Perjanjian Berdarah

Malam itu, Jean dan Armin berboncengan dengan moge ke suatu tempat di luar kota. Tempat itu cukup sepi tapi jalannya terjal dengan banyak belokan, maklum, tempat itu tidak lain terletak di sebuah bukit. Hari sudah gelap ketika mereka sampai di sana, ada banyak lampu-lampu kendaraan yang menyorot menerangi jalanan, Jean menghentikan motornya di sana.

"Benar-benar mengerikan tempat ini ..." Armin tidak berani jauh-jauh dari Jean.

"Bisa gawat kalau mereka tahu kamu bukan perempuan. Untung suaramu belum pecah," kata Jean.

"Anu ..."

"Apa?"

"Boleh ... Boleh ... Umm ... Boleh tidak ... Umm..." Armin menundukkan kepala, tidak berani menatap Jean, terutama mata Jean yang coklat itu. Tak lama kemudian pipinya terlihat memerah. Tapi berhubung saat itu malam hari, maka wajahnya tetap terlihat biru karena memantulkan sinar dari sekitarnya. "Boleh....?"

"Apa sih?!"

"Boleh gandeng tanganmu?" Armin sekarang memalingkan wajahnya ke tempat lain.

"Kenapa?"

"Karena ... Mereka menyeramkan," Armin menatap kerumunan, tempat dimana banyak lampu-lampu kendaraan menyorot menerangi jalanan.

"Hadeh ... kamu laki-laki, Armin. Masa takut sama orang? Jadi laki-laki itu harus berani. Yang penting kamu jangan jauh-jauh dariku saja, karena mereka cukup nakal. Kalau sampai mereka meraba-raba kamu, bisa ketahuan kalau yang ada di dadamu itu kaus kaki."

"K-kamu bisa gak memfilter sedikit ucapanmu itu?!" ucap Armin dengan geram bercampur malu.

Kerumunan itu cukup ramai, terhitung ada sepuluh orang pembalap di sana, sedang menunggu acara balap tersebut dimulai setelah jam dua malam. Saat ini baru jam dua belas, masih ada dua jam, maka mereka menunggu sambil bersantai dan minum kopi.

Saat Jean masuk ke dalam kerumunan, Armin mengikutinya lekat dari belakang. Terlihat jelas bahwa dia sedang ketakutan, punggungnya sedikit membungkuk dan matanya melirik ke sekitar dengan resah. Salah seorang preman menegurnya dengan genit saat Armin lewat, Armin jadi berharap bahwa ini semua cepat berlalu.

PLAK! Seseorang melewatinya dan menabok bokong Armin yang menggunakan celana pendek dan ketat. Refleks, Armin menoleh ke arah si penabok dan preman itu malah tertawa sambil mengeluarkan kata-kata tidak pantas yang melecehkan.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Jean.

"Cepat selesaikan ini semua dan pulang," kata Armin, dia tahu Jean membutuhkan balapan ini dan hanya ini yang bisa dia lakukan untuk membantu temannya itu. 

Mungkin karena kasihan, Jean merangkul Armin dan menariknya mendekat, bibirnya berada cukup dekat di telinga Armin, "mereka melecehkanmu karena kamu terlihat terintimidasi. Cobalah untuk tenang dan mengabaikan mereka, kau lihat cewek-cewek di sana? Mereka tidak diapa-apakan, kan? Sekalipun nyaris telanjang. Itu karena mereka tidak memedulikan para preman itu."

"Baiklah."

"Ke sanalah bersama mereka, aku temui si bos preman itu dulu."

"Oke."

Jean memastikan Armin duduk di antara para gadis-gadis pembonceng itu dan berbicara dengan mereka baru kemudian dia masuk ke sebuah kabin kecil dimana bos preman itu sedang duduk sambil main kartu.

"Jean Kirstein! Hahaha ... Boleh juga nyalimu datang kemari untuk balapan melawanku. Seperti yang sudah kukatakan, kalau kamu menang dariku, aku tidak akan macam-macam denganmu atau dengan keluargamu. Tapi kalau kau kalah, ... kau tahu risikonya, kan?"

Risikonya adalah Armin akan menjadi milik si bos preman. Biasanya Armin baru akan dilepaskan kalau si bos itu sudah bosan. Tapi masalahnya yang membuat Jean cemas, adalah bila si bos preman itu tahu Armin bukan perempuan, dia jadi khawatir kalau si bos akan membunuh Armin dan dirinya juga karena marah.

"Aku hanya perlu menang darimu, kan?" tanya Jean.

"Benar sekali. Jangan khawatir, aku selalu bermain dengan adil."

"Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu," kata Jean.

"Apa itu?"

"Cewek yang datang bersamaku itu, dia pacarku. Aku tidak ingin membawanya tapi dia yang memaksa, agar masalah kita cepat selesai. Kalau aku kalah, aku akan potong jari kelingkingku, tapi jangan sentuh dia," kata Jean, dia terlihat gemetar karena yang dia ucapkan itu sungguh-sungguh.

Bos preman melihat Jean gemetar saat mengatakannya, tapi dia bukan jenis orang yang percaya pada kata-kata belaka, maka dia melemparkan sebilah pisau lipat ke hadapan Jean, "beri aku jaminan bahwa kata-katamu itu sungguhan, dan aku akan setuju."

Kerongkongan Jean terasa kering melihat belati lipat itu, dia harus memberikan semacam DP untuk membuktikan bahwa perkataannya bukan omong kosong. Maka dia mengambil belati itu untuk menunjukkan darah pada si Bos Preman.



Jean diberikan sehelai sapu tangan yang dengan cepat menjadi merah ketika meninggalkan kabin tempat Bos Preman berada. Bos Preman menyuruhnya untuk pergi ke tempat medis untuk mendapatkan pengobatan bagi daun telinga yang dia iris sedikit. Setidaknya dia merasa lega bahwa Armin sudah aman sekarang.

Sebelum ke tempat medis, dia ingin melihat Armin dulu, dan orang itu tidak ada di antara para gadis pembonceng.

"Apa kalian melihat cewek berambut pirang pendek? Alisnya tebal dan matanya lebar, hidungnya bulat," tanya Jean.

"Oh yang kelihatan tidak nyaman itu ya?" tanya salah seorang cewek pembonceng.

"Oh iya, yang itu ...," sahut cewek pembonceng lainnya, wajahnya terlihat pucat.

"Kasihan sekali dia," kata yang lain.

Salah seorang cewek pembonceng itu berdiri menghampiri Jean, "tadi ada seorang pembalap yang ingin menculikku, dan cewek itu membelaku. Tapi akibatnya dia yang diculik."

"Apa? Di mana dia? Kau tahu di mana dia?"

"Paling di kabin," kata cewek itu, merasa bersalah. "Aku antarkan kamu ke sana, tapi aku tidak ikut masuk ya. Aku takut!"

"Cepat antar aku ke sana!"

Tidak jauh dari tempat para cewek pembonceng itu duduk menunggu rekan mereka bersiap-siap, ada kabin yang katanya disediakan untuk beristirahat. Di dalamnya ada ranjang dan meja, serta televisi dan kulkas. Jean masuk seorang diri ke dalam kabin itu dan mendapati hanya ada seorang pembalap yang sedang duduk di ruang duduk sambil menonton televisi.

Pembalap itu menatap Jean curiga, dia tahu air muka Jean tampak seperti air muka orang yang siap untuk membuat masalah, "siapa kau?"

Jean segera menyerang orang itu, menyikutnya di rahang dan menonjok wajahnya. Pembalap itu mencoba untuk melawan, tapi Jean sudah lebih cepat memberikan serangan-serangan lain dengan tinjunya, lalu merebut pistol yang terselip di ikat pinggangnya. Pistol itu dia todongkan pada si pembalap, "ada cewek berambut pirang dengan alis tebal dan mata besar, aku dengar dia di bawa ke sini, mana dia?"

Pembalap itu ketakutan karena ditodong pistol, dia menunjuk sebuah kamar tidak jauh dari ruang duduk.

Jean memasukkan pembalap itu ke dalam WC, lalu menyumbat pintu WC itu dengan menyangkutkan kursi ke knop pintunya agar tidak bisa diturunkan, dan tidak bisa dibuka. Dengan demikian, dia telah menyingkirkan seorang yang berpotensi untuk menyerangnya dari belakang. 

Jean mengetuk pintu kamar itu, tapi dijawab dengan bentakan, "dasar brengsek! Tadi katanya kamu tidak mau ikutan, sekarang kamu mau masuk juga? Enak saja!"

Jean menendang pintu itu dengan kuat pada bagian knop sehingga pintu itu jebol seketika. Rupanya mereka sudah menggeledah Armin dan ketahuan kalau dia bukan cewek. Sekalipun begitu, mereka masih ingin melecehkannya.

Jean enggan mendeskripsikan pemandangan yang dia lihat, karena Armin pasti berada di posisi yang sangat memalukan. Armin sampai memalingkan wajahnya dari Jean.

"Kau tahu dia bukan perempuan sekarang?" tanya Jean sambil menodongkan pistol, benda itu berhasil membekukan semua pembalap di dalam kamar itu.

"Iya, kita tahu. Ternyata kamu gay, ya? Membawa bencong ke sini? Tapi tenang saja, aku juga suka cowok kok, terutama yang masih imut-imut seperti ini."

Satu tembakan meletus, beberapa senti di atas rambut si pembalap yang sedang memegangi Armin dari belakang.

"Steve, dia gila!"

"Steve namamu, ya?" tanya Jean, "kau mau mati demi bocah shota itu?"

Steve akhirnya melepaskan Armin, begitu juga dengan temannya.

"Ayo pergi, Roy."

"Tapi, dia hanya bocah, ...!"

"Memangnya kau bisa merebut pistol itu dari tangannya? Telinganya sendiri saja dia potong apalagi membunuh kita! Ayo pergi!" 

"Hei, bocah, ingat, balapan nanti, kau mampus!" dua pembalap itu meninggalkan Jean dan keluar dari kabin.

Jean masuk ke dalam kamar itu dan duduk tidak jauh dari Armin yang sedang menangis.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Jean.

"Kalau kamu datang sedikit lebih lambat, itunya sudah masuk," jawab Armin.

"Maaf," kata Jean dengan ragu, dia tidak biasa meminta maaf. 

"Kau pikir sekadar maaf saja cukup? Apa yang kualami ini, akan menjadi mimpi buruk seumur hidup! Aku akan trauma melihat pembalap seumur hidupku!"

"Aku juga pernah..." kata Jean, kata-kata itu membuat Armin berhenti menangis.

"Waktu aku kecil, ada pedopilia gay tinggal di sebelah rumahku. Awalnya dia memberiku permen, kukira orang baik. Tapi kemudian dia memegang-megang badanku, sampai akhirnya aku ingat, aku tidak bisa keluar dari rumahnya bila polisi tidak datang mendobrak. Persis seperti yang kau alami. Bedanya, ..." Jean berhenti bicara.

Armin melihat bagaimana pistol di tangan Jean terlihat gemetaran. Pasti itu pengalaman masa kecil yang sangat buruk. Armin ingin memeluknya, menunjukkan kalau dia prihatin dengan apa yang dialami Jean saat kecil dulu. Tapi setahu Armin, Jean bukan seorang gay, maka dia mencoba untuk menghibur Jean dengan kata-kata, "aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah datang."

"Ya, sama-sama."

"Sekarang bagaimana? Aku tetap menggunakan pakaian perempuan itu atau tidak?"

"Pakai saja, mungkin mereka akan mengejek dan mencemoohmu nanti ..."

"Tidak apa-apa. Aku tidak perlu mendengarkan apa yang mereka katakan!" Armin menggelosor turun dari ranjang itu dan memunguti pakaiannya dan berpakaian.

"Masih ada kesempatan untuk mundur," kata Jean.

"Tidak! Aku sudah sampai di sini dan kau tidak punya pilihan lain, Jean!"

"Kalau kau kalah, Bos Preman itu akan menyekapmu sampai dia bosan."

Armin merinding membayangkannya, tapi kemudian dia berpaling untuk menatap Jean, "kan aku sudah bilang, aku di sini untuk membantumu. Apapun yang terjadi, aku tidak akan menyesalinya."

Jean tersenyum.

"Ngomong-ngomong, telingamu kenapa? Wah!! Kau habis bertengkar dengan siapa? Siapa yang memotong telingamu?!" Armin membungkukkan badan sehingga dia berada cukup dekat dengan Jean sekarang. Armin sedang menyentuh wajah dan telinganya yang luka, tapi entah kenapa, Jean merasa tidak keberatan dengan jarak mereka yang cukup dekat ini. Bahkan dia merasa dadanya sedikit berdebar-debar.

"Sebaiknya kita fokus memikirkan bagaimana agar menang balapan nanti," kata Jean.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top