Bab 5

JANGAN PANGGIL OM
BAG 5

.

Aku berlari menuju mobil dibantu oleh satpam sekolahan Amel. Kami bertiga mencoba menahan mobil yang berjalan mundur perlahan, karena memang jalanan agak menurun.

Dengan cepat aku membuka pintu mobil, dan naik. Lalu menginjak rem, kemudian mobil berhenti. Huft, akhirnya, hampir saja.

Namun, aku merasa ada sesuatu yang terinjak ban mobil. Jangan-jangan si Aldo kelindes lagi. Buru-buru kutarik rem tangan dan turun dari mobil melihat situasi di belakang.

Di belakang mobil, Aldo dan Pak Satpam sedang duduk bersandar di bagian belakang mobil dengan kaki lurus. Keduanya tampak mengusap peluh di kening, dan dadanya naik turun menarik napas.

“Gila, lu mah, Ren. Lupanya nyusahin orang. Ketularan tuh bocah kayanya, untungnya nih bukan turunan tajam, bisa nyusruk mobil gue, mana belom lunas,” omel Aldo.

“Ye, Maap. Namanya lupa,” kataku mengusap tengkuk sambil nyengir. “Maaf ya, Pak. Jadi ngerepotin,” kataku lagi.

“Iya, Mas. Nggak apa-apa. Emangnya Mas mau ngapain ke sekolahan? Anaknya atau adiknya sekolah di sini?” tanya Satpam bernama Yono yang kulihat bordiran nama di bajunya.

Satpam itu berdiri dan menepuk-nepuk celana bagian belakang yang kotor.

“Iya, Pak. Eum, adik saya bekelnya ketinggalan. Saya mau anterin, eh malah jadi nyusahin nahan mobil.” Aku hanya bisa nyengir kuda merasa tidak enak.

“Oh gitu, emang siapa nama adiknya?”

“Eum, Amel. Dia kelas sembilan.”

“Oooh, si Amel. Sejak kapan dia punya Abang ganteng begini? Masnya jangan ngaku-ngaku deh, emang si Amel itu suka ngeselin bocahnya. Tapi kalau sampai masnya ini mau berbuat jahat sama dia, waaah saya bisa laporin ke keluarganya.” Pak Satpam sepertinya mencurigaiku.

Memang tampangku ini kaya penjahat apa?

“Mas mau kasih racun nih pasti, biar tuh anak kenapa-kenapa, iya, Kan?” tanyanya dengan menunjuk ke arahku.

Si Aldo mana diem aja lagi, malah telponan sama ceweknya.

“Astaghfirullah, Pak. Saya nggak sejahat itu, beneran saya mau kasih bekel Amel yang ketinggalan di mobil saya.” Aku berusaha menjelaskan.

“Nggak, saya nggak percaya. Mana buktinya? Mana bekalnya? Nggak dibawa kan?” tanya Pak Satpam lagi.

Eh benar juga ya, mana tuh kotak makan?

Tadi pas aku lari ke mobil, aku masih inget kok kalau kotak bekal itu aku pegang. Trus ke mana larinya ya?

“Nah kan, masnya bohong.”

“Beneran, Pak. Saya nggak bohong.” Aku mencoba mencari sekeliling. Di mana itu kotak makan si bocil ep-ep.

Hingga kedua mataku menangkap plastik di bawah ban mobil bagian kanan belakang. Lalu menariknya, dan ternyata di sanalah kotak makan berwarna biru itu teronggok tak berdaya dengan isi yang sudah berhamburan keluar.

“Astaghfirullah.” Aku menghela napas pelan.

“Kotak makannya kelindes, Pak,” kataku mengusap wajah sambil menunjuk ke arah bawah.

Pak satpam di depanku langsung berbalik badan dan melihat ke bawah seperti yang kutunjuk.

“Oalaaaah.”

“Ya udah, saya titip ini saja, Pak. Tolong dikasihkan ke Amel ya, Pak.” Aku langsung memberikan uang selembar berwarna biru, dan menitipkannya pada pak satpam.

Mungkin uang itu bisa berguna nanti waktu istirahat. Amel bisa jajan dan makan di kantin, karena bekal makannya harus terbuang sia-sia.

“Oh, yaudah kalau begitu. Nanti saya sampaikan ke Amel. Saya permisi jaga dulu.” Pak Satpam itu lalu pergi setelah menerima uang pemberianku.

“Ada apaan sih?” tanya Aldo sambil memasukkan ponselnya ke saku celana.

“Tuh liat!” Aku menunjuk kembali ke bawah, memberitahu Aldo apa yang terjadi.

“Ya, kan. Mending gue makan tadi tuh bekel. Ujungnya dimakan sama ban, aaah mubadzir, Ren.”

“Yah lu pungut situ, lu makan,” kataku sambil berlalu meninggalkan Aldo dan masuk ke mobil.

.

Kami pun tiba di salah Mol Summarecon Bekasi. Mencari tempat untuk sarapan, dan akhirnya aku berhenti di sebuah coffeshop. Aldo mengikuti dan kami pun mengambil tempat duduk.

Aku duduk sebelum memesan, meletakkan perlengkapan perang di atas meja. “Lu mau pesen apaan, Al? Kopi?” tanyaku.

“Bolehlah, biasa aja kopi hitam, gula dikit aja.”

Aku lalu beranjak dari duduk dan memesan minum. Dua kopi hitam dengan sedikit gula, dan pisang goreng susu, juga singkong goreng keju sebagai teman ngopi.

Setelah itu aku kembali duduk menunggu pesanan. Sambil melihat isi ponsel yang ternyata dari semalam penuh oleh chat dan panggilan tak terjawab dari Elin.

Sengaja memang sejak kemarin notifikasi WhatsApp aku matiin. Berisik soalnya, cewek kalau ngambek pasti nyepam chat, apalagi kalau ketahuan salah.

“Elin nggak nelpon lu, Ren?” tanya Aldo sambil melirik ke arahku.

“Tuh nyepam chat. Males gue buka.”

“Blokir aja sih.”

“Biarin aja, nggak gue buka lebih sakit dari pada diblokir.”

“Gue juga heran sama dia, apa mungkin dia lagi ada masalah keuangan? And dia malu mau minta tolong sama lu, makanya jual diri.” Aldo meletakkan ponselnya di atas meja, lalu beralih mengambil rokok.

Aku meraih rokok milik Aldo, dan mengambilnya sebatang. “Gue juga nggak tahu, dia nggak cerita sama sekali. Kalau emang iya dia ada masah keuangan. Nggak mungkin berkali-kali, Al. Itu sih namanya doyan.”

“Ya sekalian, Ren.” Aldo terbahak.

Aku menghisap rokok yang baru saja kubakar, huft. Beruntung Tuhan masih baik, memberi petunjuk sebelum aku benar-benar berumah tangga sama dia.

Tak lama pesananku datang, seorang waiters mengantarkannya dan meletakkan makanan serta minuman itu di atas meja.

“Makasih,” kataku.

“Iya, Mas.”

Waiters pria itu pun lalu pergi. Aku menyesap kopi perlahan, dan kembali menghisap rokokku sambil menunggu pisang dan singkong di hadapan kami agak dingin. Karena kepulan asapnya masih terlihat mengudara.

“Trus gimana, lu udah bilang sama mama lu tentang Elin?”

“Belumlah, nggak berani gue juga. Gimana ngomongnya ya? Gue takut penyakit nyokap gue kambuh. Nyokap gue kan punya penyakit jantung.”

“Yah, lu ngomongnya jangan ngagetin. Baik-baik, pelan-pelan aja sambil kasih pengertiannya. Gue rasa nyokap lu bakalan ngerti kok. Ya kali dia mau nerima mantunya yang nakal kaya gitu, Ren.”

“Itu dia, gue belum tau gimana caranya ngomong baik-baik.”

“Yaaah dipikir sambil makan lah,” ujar Aldo seraya menyomot singkong dan melahapnya perlahan.

Tiba-tiba ponselku berkedip, karena suara aku silent. Sebuah panggilan suara dari Mbak Hesti, pemilik WO tempatku bekerja memanggil.

“Ya, Halo, Mbak?” kataku menerima panggilan tersebut.

“Ren, kamu sama Aldo di mana?” tanya suara dari seberang telepon

“Eum, lagi sarapan di caffe. Ada apa ya, Mbak?”

“Ada yang mau foto prewedding nih. Kalian bisa kan? Apa ada yang lagi dikerjain?”

“Oh, bisa, Mbak? Serlok aja lokasinya, Mbak.”

“Justru mereka belum tau lokasinya yang bagus di mana? Kamu abis sarapan ke sini deh. Ngomong langsung sama orangnya aja, soalnya mereka punya tema yang menyatu dengan alam katanya. Kalian kan sering keliling tuh, kali aja ada tempat bagus yang cocok.”

“Oh, oke-oke. Palingan jam sepuluhan ya kita sampai kantor, Mbak.”

“Iya, nggak apa-apa, aku kabarin orangnya dulu, ya. Kebetulan klien nih temannya adik aku.”

“Sip, Mbak.”

“Okey, Ren, tengkyuu.”

Panggilan pun terputus.

Aku membuang rokok di asbak, lalu kembali menyesap kopi. “Mbak Hesti minta kita ke kantor, ada yang mau foto prewedding.” Aku mengambil sebuah pisang goreng seraya memberitahu Aldo kalau ada pekerjaan yang menanti.

“Lokasi di mana?”

“Belum tau, malah tanya kita.”

“Temanya apa?”

“Menyatu dengan alam katanya.”

“Gampang itu.”

“Gampang gampang aja, di mana? Selama ini kita foto kan klien yang kasih tau tempat.”

“Yaudah ajak aja ke kali, mereka suruh pake baju mandi gitu. Apa enggak ke sawah, jadi orang-orangan sawah.” Aldo terkekeh.

Aku hampir keselek pisang goreng mendengarnya. Lalu kembali menyesap kopi agar tidak seret di mulut.

Tak lama kemudian ponselku kembali berkedip. Sebuah pesan WA baru saja masuk dan tampak di bagian atas layar. Kali ini tidak ada namanya, dari nomor yang nggak kukenal.

Aku mengusap ponsel dan membuka pesan tersebut. Keningku seketika mengkerut.

+62 813 4545 2112
[ Hay, Om ganteng. Makasih ya, uang jajannya. Maaf kalau ngerepotin, aku janji deh nanti kalau aku sudah dewasa dan menjadi pendamping hidupnya Om ganteng, akan aku balas perbuatan baik Om selama ini. Dari Amel yang selalu merindukanmu. Emuaaah emuaaah.]

Aku terbatuk dan hendak muntah bacanya. Nih bocah dapat nomorku dari mana coba?

.

Bersambung.

No di atas fiktif yaaa, plisss jangan dimaki jangan coba-coba dihubungi, entar kena bucinnya si Amel. 😜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top