Bab 7

JANGAN PANGGIL OM
BAG 7

.

Bocil ep-ep. [ Om sayang lagi ngapain? ]

Kubaca pesan dari Amel, tanpa dibalas. Kalau aku merespon maka chat akan terus berlangsung. Maaf ya, Mel. Kamu harusnya serius belajar, bukan malah chat-an. Belum waktunya kamu harus mengenal cinta sedini mungkin.

Aku kembali meletakkan ponsel di atas meja. Tatapan Aldo seolah mencari tahu akan chat yang masuk barusan. Begitu juga dengan lirikannya Mbak Hesti.

Kacaaaau dah, pasti diinterogasi nih.

“Eum, Mbak, saya sama Aldo mau cari sarapan dulu ya.” Aku beranjak dari duduk mengambil kembali ponsel dan menarik tangan Aldo.

“Ke mana sih, Ren?” tanya Aldo yang tak siap dan langsung berdiri tergagap.

“Laper gue, kita beli ketoprak di depan.”

“Oh, yaudah ayo!”

“Mbak, saya ke depan dulu ya.”

“Iya, yaudah.” Mbakh Hesti tersenyum kecil melihatku dan Aldo.

Aku menarik tangan Aldo ke arah anak tangga. Aldo menepis tanganku, sambil melirik curiga.

“Lu kenapa sih? Ada masalah apa sama tuh bocah? Jujur deh kalo kalian udah jadian?” cerocos Aldo ketika kami menuruni anak tangga.

Pengen banget rasanya nyumpel mulut lemesnya. Nggak enak kan diliatin karyawan yang di lantai bawah. Mereka yang sedang duduk di balik meja kerja seketika menatap kami berdua.

Para karyawan Mbak Hesti kan tahunya kalau aku mau menikah dengan Elin. Kalau sampai bacotnya Aldo tentang si Amel ke mana-mana, bisa-bisa nanti aku yang dituduh selingkuh jadinya.

Kami keluar kantor dan mencari tukang ketoprak. Biasanya mangkal di ujung jalan dekat pos satpam.

“Mulut lu kalo di kantor bisa diem nggak sih, Al? Gue kan malu, kalo lu ngomongin tuh bocah. Gue sama dia nggak ada hubungan apa-apa. Dia aja yang keganjenan,” kataku ketika kami sampai di depan pos.

Gerobak warna hijau itu terlihat tepat di dekat trotoar. Pinggir jalan raya, dan si penjual sedang melayani dua orang pembeli.

“Yahelah, Ren. Bercanda gue. Lagian tuh bocah ganjen banget jadi anak. Lu juga sih, Ren. Muka ganteng diambil sendiri, bagi-bagi kek ke gue.” Aldo terkekeh.

Dasar Aldo, sama aja kaya Amel bikin malu. Sampai-sampai kedua orang di depan gerobak menoleh ke arahku. Begitu juga dengan si penjual ketoprak yang senyum-senyum.

“Udah terima nasib aja, Mas Al. Kalo emang Mas Rendra lebih ganteng,” sahut Parjo tukang ketoprak langganan kami.

“Ye, elu, Jo. Bukannya belain gue. Susah emang kalo temenan sama orang ganteng. Mau kita bener juga, kita yang salah. Orang ganteng mah aman,” ujar Aldo seraya menarik kursi plastik dan duduk dia.

“Ngambek dia, Mas Ren. Mau pesen berapa bungkus nih? Makan di sini apa dibungkus?” tanya Parjo setelah selesai melayani dua orang pembeli tadi.

“Biasa saya, Bang. Sedeng aja, cabenya dua. Nggak tau tuh si Aldo. Al, cabe lu berapa?”

“Samain, kerupuk pisahin ya, biar banyak.”

Aku mengambil kursi dan duduk di samping Aldo. Sambil melihat sekeliling jalan, lalu lintas siang ini tak begitu ramai. Cuaca juga lumayan cerah, nggak tahu deh nanti sore hujan apa enggak.

Aku merogoh saku mengambil ponsel. Tak ada lagi notif wa dari Amel. Aman deh, lagian belum waktunya jam istirahat kok udah mainan hape.

Aku melihat story’ Instagram juga membuka media sosial lainnya. Tiba-tiba saja fokusku teralih melihat video viral yang lewat di reels instagramku.

Ini kan video Elin kegrebek aku kemarin, aku menoleh ke arah Aldo yang sedang asyik menghisap rokok. Apa dia sebarin ke medsos ya tuh video.

“Al,” panggilku.

Aldo menoleh. “Apaan?”

“Video Elin yang kita grebek kemarin masih ada?”

“Masih kali. Kenapa?”

“Kok kali? Emang tuh video di mana?”

“Ada di hape.”

“Hape lu?”

“Ya hape gue.”

“Mana? Coba gue liat, lu sebarin nggak?”

“Ya enggak lah, aman.”

“Trus mana hape lu? Sini!” Aku meminta ponsel Aldo dengan menodongkan tangan di depan mukanya.

“Nggak gue bawa, hape yang satunya.”

“Di rumah lu?”

“Iya, di rumah gue. Kan abis grebek, lu balik, gue balik. Nah trus, astaghfirullah, gue lupa naro tuh hape di mana, ya? Kamar apa ruang tamu.” Aldo membuang rokoknya sembarang.

“Ini, Mas, ketopraknya.” Parjo memberikan dua piring ketoprak pada kami berdua.

“Makasih, Bang. Ah elu, Al. Itu video di mana dah, hape lu maksud gue.”

“Ya udah sih tenang aja.” Aldo cuek sambil mengaduk ketoprak di piringnya.

“Masalahnya, tuh liat!” Aku menunjukkan video yang masuk berita viral.

Aldo melotot merebut ponsel dari tanganku. “Duh, jangan-jangan si Jordy nih kerjaannya.”

“Adek lu?”

“Iya kayanya, hape gue pasti ketinggalan di meja, dibuka-buka sama dia. Kampret tuh anak. Abis makan gue cabs ya, gue kasih pelajar dah tuh bocah tengil. Kurang ajar.”

Arrgghh! Aku mengacak rambut kesal, lalu perut yang tadinya lapar, sekarang malah nggak nafsu. Meskipun aku tahu perbuatan Elin memang tidak baik, tapi mengunggah video bisa dipidana kalau kaya gini. Apalagi aku yang ada di video itu.

.

Aku pulang lebih cepat diantar Aldo ke kontrakan, itu juga hanya sampai depan gang. Dia langsung pulang juga karena curiga ponselnya dimainin sama adiknya.

“Pokoknya gue nggak mau tahu, gimana caranya tuh video nggak nyebar. Gue takut kalo keluarga gue ada yang liat trus bilang ke ortu gue. Berabe, Al.” Aku mencoba memperingati.

“Iya, iya. Udah gue balik dulu.”

Aldo melajukan mobilnya, sementara aku berjalan masuk ke pemukiman. Sebelum sampai kontrakan, aku mampir ke warung terlebih dahulu untuk membeli rokok.

“Permisi, Bu. Beli rokok SM sebungkus,” kataku pada seorang pemilik warung. Aku juga mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas transparan.

Setelah itu kuserahkan uang dan menunggu kembalian.

Aku kembali melanjutkan langkah, tumben jalanan sini sepi, apa karena masih jam dua siang? Pada tidur siang kali ya.

Ketika melewati lapangan, aku tak sengaja melihat bocah ep-ep si Amel sedang main layangan bersama beberapa teman lainnya yang kebanyakan laki-laki.

“Eh, Om udah pulang kerja?” tanyanya yang melihatku.

Aku hanya mengangguk. Lalu dia membuang muka, dih sombong amat nih bocah.

Kok tumben gitu doang, nggak genit dia lihat aku pulang. Malah sibuk sama temannya yang lain. Dasar bocah, mungkin memang dunianya dia ya masih suka main-main. Atau akunya aja yang kegeeran digodain dia.

Bodo ah, kan malah bagus kalo dia nggak genit lagi sama aku.

Aku kembali berjalan menuju kontrakan, sesampainya langsung membuka pintu dan masuk. Kuletakkan peralatan kerja di pojok ruangan. Lalu aku melepas kemeja, dan hanya menggunakan kaos singlet.

Aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tapi nggak mandi. Hanya mencuci muka saja, dan kembali ke depan.

Aku sengaja duduk di teras sambil merokok dan main handphone. Elin masih berusaha untuk menghubungi aku. Sebenarnya kasihan, tapi aku nggak mungkin merespon lagi perempuan kaya gitu.

Hampir sepuluh menit aku duduk di teras, tiba-tiba suara jeritan, tangis, terdengar sayup-sayup, suaranya makin lama makin dekat.

“Huaaaa, Emaaaakk.”

Aku menoleh.

“Udah diem lu, jangan cengeng. Udah gede lu, Mel. Malu nangis,” ujar seorang cowok baju merah yang berjalan di samping Amel.

Aku justru tertawa melihat penampakan bocah ep-ep yang berjalan di depanku tanpa melihat ke arahku. Dia menutup wajahnya dan berusaha untuk menghindar.

“Amel kenapa, Dek?” tanyaku penasaran.

Bocah ep-ep itu langsung lari dan masuk ke rumahnya.

“Amel kecebur kali, Om. Waktu ngejar layangannya yang putus,” jawab tuh bocah kepala plontos, diikutin tawa ketiga temannya.

“Hahaha.” Aku dan beberapa penghuni kontrakan yang mendengar ikut tertawa.

Pantesan badannya basah kuyup, mana buluk banget. Pasti diomelin emaknya tuh.
Wkwkwk.

.

Next

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top