Bento untuk Jean
"Ini bentonya," Armin menyodorkan kotak makan itu pada Jean.
Jean membasuh keringat di pelipisnya, entah keringat dingin atau keringat setelah berlari menjalani hukuman keliling lapangan sekolah. Hari ini dia datang jam sepuluh pagi, saat istirahat siang pertama.
"Hei, ambil! Cepat!" desak Armin.
Jean malah mencekik Armin lagi dengan lengannya sambil menyeretnya ke suatu tempat di pojok.
"Ehh! Lepaskan aku! Huwaa ... Aku salah apa?"
"Kamu kalau kasih sesuatu jangan ditengah kerumunan orang, mengerti!"
"M-memangnya kenapa? Aku menunggumu sejak pagi tapi orang bilang kamu tidak masuk sekolah, lalu waktu istirahat siang, kamu baru kelihatan sedang dihukum berlari di lapangan. Sebentar lagi jam istirahat selesai, kalau bukan sekarang, aku tidak punya kesempatan memberimu bento itu!"
"Iya, tapi jangan di depan umum, bego! Sejak kemarin orang-orang memperhatikan kita, tahu gak?!" Jean marah.
"Memangnya kita kenapa?"
"Kita dikira pacaran!"
"Salah siapa itu? Sejak kemarin kamu mencekikku terus dengan lenganmu, orang mengira kamu sedang memelukku!"
"Sejak kapan mencekik sama dengan memeluk?! Pokoknya mulai sekarang kamu cari cewek untuk menyerahkan bento yang kau buat padaku."
"Hah...? Ribet sekali, sekalian saja kau suruh dia yang buatkan kamu makanan!"
Begitulah akhirnya, kenapa Sasha akhirnya menyerahkan bento Armin untuk Jean. Karena penasaran, gadis itu kembali lagi pada Armin dan bertanya, "kok kamu mau sih disuruh-suruh begitu?"
"Hmm," Armin menghela nafas dalam-dalam. "Sebenarnya aku tidak mau. Dia sudah menyuruhku begitu seminggu lalu. Tapi ... Aku melihat dia sewaktu sedang mengantar kakekku ke klub bingo," Armin mulai bercerita.
Pada saat itu dia mengantar kakek untuk main bingo dengan teman-temannya. Tidak seperti biasa, kali ini kakek minta ditemani sampai permainan selesai. Jadilah Armin, cucu yang baik hati itu duduk menunggu dengan sabar, kesabarannya menuai pujian dari orang-orang jompo lainnya sehingga mereka berkenalan sekalian.
"Siapa namanya?" awalnya itu yang ditanyakan.
"Armin Arlert, dia anak putriku, satu-satunya cucuku," kata kakek.
"Hoo ... putrimu yang meninggal 10 tahun lalu itu kan? Untunglah dia tumbuh sebagai anak baik sekalipun tanpa kehadiran ibunya," puji kakek lain.
"Benar sekali. Cucuku sangat pintar, dia sangat suka membaca. Tapi gara-gara dia harus mengurus kakeknya, dia tidak sempat bermain dengan teman-teman sebaya. Akibatnya dia agak pendiam dan kurang pergaulan," kata kakek sambil tersenyum untuk cucunya, senyum yang mengatakan bahwa dia merasa bersalah pada cucunya itu.
"Ah, aku senang mengurus kakek, kok," kata Armin.
"Sudah pintar, baik hati, rendah hati lagi. Hmmm... sangat berbeda dengan cucuku. Dia anaknya sangat bandel dan tidak pernah kelihatan ada di rumah. Bangun pagi terlambat terus, pulang sekolah keluyuran entah ke mana, baru pulang setelah semua orang terlelap," gerutu kakek itu.
"Nakal sekali dia, tapi begitulah anak laki-laki," puji kakek lain.
"Tapi kalau terlalu nakal, aku jadi merasa bersalah pada dunia karena generasiku melahirkan seorang anak bandel yang meresahkan!" gerutu kakek itu lagi.
"Meresahkan bagaimana?"
"Dia sering mengambil motor di rumah, dipakai untuk balapan liar. Sudah berkali-kali aku harus ke kantor polisi untuk menebus si anak bandel itu. Kalau bukan kantor polisi, maka rumah sakit. Begitu seringnya sampai-sampai suster dan petugas polisi sampai hafal namanya. Memalukan!" kakek itu kembali menggerutu.
"Mungkin kurang diperhatikan oleh ayah dan ibunya," kata kakeknya Armin.
"Anak nakal ya nakal, cucumu besar tanpa seorang ibu tetap jadi baik karena dia memang pada dasarnya baik. Ya kan, Armin?" kakek penggerutu itu tersenyum pada Armin.
Dalam perjalanan pulang, Armin gatal untuk bertanya, sesuatu yang membuatnya curiga sejak tadi karena persamaan kejadian, sifat, peristiwa dan ciri-ciri.
"Kakek, teman kakek yang cucunya nakal tadi, namanya siapa?"
"He? Kenapa kau ingin tahu?"
"Penasaran saja," kata Armin.
"Hohoho ... kamu suka cowok badung ya?" ledek Kakeknya. Setelah mengetahui apa yang disembunyikan Armin dibalik klosetnya selama ini ternyata tidak menjadi masalah bagi sang Kakek.
"B-bukan begitu."
"Aku tidak tahu nama cucunya, tapi orang tadi namanya Dave Kirstein," kata Kakeknya Armin.
"Oh, ... Baiklah," Armin sama sekali tidak memberi tahu kakeknya bahwa temannya yang main ke rumah kemarin itu adalah cucu teman main bingonya.
"Aku kasihan pada anak itu ...," mendadak Kakek bicara sendiri. "... Dave sering cerita sendiri saat kami bermain bingo bersama. Dia sering mengeluhkan menantunya. Anaknya menderita stroke, sudah lima tahun berlalu dan kondisinya semakin buruk, tapi menantunya malah selingkuh dengan dokter yang mengobati anaknya itu."
"Hah?? Parah sekali!" kata Armin.
"Maka dari itu cucu Dave terlantar belakangan ini, kebetulan dia sudah masuk ke masa puber, dan akhirnya malah terjun ke dalam dunia kenakalan remaja," Kakek mengeluh. "Kasihan ... Kasihan..."
Bila benar Jean adalah cucunya Dave Kirstein, berhubung nama belakang mereka sama, maka ini sudah menjelaskan alasan kenapa Jean sangat kasar dan bandel.
"Tapi menantunya itu sudah kelewatan sekali, dia tidak pernah ada di rumah. Semua kebutuan keluarga dipenuhi seorang pembantu, tapi karena sudah lama pensiun, tidak ada pemasukan sema sekali, akhirnya pembantu itu kabur setelah mencuri benda-benda berharga di rumah Dave. Setelah itu, menantunya itu kawin lari dengan dokter yang merawat anaknya..."
Kemudian ponsel kakek berdering, "tunggu sebentar, Armin."
"Ee...? Dave? Ada apa?"
Rupanya Dave menelepon karena anaknya yang kena stroke itu baru saja meninggal dunia setelah tidak mampu membayar biaya pengobatan. Detik itu juga, Kakek mengajak Armin melayat ke rumah Dave Kirstein, dan di sana Armin melihat foto Jean terpajang di salah satu dinding rumah. Entah bagaimana foto itu sudah dalam keadaan rusak. Kacanya sudah retak dan bingkainya sudah hancur, tapi seseorang tetap memasangnya di atas lemari. Armin membayangkan telah terjadi pertengkaran dalam keluarga dan seseorang yang merasa kecewa dengan masa-masa bahagia yang terekam dalam foto tersebut memutuskan untuk menghancurkannya. Walau ada seseorang lain yang memungutnya dan mengembalikannya ke tempat semula.
Seseorang membuka pintu rumah keluarga Kirstein dengan keras, seseorang masuk ke dalam bilik tempat anak Dave Kirstein sedang dibaringkan. Jean muncul dibalik pintu, badan berkeringat karena berlari sedari tadi, ponsel masih tergenggam di tangannya.
Orang pertama yang dilihatnya adalah Armin yang sedang memandangi foto keluarga Jean yang retak.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Jean.
"Dia cucu teman kakek, Jean," kata Dave Kirstein.
Jean tidak lagi memperhatikan Armin. Dia melihat ayahnya berbaring di atas kasur di ruang tengah yang suram dan berlutut di tepinya. Dia meraih tangan ayahnya, lalu menciumnya. Dia memeluk tubuh ayahnya yang telah kaku dan Armin bisa mendengar bisikannya ke telinga ayahnya, "sudah selesai, ayah. Ayah sudah bebas sekarang."
Setelah itu Jean mengecup kening ayahnya yang mulai tampak pucat, lalu meninggalkan ruangan itu dan masuk ke kamarnya. Armin menemani kakeknya sampai jam 12 malam, bercerita mengenai Jean.
"Cucuku sebenarnya anak yang baik, dia hanya kecewa pada ibunya," Dave bercerita, hidungnya terlihat merah dan kedua matanya nyaris tertutup alis putih yang tebal. Dibawah lampu ruangan yang temaram, dia terlihat sangat sedih. "Aku sudah 78 tahun, waktuku sudah tidak lama lagi. Kalau aku tiada kelak, Jean mau bagaimana? Dia tidak punya ayah, dan dia membenci ibunya. Aku khawatir dia menyia-nyiakan hidupnya."
Armin sekarang tahu kenapa Jean sering merampas bento anak-anak lain, dan sekarang dia menyuruh Armin membuatkannya bento. Karena dia ingin sesuatu yang bisa menggantikan peran ibunya yang kosong dalam hidupnya. Armin adalah seorang anak yang baik, dia punya rasa empati dan kepedulian yang tinggi terhadap orang disekitarnya.
Dia sudah melihat bagaimana Jean mengucapkan selamat tinggal pada ayahnya, orang itu bukan seorang pembenci. Sesuatu mengatakan pada Armin bahwa mereka mirip, bila tidak senasib.
Malam itu dia bermimpi bertemu ibunya yang telah tiada. Armin bermimpi dirinya sedang ditimang dan disayang, dinyanyikan lagu lullaby. Ketika terbangun, Armin membuatkan bento untuk dirinya dan satu lagi untuk Jean.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top