Bab 6
JANGAN PANGGIL OM
BAG 6
.
“Kenapa lu senyum-senyum sendiri?” tanya Aldo mengejutkanku.
Gimana nggak senyum coba, dapat WA dari bocil kaya gini isinya? Kalau aku ngomong sama Aldo, pasti diketawain nih.
“Nggak apa-apa, di grup alumni SMA gue ini pada bercanda,” jawabku bohong sambil mengetik balasan chat dari Amel.
[Iya, sama-sama. Jangan dihabisin uangnya buat beli voucher ya. Oh iya, maaf kotak makan kamu rusak. Nanti saya ganti ya.]
Aku memberi nama kontaknya dengan sebutan 'Bocil ep-ep'. Selang dua menit pesan itu kembali dibalas.
Bocil ep-ep. [Nggak usah diganti, Om. Di rumah masih banyak kok. Om lagi ngapain nih?]
Dih, jadi ngobrol gini sama nih bocah.
[ Lagi sarapan di caffe. Kok kamu bisa balas chat saya? Kamu nggak sekolah ya? Apa lagi di kantin nih bolos? ]
Aku merasa curiga karena ini masih jam pelajaran kok nih bocah bisa wa-an sama aku.
Bocil ep-ep. [ Lagi boker, Om. Di kamar mandi. Hahahaha. ]
Aku menepuk kening, kalau dekat kujitak nih bocah. Sialan banget, bikin nggak nafsu mau nyomot pisang jadi ngebayangin dia boker.
Aku tak lagi membalas pesannya. Biarin deh, nanti kecebur lagi tuh hape sambil chat-an.
“Abisin pisangnya, Ren. Kenyang gue nih makan singkong. Enak juga ya, murah lagi,” ujar Aldo seraya mengunyah singkong yang terakhir, di mana parutan kejunya masih banyak tertinggal di piring.
“Enaklah, gue yang bayar,” sahutku.
“Hahaha, yaelah, Ren. Sama temen sendiri aja perhitungan.”
“Bukan perhitungan, ucapan lu kaga enak.”
“Yaudah, tuh abisin. Lu kan doyan pisang.”
“Ogah ah, kenyang.” Aku beranjak dari duduk hendak ke toilet, jadi kebelet gara-gara si Amel.
“Mau ke mana, Ren?”
“Toilet bentar. Mules.”
“Yah elu, baru diisi aja udah dibuang, gimana mau gemuk lu.”
“Bodo ah. Kurus juga yang penting gede.”
“Apanya, Ren, yang gede?”
“Apa kek.”
Aku berjalan ke belakang ruangan, di mana dari kejauhan terlihat tulisan toilet.
.
Pukul 9.55 aku dan Aldo sudah tiba di Harmoni, kantor tempat kami bekerja. Bukan kantor besar sih, hanya ruko tiga lantai.
Sebenarnya aku bisa saja kerja di kantor Papa, perpajakan. Gaji besar, dan Papa pasti kasih aku posisi bagus di kantornya. Karena Papa seorang direktur utama di sana. Tapi aku nggak mau, hobiku kerja di lapangan, bertemu orang, ambil gambar dan tempat yang bagus. Sekalian jalan-jalan, sekalian cari jodoh juga sih.
Aku kenal Aldo juga di kantor ini, perbedaan umur kami lima tahun. Aldo lebih tua dari aku, dia seorang duda yang belum punya anak.
Pernikahannya hanya bertahan dua tahun, karena sang istri ketahuan selingkuh dengan mantannya. Aldo sebenarnya sudah memaafkan istrinya, dan berharap rumah tangganya bisa dipertahankan. Namun, sang istri lebih memilih mantannya dari pada dirinya.
“Eh kalian udah dateng, langsung ke atas aja, Ren, Al. Orangnya udah nungguin.” Mbak Hesti selaku pemilik WO yang baru saja turun dari lantai dua menyuruhku naik.
“Iya, Mbak. Mau ke mana, Mbak?” tanya Aldo sambil mengambil air mineral dari kulkas transparan yang berada di samping meja.
“Ini mau beli susu dulu, si Lala ngikut, ribet banget.”
“Oh.”
Aku dan Aldo bergegas menaiki anak tangga. Mendengar ucapan Mbak Hesti tadi kalau Lala putrinya ikut kerja, aku jadi nggak sabar pengen ketemu bocah imut-imut itu.
Tiba di lantai dua, kulihat ada sepasang calon pengantin sedang berbincang. Kayanya mereka deh yang bakalan jadi klien aku dan Aldo selanjutnya. Di antara mereka bocah berusia tiga tahun duduk di tengahnya.
“Assalamualaikum,” sapaku.
Kedua orang itu menoleh, lalu berdiri menyambutku dan Aldo.
“Waalaikumsalam,” jawabnya.
Kami berempat berjabatan tangan, lalu duduk berhadapan.
“Om Lendla, Om Aldo. Apa kabal?” tanya gadis dengan rambut kuncir dua menatapku.
“Alhamdulillah, kabar baik, Lala. Sini, pangku Om.” Aku merentangkan tangan.
Lala langsung turun dari kursinya dan melangkah ke depanku. Kugendong dia dan duduk di pangkuan. Sambil kumainkan poninya, aroma bocah ini selalu bikin kangen.
“Lala udah makan belum?” tanyaku.
“Sudah, Om.”
“Oh sudah, Om Rendra sama Om Aldo mau ngobrol dulu ya. Kamu duduk di sini, nih, Om punya video baru.” Aku mengambil ponsel dari saku celana.
Lalu aku menampilkan sebuah video Nusa dan Rara dari ponselku. Sebuah kisah animasi tentang kehidupan anak-anak kecil yang dikemas secara apik dan mudah dipahami oleh anak seusia Lala.
Lala langsung meraih ponselku, dan pindah duduk. Kulihat dia menyilangkan kedua kakinya di atas dan asyik melihat video itu.
“Eum, perkenalkan saya Andi, dan ini calon istri saya Nuri.” Pria di depanku memperkenalkan diri.
“Oh iya, saya Rendra, ini rekan saya Aldo. Mbak Hesti sudah cerita sih, dikit.” Aku mencoba untuk membuka percakapan.
“Iya, mungkin masnya bisa kasih saran gitu. Jadi kita nih berdua punya konsep buat pernikahan kita nanti. Kalau kami pilih outdoor gitu. Biar nyambung konsepnya, kira-kira untuk prewedding enaknya di mana ya?” tanya Andi memandang kita berdua.
“Eum, kalau boleh tahu. Nanti nikahnya di mana lokasinya, Mas?”
“Di Bogor sih, tadi udah bilang juga sama Mbak Hesti.”
“Oh gitu, gimana kalau ke puncak aja kita foto-foto di sana. Nanti aku kasih list lokasinya. Ada beberapa tempat bagus di sana. Yaaah itung-itung sekalian jalan-jalan, ya, Al.” Aku menepuk bahu Aldo yang sejak tadi sibuk ngunyah bakwan.
“Heeum, bener kata Rendra. Nanti kita kasih list lokasinya.”
“Boleh deh, Mas. Eum, boleh minta nomor kontaknya?”
“Boleh boleh, eum nomor lu, Al. Hape gue dipake Lala.”
Aldo memberikan ponselnya pada Andi, agar klien kami itu memberikan nomor kontaknya dan bisa menghubungi kami nanti kalau sudah siap untuk foto.
Setelah itu keduanya berpamitan, sementara Mbak Hesti belum juga datang. Aku melihat bocah kecil di sebelahku ternyata tertidur gaes. Untungnya ponselku nggak jatuh.
Aku mengambil ponsel dan meletakkannya di atas meja. Kemudian menggendong dan memindahkan tubuh mungil itu ke sofa. Kasihan kalau tidur di kursi pasti pegel.
“Lu laper, Al? Dari tadi mulut lu ga brenti ngunyah.” Aku menggeleng lemah menatap Aldo yang sudah berganti makan risol.
“Iya, Ren. Pake nasi enak ini. Hahaha.”
“Gue juga laper, tapi kalo Cuma gorengan mah kaga kenyang. Cari ketoprak yuk di depan.”
“Tuh!” Aldo menunjuk ke arah belakangku.
Aku menoleh, oh iya lupa. Ada si Lala, kalo ditinggal bisa gelundung dia tidur nggak ada yang jagain. Mamanya belum balik juga beli susu. Beli di mana dah tuh emak-emak, apa ngerumpi dulu?
Aku jadi ikutan mengambil sebuah risol, kugigit isinya kentang dan wortel ada telur sama mayonesnya juga. Lumayan, biasa kalau ada tamu emang disuguhin makanan enak-enak.
Kayanya tamu tadi Cuma makanin roti sandwich deh, tinggal sepotong di piring. Tau aja makanan enak, padahal mah gorengan lebih elit dari roti. Soalnya minyak lagi langka.
“Hadeeeuh, capek aing.” Suara keras tiba-tiba terdengar.
Aku dan Aldo sontak menoleh, wanita berjilbab coklat dengan tunik krem berjalan menghampiriku. Lalu duduk dan meletakkan bungkusan di atas meja.
“Kalian tau nggak sih? Aku cari minyak goreng ke mana-mana nggak dapet. Kupikir daerah sini beda sama rumahku. Gataunya sama aja, tuh minyak langka.” Mbak Hesti berbicara sambil mengatur napasnya.
“Gue sumpahnya itu yang nimbun minyak nanti mukanya pada glowing, kuburannya licin, biar tuh pocong gabisa tidur nyenyak soalnya gelundung sana sini,” sambungnya lagi.
Aku dan Aldo saling pandang, lalu terbahak bareng.
“Ada-ada aja nih, Mbak Hesti,” sahut Aldo.
“Kesel tau nggak sih?”
Ting.
Ponselku berkedip.
“Eh siapa tuh, bocil ep-ep. Om Sayang lagi ngapain?” ucap Mbak Hesti mengeja pesan masuk dari ponselku yang tergeletak di meja.
Aku langsung meraihnya, tapi tatapan dan senyum miring Aldo membuatku salah tingkah.
“Ciyeee ciyeee, kayanya ada yang udah jadian nih sama bocil ep-ep, tukeran nomor hape nih yeee. Uhuk uhuk,” goda Aldo.
Aaah kutukupret. Bener kan diledekin, taro di mana nih muka. Mbak Hesti ikutan mesem-mesem lagi.
.
Komennya dong biar semangat 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top