[EXTRA] Pengalaman Baru
Bodoh namanya kalau mencoba menghadapi Annie secara adil. Jean memang terbiasa dengan kehidupan keras karena lingkungan tempat dia tumbuh memaksanya demikian. Berantem itu sudah biasa, tawuran apalagi. Tapi kalau dia berhadap-hadapan satu lawan satu melawan ahli beladiri seperti Annie, yang dalam kondisi penuh cinta--gemas--pun berbahaya, Jean hanya akan menggali kuburan sendiri kalau dia tidak main curang.
Armin sendiri sebenarnya sangat anti dengan permainan curang, tapi dia tidak punya pilihan lain. Dia telah memikirkan cara untuk membantu menolong Jean dari Annie. Minimal dia tidak akan terbantai.
"Grr ... Dia belum muncul," Jean dengan resah menoleh ke arah taman dari balik semak-semak.
"Aku dapat cara ini dari film Prison Break season 3. Aroma tinner yang kuat ini akan membuat Annie pusing. Tapi kamu harus tutup hidung juga."
"Kau yakin? Karena aku merasa aromanya enak dihirup..." Jean mengendus kaleng berwarna hijau dengan cairan kuat itu sekali lagi. Armin cepat-cepat mengambilnya, "demi keamanan sebaiknya jangan mengendusnya terus! Kemarikan tanganmu, biar kubalutkan kain untuk menonjok Annie."
Jean menyerahkan kedua tangannya, Armin memasukkan brass knuckle pada tangan Jean agar pukulannya jadi sekeras besi. Setelah itu dia menutupi brass knuckle itu dengan kain yang telah dilumuri tinner.
"Nah, sudah siap. Semoga berhasil, Jean!"
Jean berdiri dan masuk ke dalam taman, dibalik pakaian trainer nya yang rapat tersembunyi jaket tebal yang bisa membantu menahan benturan andai lutut Annie menghajar badannya.
"Aku tidak tahu apa masalahnya padaku, tapi setidaknya, sebelum kita baku hantam nanti, aku akan tanyakan dulu itu," pikir Jean.
Akhirnya sesosok wanita datang dari kejauhan, perlahan sosoknya semakin jelas, rupanya rambutnya tidak pirang lurus, tapi pirang keriting sebahu seperti Armin. Dia memiliki bintik-bintik di wajah seperti Marco. Hidungnya tidak bengkok seperti Annie, melainkan kecil dan mancung. Dia perempuan yang sangat stylish, dan dia berdandan cantik sekali.
"Halo, Jean," sapanya dengan manis. "Kamu sudah terima suratku?"
Armin sama terkejutnya dengan Jean. "Kenapa malah Hitch yang muncul??"
"Mana Annie?" tanya Jean.
"Apa hubungannya dengan Annie?"
"Surat itu bukannya ..."
"Aku yang kirim surat itu. Memang Annie yang kasih sih, karena aku deg-degan. Baru mau kasih surat saja sudah berdebar-debar. Kau tahu? Aku suka sekali padamu," kata Hitch.
Armin merasa seperti hendak menggali tanah kemudian masuk ke sana dan berenang sampai ke laut.
"Ngomong-ngomong, ini bau apa ya? Kepalaku jadi pusing," kata Hitch sambil memijit keningnya.
"Erm ... kurasa sekarang waktunya gak tepat. Gimana kalau kita ketemu lagi nanti sore, jam 6?"
"Eh? Kenapa?"
Jean tidak mungkin bilang kalau dia harus melepaskan semua perlengkapan dan persiapan berantem yang sudah dia kenakan dengan lengkap dan komplit. Plus, dia masih punya perhitungan dengan Armin, si biang kerok.
"Aku tidak tahu kalau kamu yang datang, kalau tahu, aku bakal melakukan persiapan yang berbeda, kan?" bujuk Jean.
"Wah kau manis sekali. Ya sudah kalau begitu. Di jalan Shigansina ada kafe Rose, aku suka sekali tempat itu.
Kutunggu kamu di sana, oke?" Hitch lalu pergi.
Saat Jean memeriksa semak-semak, Armin sudah kabur. Tapi karena dia tidak kuat lari, jadi Jean berhasil mengejarnya dan menangkapnya. Lagi-lagi dia mencekik leher Armin dengan lengannya.
"Waaa ampun! Ampun! Jangan sakiti aku!! Aku tidak tahu kalau Hitch yang menulis surat itu! Kukira Annie karena Annie yang memberikannya padaku!"
"Armin," panggil Jean dengan lengan yang masih melingkar erat di leher Armin. "Kamu pernah kencan?"
"Eh?" sekarang Armin memperhatikan Jean, wajahnya tampak bersemu kemerahan.
"Loh? Jadi ... kamu diajak kencan sama dia?"
"Nggak sih. Tapi, janjian ketemu di suatu tempat dengan orang yang berpotensi jadi pacar itu termasuknya kencan, kan?" tanya Jean dengan ragu.
"Aku gak pernah kencan sih, tapi mau kubantu?"
Jean melepas semua perlengkapan duel yang dipasangnya tadi. Dia menyodorkan semuanya pada Armin sehingga tangannya penuh, kemudian dia berjalan pergi meninggalkan taman.
"J-Jean? Kau mau ke mana?"
Pulang ke rumah, Jean segera mandi dan membersihkan diri lalu memilih pakaian terbaik yang dia punyai. Setelah menyisir rambutnya, kemudian dia bersiap untuk pergi. Ternyata isi dompetnya kosong, maka dia mencari kakeknya. Kakeknya ada di ruang tamu menonton televisi. Sebelum Jean masuk ke dalam sana, dia mendengar kakeknya terbatuk-batuk. Kakek bekerja sebagai seorang tukang taman setelah pensiun sebagai sales. Sementara itu Jean bekerja serabutan di akhir pekan. Uang di dompetnya semakin menipis, tidak akan cukup untuk bayar billing listrik dan air kalau dia pergi kencan nanti. Tapi cewek pasti maunya dibayarin, kan? Kalau tidak nanti dirinya dicap "cowok gak modal".
Sebenarnya Jean sangat ingin mencoba, bagaimana rasanya punya pacar. Pasti menyenangkan kalau ada seseorang yang peduli padanya dan memperhatikannya. Membuatkan makan siang, setidaknya. Langsung saja dia teringat akan Armin yang sudah melakukan itu untuknya sekalipun di bawah ancaman. Tapi walau sudah diancam pun, dia selalu membantu Jean dan ada untuknya dengan tulus.
Tapi Armin punya sesuatu yang tidak dimiliki Hitch.
Jean datang sebelum pukul enam sore, dia sangat gugup sekaligus bersemangat. Tapi dia juga merasa cemas apakah Hitch akan meninggalkannya kalau sampai dia tahu Jean tidak punya uang untuk mentraktirnya makan dan minum? Apalagi setelah masuk ke dalam kafe itu, rasanya tempat ini terlalu mahal untuknya.
"Mau pesan apa?" tanya seorang barista.
Saat Jean melihat daftar harga yang tertulis pada papan kapur di belakang barista, dia ingin pingsan melihat harganya. Satu kopi bisa untuk makan sehari. Ini gila!
Jean berjalan keluar dari kafe, kabur. Mungkin ini pilihan terbaik. Kabur. Bila Hitch datang, dia mungkin akan menunggu Jean dengan sabar. Dia sudah berani menulis surat cinta yang isinya to the point banget seperti itu, dia pasti juga sama gugupnya dengan Jean. Apa yang akan dia lakukan bila ternyata Jean tidak datang, padahal mereka sudah janjian?
Langit sudah gelap, Hitch pasti sudah di sana. Akhirnya Jean memilih untuk kembali ke Kafe Rose dan mencari Hitch. Ya, lebih baik dirinya dikatai cowok gak modal dan kehilangan seorang pemuja daripada membiarkan seorang gadis yang menghargainya dengan memberikan janji palsu.
Gadis itu ada di sana, menunggu di sofa single di tepi jendela. Sekarang sudah jam tujuh lebih, dia sudah lama sekali menunggu. Dia sudah seperti akan menangis, terlihat jelas di wajahnya. Bila ini urusannya bisnis, dia pasti marah, tapi dia tidak seperti itu. Pastinya Hitch bersungguh-sungguh dengan isi suratnya tadi.
Sampai dia melihat sosok Jean masuk ke dalam kafe dan berjalan ke mejanya dengan wajah yang merasa bersalah, sesuatu yang menarik terjadi. Kesedihan hilang dari wajahnya, berubah jadi kelegaan.
"Maaf, membuatmu lama menunggu," kata Jean, menarik sofa untuk duduk di hadapan Hitch.
"Tidak apa-apa, gak lama kok," kata Hitch dengan wajah yang gembira. Dia tersenyum manis sekali.
"Lalu ..."
Sial. Masuk ke dalam sesi "awkward silence". Ini adalah sesi paling mengerikan dalam berkomunikasi dengan orang lain.
"Kamu suka minum apa?" tanya Hitch, memecah keheningan di antara mereka.
"Eh?"
"Aku yang mengundangmu ke sini, kan? Kamu pesan saja, tidak perlu bayar. Lapar tidak?"
Jean benar-benar terkejut, selama ini dia pikir perempuan itu selalu minta dibayarin. Minta dilayani, kalau turun dari mobil atau mau masuk ke dalam suatu ruangan yang ada pintunya harus dibukain. Mungkin dia saja yang selama ini kurang banyak bergaul dengan perempuan, tapi ini hal baru bagi Jean.
"Jangan bilang kalau kamu tidak biasa masuk di tempat seperti ini? Biar aku pilihkan saja ya yang paling enak," Hitch memanggil seorang barista dan memesankan Hazelnut tea dan sepiring kentang goreng beserta sepotong brownis kukus dan lasagna.
Semua makanan mahal yang selama ini cuma dinikmati gambarnya oleh Jean itu ada di hadapannya. Di atas piring dengan sepotong garpu yang siap untuk digunakan.
"Ini buatku?" tanya Jean dengan ragu.
"Iya, makan saja," kata Hitch.
"Kenapa?"
"He?"
"Maksudku, kenapa kau membelikannya buatku?"
Hitch tertawa cukup lama sambil menutup bibirnya. "Tentu saja karena aku ingin kita berada dalam mood yang bagus, karena aku ingin mengobrol banyak denganmu."
"Mengobrolkan apa?"
"Apapun, tentang dirimu. Aku ingin kenal kamu lebih dekat."
Mereka mengobrol selama beberapa lama. Sebenarnya lebih tepat seperti proses interview atau wawancara karena Jean hanya menjawab apa yang ditanyakan Hitch. Setelah cukup malam, Jean mengantar Hitch sampai ke rumahnya. Tercengang melihat betapa besar rumahnya. Halaman rumah Hitch bisa menampung tiga rumah Jean sekaligus. Itu baru halaman rumahnya.
"Terima kasih sudah ngobrol bareng, dianterin pulang lagi."
Jean hanya menganggukkan kepalanya saja, tidak menyadari mendadak Hitch menciumnya di bibir.
"Maaf, kaget ya? Aku harap kita bisa ketemu lagi kapan-kapan," kata Hitch.
"Ya, tentu," kata Jean dengan ragu.
Sejak hari itu, Armin menyadari ada yang berubah dari Jean. Selalu ada surat cinta masuk ke kotak sepatunya, dan hp nya selalu disilent. Entah kenapa Jean jadi lebih posesif terhadapnya daripada biasanya. Biasanya dia cuma mau ketemu di tempat-tempat rahasia, dan selalu marah setiap kali Armin menyapanya di tempat umum. Kali ini Jean malah mengikutinya sampai ke perpustakaan.
Jean masuk perpustakaan. Bahkan penjaga perpustakaan sampai kaget melihat Jean mengikuti Armin sampai ke perpustakaan dan bertahan di sana sampai sore, menunggui Armin membaca buku dan sesekali berdiskusi.
"Aku boleh tanya sesuatu?" tanya Armin.
"Apaan?"
"Kenapa sejak kencan dengan Hitch, kamu jadi berubah begini?" tanya Armin.
"Berubah gimana?"
Armin bingung mengatakannya karena semuanya sangat jelas! Jean. Masuk. Perpustakaan. Dan. Duduk. Di sana. Sampai. Sore. Tanpa. Protes.
"Kenapa kau mendadak tertarik pada perpustakaan? Dan bacaanmu ..." Armin melirik buku yang dipegang Jean, semua buku yang diambil Jean pasti buku yang banyak gambarnya dan sedikit tulisan. Sepertinya dia di sini bukan untuk membaca.
"Tidak. Bukan apa-apa," Jean memalingkan tatapannya dari Armin.
"Oh ya, tadi pagi Annie hampir memukulku," kata Armin.
"Kenapa dia?" saat mengatakan itu Jean seperti siap untuk mencari keributan.
"Tidak, bukan apa-apa. Dia cuma tanya kenapa kamu gak pernah bales whatsappnya Hitch lagi?" kata Armin.
Jean kembali jadi lesu. Dia langsung bertopang dagu dan kembali sibuk dengan gambar-gambar totem dewa purbakala di buku yang sedang dibukanya. "Aku gak sempat buka. Itu saja."
Armin paham kalau Jean tampaknya agak malas membahas hal itu, maka dia tidak banyak bicara lagi dan kembali memperhatikan buku eksiklopedia dunia yang sedang dibukanya.
"Armin," panggilnya secara tiba-tiba. "Apa buku di perpustakaan seperti ini semua?"
"Seperti ini? Maksudmu?"
"Membicarakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan apa yang terjadi di kehidupan kita sehari-hari. Masalah pertumbuhan remaja misalnya? Atau soal jati diri?" tanya Jean sambil terus menatap gambar dewa Aztec di hadapannya.
"Sepertinya ada, kebetulan ada di rak di dekatmu itu," Armin berjalan menuju rak tersebut dan mencarikan buku tentang psikologi sosial dan remaja. "Tapi agak berat loh, karena ilmu psikologi."
"Jujur saja aku kurang paham bagaimana kau bisa membaca tulisan kecil sebanyak itu. Di kepalaku semuanya sudah kabur saat aku masuk ke paragraf ke tiga," kata Jean, mengintip buku yang sedang dibaca Armin.
"Semua kebiasaan saja, sepertinya. Aku juga tidak kuat berlari sepertimu karena aku tidak pernah telat sampai berteman denganmu," Armin tersenyum geli karena dia merasa lucu. Ada sesuatu dalam darah Armin yang membuatnya senang mengalami pengalaman baru. Dia pun mulai berpikir jangan-jangan alasan dia suka berteman dengan Jean sekalipun orang itu kasar dan suka mengancam adalah karena Jean banyak mengenalkannya pada kehidupan yang berbeda sama sekali dengan kehidupan biasanya.
Jari Armin sedang menelusuri buku-buku psikologi sosial di rak buku, mencoba untuk mencari satu buku yang tulisannya tidak terlalu banyak dan isinya tidak terlalu berat untuk dipahami. Dia tidak menyebut Jean sebagai bodoh, dia hanya melihat Jean seperti orang yang tidak biasa membaca. Mendadak tangan Jean sudah menutupi tangannya. Telapak tangan Jean yang kasar menempel di punggung tangan Armin yang halus. Pipi Armin terasa panas tanpa dia duga karena badan Jean menempel di punggungnya. Jantungnya berdebar-debar sehingga dia tidak bisa berkata apapun.
"Jangan deh," bisik Jean, bibirnya hampir menempel pada daun telinga Armin. "Kayaknya aku gak sanggup baca buku psikologi."
Kedekatan yang dilakukan Jean secara mendadak seperti ini membuat kabel di otak Armin konslet sesaat, karena dia jadi tidak tahu apa yang harus dia katakan, padahal Jean hanya mengatakan hal sederhana. Dalam hati dia berteriak-teriak pada otaknya, "woi!! Sadar! Ayolah, kembalilah padaku, wahai kesadaran! Itu hanya Jean, bukan Eren! Cuma Jean! Woi!! Aku suka Eren, bukan Jean!"
"Kalau Annie tanya lagi, bilang saja aku sedang di perpustakaan, ponsel harus silent, kan?" bisik Jean lagi. Armin hanya merespon dengan kepala yang tertunduk, mencoba menghirup udara karena paru-parunya seperti lupa berfungsi.
Kenapa sih kamu deket-deket seperti ini? Maunya apa? Kamu mau intimasi denganku?
Perlahan Armin membalikkan tubuhnya untuk berhadap-hadapan dengan Jean. Sambil bersandar pada rak buku, dia menatap dalam-dalam ke mata Jean yang coklat, seperti sedang menantang Jean untuk maju lebih jauh lagi. Bukan sekadar menempelkan badan di punggung saja lalu berbisik-bisik di telinga. Armin menunggu, agar jelas apa maunya Jean terhadapnya.
Jean mengambil sebuah buku tentang Psikologi Carl Jung di sebelah Armin lalu duduk.
Suhu kembali mendingin dan akal sehat kembali pada otak Armin. Ini gila! Umpat Armin dalam pikirannya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top