Bab 1
JANGAN PANGGIL OM!
BAG 1
.
“Gila kalian!” pekikku seraya mendobrak pintu ruangan yang tertutup.
Kini dua insan berlawanan jenis di hadapanku memasang wajah panik. Keduanya buru-buru memakai pakaiannya yang berserak di lantai.
“Enak? Siang bolong adu mekanik?” tanyaku sinis menatap pria bertubuh tambun yang baru saja menunggangi wanita yang aku cintai.
“Ren, aku bisa jelasin semuanya.” Wanita berambut panjang berwarna keemasan berusaha meraih tanganku.
Aku menepis, lalu mendorong tubuhnya yang tertutup selimut, hingga jatuh ke lantai. Tak peduli lagi dengan air matanya yang tumpah, nyatanya dia sudah berkhianat dan menyakitiku.
Bayangan dua bulan lagi kami akan naik ke pelaminan, sirna seketika. Semua rencana indah itu kini tinggal kenangan, keluarga besarku tak boleh tahu ini semua. Mereka pasti akan kecewa dan sakit hati. Mati-matian aku cari kerja, cari uang tambahan untuk membahagiakan dia, ternyata dia asyik dengan pria lain.
“Waah bakalan viral nih, Ren. Elin Elin, udah bagus punya pacar setia kaya temen gue, malah lu pilih om-om yang gendut item begitu. Hadeeh,” celetuk sohibku yang berdiri di depan pintu kamar sambil terus merekam apa yang terjadi di ruangan ini.
Napasku masih memburu, menahan gejolak dan api amarah yang masih membara di dada. Aku berusaha agar tanganku ini tak melukai wanita yang selama lima tahun membersamaiku.
“Kita putus, lupain semua yang sudah kita rencanakan. Maaf, kalau aku nggak bisa kasih kamu yang terbaik,” ucapku seraya melepas cincin pertunangan dan meletakkannya di atas kasur.
Sebelum meninggalkan ruangan, aku menghampiri pria yang duduk menutup wajahnya di depan lemari. Kuremas kerah bajunya hingga ia berdiri, lalu kutinju wajahnya bolak balik. “Ambil, kalau lu mau dia. Gue nggak Sudi!”
Lalu kulepas tangan dari lehernya, wajah pria paruh baya itu ketakutan dan hanya bisa menunduk. Aku berjalan mundur, dan berusaha menepis kakiku yang ditahan oleh Elin.
“Ren, maafin aku, Ren. Ren, tunggu!”
Aku tak lagi peduli, lalu merangkul sohibku dan mengajaknya keluar dari kamar hotel tersebut.
Ini benar-benar hari sial, kenapa Elin harus berbuat hubungan seperti itu dengan laki-laki lain? Apa salah aku? Apa aku terlalu dingin menjadi seorang laki-laki? Apa aku kurang romantis? Apa aku nggak punya uang banyak untuk bahagiain dia?
Aku meremas rambutku kesal, sampai tiba di lantai bawah kepala ini rasanya masih sakit, hati ini pun masih tak terima. Padahal kedua orang tua aku sudah sangat merestui hubungan kami, bahkan mamaku bilang kalau Elin adalah menantu idamannya.
Ya Tuhan, ujian ini begitu berat untukku.
.
“Ren, kamu mau ke mana?” tanya Mama mendekatiku.
Aku mengemasi pakaian dan memasukkannya ke dalam koper besar. Tak lupa membawa beberapa perlengkapan kerjaku yang lain.
“Aku ada pemotretan di luar kota, Ma. Untuk beberapa minggu kayanya aku nggak bisa buat PP.”
“Oh, tapi kamu udah bilang kan sama Elin?”
Aku hanya mengangguk, tidak mungkin aku bicara yang sebenarnya pada Mama. Aku takut, penyakit Mama akan kambuh kalau tahu kenyataan yang sebenarnya.
“Ya udah, kamu mau jalan kapan? Besok pagi, kan?”
“Malam ini, Ma.”
Kulihat raut wajah wanita paruh baya di hadapanku mengernyitkan kening. “Loh, nggak besok saja? Ini sudah malam, Ren. Kamu pergi sendiri atau sama siapa?”
“Sama Aldo, Ma. Nggak enak udah ditungguin.”
“Oh yaudah, kamu hati-hati, ya.”
“Iya, Ma. Aku berangkat dulu ya.”
“Iya, Sayang.”
Setelah semua perlengkapan siap, dan masuk semua ke dalam koper. Saatnya aku berpamitan dengan kedua orang tuaku.
Maafin aku, Ma. Sebenarnya bukan karena kerjaan aku pergi dari rumah. Aku hanya ingin menenangkan hati dan pikiran. Aku ingin healing, menyembuhkan luka dengan pergi jauh dari semua bayangan dan kenangan masa lalu bersama Elin.
Aku pergi dengan mobil bersama sohib karibku. Dia yang selama ini menemani ke mana aku kerja, karena kami satu team.
“Gue masih nggak nyangka kalo Elin bisa berbuat kaya gitu. Padahal dia kalem loh, pake jilbab kalo keluar, rapet malah. Kok murah banget sama om-om. Jelek, gendut, item. Ish,” ujar Aldo membuatku semakin sakit hati mengingatnya.
“Barangnya gede kali,” sahutku kesal.
“Emang dia udah pernah nyobain barang lo, Ren?”
Aku mendelik, lalu menoyor kepalanya. “Sialan! Enggak lah. Gue tuh jaga dia banget, biar nggak rusak. Eh malah dia yang nggak bisa jaga diri.”
“Nah mungkin karena itu juga kali, pacaran zaman sekarang kan nggak jauh-jauh dari begituan, karena lu kaga kasih, makanya dia cari pelampiasan ke yang lain.”
“Bego itu cewek namanya.”
“Yah, nggak juga sih.”
“Apaan sih lo. Eh, jangan samain gue sama lo ya, yang tiap kenal sama cewek langsung lo ajak chek in.”
“Loh, kenapa lo marah sama gue? Selama kita suka sama suka, tuh cewek juga mau. Kenapa gue harus nolak. Ya, kan. Hahaha.”
“Kampret, lo. Kalo semua cowok kaya lo, ntar gue nggak kebagian perawan.” Aku kembali memukul bahu sohibku yang tawanya makin keras.
“Dih, cari sana di pesantren, di masjid, masih banyak kali, cewek-cewek ranum.”
“Pesantren mungkin banyak, tapi kalo mesjid kayanya isinya emak-emak deh.” Aku terkekeh.
“Nah, itu lo tau, emak-emak cari yang janda.”
“Kenapa gitu?”
“Kalo janda, biasanya cuma bekas suaminya. Kalo ngaku gadis, bekas pacar-pacarnya. Hahaha.”
Aku dan Aldo kembali tertawa, tapi apa yang dikatakan dia benar juga sih. Owh pantesan dulu ada teman sekantor dia ngebet banget sama janda. Nggak tahunya itu alasan dia suka sama single mom. Eh tapi, kan banyak juga janda gatel.
Ah, kenapa jadi mikirin janda sih.
Tiba-tiba Aldo ngerem mendadak. Hampir aja kepala aku kepentok dashboard.
“Apaan sih?” tanyaku bingung.
“Di depan ada bocah, duh nabrak nggak ya?”
“Hah? Lo nabrak bocah. Turun dah turun.”
Aku bergegas membuka pintu mobil dan melihat ke depan. Benar saja, seorang gadis tergeletak di jalan. Mana sepi, kasihan kalau ditinggal. Aku melotot ke arah Aldo.
“Lo tabrak dia?”
“Gue nggak tahu, Ren. Nabrak nggak nya.”
“Emang nggak berasa?”
“Kaga.”
Gadis di depanku sepertinya pingsan, aku berjongkok dan meraih kepalanya sambil menepuk-nepuk pipi. “Dek, bangun, Dek. Kamu nggak apa-apa, kan?”
Dia menggeliat, kulihat matanya berkedip.
“Om mau apa?” tanyanya kaget seraya menyilangkan kedua tangan di depan dada.
Yeee bocah edan, dia pikir aku demen apa sama bocil. Dadanya aja kaya tutup gelas gitu.
“Eh, anak kecil kalau main jangan di jalanan, mana malem-malem. Pulang sana!” ucap Aldo yang sepertinya kesal juga dengan kelakuan bocah di depan kami ini.
“Oh, Om ngancem. Aku teriak nih, kalau Om berdua mau perkosa dan culik aku,” ujarnya dengan mata melotot.
Aku dan Aldo saling pandang, bisa gawat kalau kami sampai di keroyok warga dengan ulah bocah ini.
“Mau kamu apa?” tanya Aldo sedikit ngegas.
“Voucher epep dong, Om,” ujar gadis rambut sebahu di depanku dengan wajah melas.
Aldo menepuk keningnya. “Yahelaaaah, bocil ep ep, bisaan banget ektingnya. Astaghfirullah.”
“Ude kasih, Al. Daripada kita dikeroyok warga.” Aku tertawa sambil mengusap kepala bocah di depanku, sedikit noyor sih, karena kesal juga dikerjain.
Tak lama setelah transaksi selesai, bocah itu menghampiriku.
“Om ganteng, mau nggak jadi masa depan aku?” ujarnya tanpa sungkan setelah itu berbalik badan dan lari, hingga menghilang di kegelapan malam.
Aku tertegun sejenak, binar mata gadis itu tampak bahagia kala menatapku. Entah mengapa dada yang tadi sesak, sedikit berdebar mendengar ucapannya.
“Ciyeee, ditembak bocil ep-ep,” goda Aldo.
Sialan!
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top