dulu ibumu tinggal di asrama. Susternya galak-galak.”
“Tapi dengan begitu lebih asyik Pak. Ngerasa bagaimana memperjuangkan.”
“Ya, begitulah. Sekarang hidup kalian lebih mudah. Bapak beruntung punya kalian. Kalau bisa, kalian seperti ini terus. Misal nanti bapak dan ibu sudah nggak ada, kami akan senang melihat kalian akur. Jangan ribut sesama keluarga. Kami tidak punya harta untuk ditinggalkan. Kalian adalah harta yang paling berharga.”
“Bapak jangan ngomong gitu,” rajukku.
Bapak menepuk tanganku penuh rasa sayang. Aku memang paling manja diantara kami bertiga. Entahlah, mungkin karena jarak usiaku dengan Mbak Amira cukup jauh, yakni 6 tahun. Sewaktu kecil aku selalu jadi bahan candaan diantara kedua kakakku. Sering diganggu sampa-sampai ibu marah. Namun, setelah aku mulai remaja dan mereka kuliah, semua menjadi lebih baik. Apalagi setelah aku memilih sekolah di asrama sewaktu SMU. Setiap kali libur, kebersamaan kami menjadi saling merindukan.
Kini, keduanya sudah menikah dan tinggal jauh. Kami jarang bertemu, apalagi setelah Mbak Tasya tinggal di Kanada dan punya anak dua. Pulang kampung adalah sesuatu yang cukup mewah karena butuh banyak uang. Namun, setidaknya tiga tahun sekali kami akan berkumpul seperti ini. Senang rasanya bisa menyenangkan orang tua. Meski keduanya kerap meminjam uang untuk membayar tiket padaku. Mereka tetap akan mengembalikan, hanya saja aku menjadi sadar bahwa memang tidak mudah jika sudah menikah dan punya anak.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
6524
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top