[1]
[Kegelapan sebenarnya berada dipelupuk matamu]
***
"Ibu, aku takut kegelapan!"
Itulah kalimat yang selalu aku lontarkan saat usiaku masih 6 tahun, tepatnya tahun 2006 silam. Aku akan menangis dengan kencang saat lampu di seluruh desaku padam secara tiba-tiba. Seolah seseorang tengah menindih dadaku sehingga aku sulit bernapas.
Aku butuh cahaya, itulah yang sering aku pikirkan. Setelah merasa seperti itu tampak sesuatu tengah mengelilingiku dengan wangi busuk yang menyengat. Seperti aroma selokan dengan bangkai di dalamnya. Namun, saat ibuku membawa pelita kecil mendekat. Semua hal itu lenyap meninggalkan keringat dingin di pelipis dan rasa takut yang luar biasa. Entah kenapa aku selalu takut menceritakan hal ini pada ibuku.
Aku benci kegelapan, bahkan untuk ke kamar mandi saja saat itu aku harus ditemani.
Ada satu kejadian di mana aku terkena demam dua hari hanya karena sebuah kegelapan. Aku terlahir dikeluarga yang sangat sederhana. Dimana kami masih menimba di sumur untuk mendapatkan air seember demi seember untuk mengisi baskom di dalam rumah. Saat itu salat magrib telah dilaksanakan. Aku berdiri mengikuti kakakku untuk ke sumur belakang rumah. Sumurnya terletak di luar dengan jarak lima meter dari pintu dapurku. Aku memegang ujung baju dari kakak perempuanku. Keadaan belakang rumah yang penuh dengan pohon kakao, kelapa dan pisang itu menambah kesan menyeramkan dimataku. Dimana kadang terdengar suara pohon bambu yang terletak diperbatasan rumah bergesakan menimbulkan bunyi. Hari itu langit sangat gelap, tak ada bintang disana. Aku ingat betul hari itu adalah hari kamis. Kakakku menyuruhku untuk duduk di dekat sumur untuk menemaninya menimba air.
Seolah selalu merasa terpanggil, mataku selalu menoleh ke belakang rumahku. Sampai kami berdua mendengar sesuatu bergerak dari arah kegelapan itu. Aku tak bisa melihat jelas wajah kakakku saat itu. Tapi aku tahu kakakku tengah menatapku. Aku berjalan mendekat kearahnya, memeluknya dengan erat. Dengan suara lirih aku berbisik, "Kak itu apa?"
Aku dapat merasakan tangan kakakku gemetar, genggamannya pada telapak tanganku semakin erat. Tapi entah keberanian dari mana kakakku saat itu berteriak.
"Siapa itu?!"
Aku semakin takut, saat aku mengintip dari depan kakakku aku melihat dua titik cahay berwarna merah di dekat pohon kelapa.
Kakakku segera menarik tubuhku dari sana. Meninggal ember yang tumpahsaat tak sengaja kaki kakakku menendangnya. Hal yang terakhir aku dengar saat itu adalah suara kepakan sayap yang sangat jelas.
Titik merah yang kulihat adalah sepasang mata.
Dan orang di kampungku menyebut hal itu adalah parakkang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top