Setitik Cinta

"Abang selingkuh!! Abang mengkhianatiku!!" teriakku pada Gilang, suamiku.

"Abang nggak selingkuh, Sayang. Dia cuma SPG biasa," ucap Gilang mengelak.

Padahal bukti-bukti perselingkuhannya dengan Rusmini atau biasa dipanggil dengan nama kecilnya Mini, sudah terpampang jelas. Mini, seorang SPG minuman yang memasok barang ke toko grosir yang aku bangun dengan Gilang dari nol. Ingat dari 'nol'. Kami mengembangkan usaha itu dengan modal seadanya, itupun hasil dari pemberian ayahku yang mempunyai usaha yang sama pula, membuka toko grosir besar hampir seperti distributor yang memasok barang ke jongko-jongko pasar.

Dengan modal itu aku mengikuti jejak ayah, memberanikan diri terjun ke dalam peluang usaha yang sama sekali bukan bidang yang aku kuasai.

Gilang rupanya cepat belajar, bagaimana cara mengelola toko kami hingga berjalan lancar dan cukup sukses. Toko kami tidak pernah sepi pelanggan bahkan dengan bantuan lima orang pegawai pun masih saja kerepotan.

Semenjak melahirkan anak kedua, aku tidak pernah lagi pergi ke toko untuk membantu Gilang. Keabsenanku ternyata dimanfaatkan oleh wanita itu. Wanita yang bersembunyi di balik topeng bedak dengan ketebalan lima centi ditambah lipstik merah menyala juga alis buatan yang luar biasa tebal mendekati Gilang. Sebenarnya, Gilang tipe lelaki pendiam yang tidak gampang tergoda oleh wanita lain, apalagi wanita dengan wajah palsu seperti Mini. Tapi, bagaimana pun juga yang namanya lelaki kalau terus digelitiki lama-lama akan tergoda juga.

Sudah hampir delapan bulan, terhitung sejak aku melahirkan. Gilang terlihat agak aneh. Perhatiannya masih tetap, bahkan kata-katanya saat berbicara denganku pun lembut dan romantis. Namun, jam kerjanya bertambah dengan alasan banyak barang yang belum dicek?

Mengecek barang hingga jam sembilan malam bahkan kadang lebih larut lagi. Sebanyak itukah barang yang masuk hingga harus dicek sampai malam? Sedangkan karyawan kami saja sudah pulang dari jam lima sore. Kalau begitu, apa gunanya karyawan? Jika pengecekan barang harus dilakukan sendiri hingga menguras waktu seperti itu?

Kecurigaanku semakin bertambah saat ada pesan masuk ke ponsel Gilang. Saat itu Gilang sedang mandi. Aku lihat ponselnya, disana tertera nama 'Mini SPG' aku membuka pesan itu.

Tertulis, ~Mas, hari ini ke toko kan? Mini mau nawarin promosi. Mini tunggu, ya ;)~.

Memang bukan hal yang aneh seorang SPG menawarkan barang dagangannya pada pelanggan. Tapi apa harus dengan mengirim pesan? Dan tata bahasanya seperti sudah kenal dekat. Bukan antara penjual dan pembeli tapi lebih seperti 'teman dekat'.

Juga ... Apa-apaan panggilan mas itu? Memang dia tidak tahu kalau Gilang itu keturunan Batak tulen? Wajah sangar dengan garis rahang yang tegas, alis tebal, hidung besar juga bibir tebal memperjelas kalau dia bukan orang dari tanah Jawa. Bahkan logat bahasanya pun masih lekat dengan logat Batak. Entah wanita ini buta atau tuli, atau mungkin karena make-up yang terlalu tebal makanya membuat penglihatan juga pendengarannya agak sedikit terganggu bahkan mungkin rusak sampai tidak bisa membedakan asal daerah lawan bicara yang sudah jelas terlihat. Dan mungkin dalam otaknya sudah terpasang radar yang bisa mengindikasi dompet lelaki mana yang cukup tebal untuk dia kuras. Dan radar itu berbunyi di dekat Gilang.

Aku bertanya pada Gilang tentang pesan dari Mini, dia hanya menjawab kalau Mini memang begitu, selalu santai dan cepat akrab dengan konsumen dan hanya 'O' besar yang keluar dari mulutku sebagai jawaban.

Setelah itu Gilang tidak pernah lagi menyimpan ponsel sembarangan dan memakai kode kunci. Hal yang tidak pernah dilakukan oleh Gilang sebelumnya. Kecurigaanku semakin meningkat.

Sampai suatu hari aku melihat ponselnya yang masih menyala belum terkunci, karena tiba-tiba panggilan alam mewajibkannya untuk segera pergi ke toilet. Saat itulah aku mencuri kesempatan untuk mengintip isi ponselnya.

Aku mengecek call history, banyak nama Mini SPG di sana. Lanjut aku buka pesan, ada nama Mini SPG, aku buka isinya hanya konfirmasi barang yang sudah terkirim. Lanjut lagi aku tengok media sosialnya, semua aku buka. Dan nama Mini tersebar disemua akun media sosialnya. Isinya bahkan lebih fantastis, bukan layaknya hubungan pekerjaan tapi hubungan romantis dengan saling melempar kata-kata mesra. Dan lebih mengejutkan lagi saat aku lihat galeri fotonya, ada lebih dari tiga puluh foto Gilang bersama si Mini itu di sebuah tempat karaoke dengan pose yang berbeda dan pakaian yang berbeda pula. Yang artinya kegiatan mereka pergi ke karaoke itu tidak hanya sekali. Tapi berkali-kali.

Aku kembali bertanya ketika Gilang sudah selesai dengan urusannya. Dia tetap saja mengelak walaupun setiap pertanyaan yang aku lontarkan selalu dia jawab dengan terbata bahkan menjawab dengan fakta berbeda pada pertanyaan yang aku ajukan tiga kali.

Aku marah besar saat itu. Aku membereskan pakaianku dan pakaian anak-anak. Aku memutuskan untuk pergi sementara waktu. Menenangkan pikiranku. Tanpa mencegah, Gilang membiarkan aku melewatinya menuju pintu rumah kami dan keluar.

Gilang, dulu dia yang mengejar-ngejarku. Dari aku duduk di bangku SMA, pernah pacaran namun putus karena saat itu aku menyukai lelaki lain. Tapi, dia tak hentinya mengejarku, dengan sabar menunggu hubungan aku dengan lelaki lain putus lalu dia akan mendekat lagi. Lama-lama aku luluh juga akan kegigihan usahanya mendekatiku. Hingga tanpa pikir panjang aku menerima lamarannya yang kesekian setelah aku lulus sekolah.

Usia kami memang terpaut cukup jauh, tujuh tahun. Kami saling mengenal saat dipertemukan oleh temanku yang juga temannya. Sejak saat itu Gilang mengatakan kalau dirinya jatuh cinta padaku.

Mengingat saat dia berjuang demi cintaku. Rela melakukan apa pun untuk membuatku berpaling padanya dan dengan senang hati mengikuti kemauanku asalkan dia bisa bersamaku. Rasanya seperti menggenggam bara api dengan tangan kosong. Panas, sakit, perih dan terbakar.

Janji-janji manisnya dulu hanya sekedar janji yang menyisakan pahit. Harapan-harapan indahnya dulu hanya sekedar harapan palsu yang menyisakan dusta.

Apa aku harus menangis? Meratap? Atau menyesal?

Aku pikir tidak ada gunanya membuang air mata percuma. Aku harus terus berjalan ke depan. "Ingat anak-anak Shita! Ingat, kamu nggak boleh lemah sekarang hanya karena lelaki bodoh macam Gilang." Aku terus menggumamkan kata-kata itu dalam hatiku. Berharap itu cukup untuk membuatku tidak meratap menyesali nasib.

Aku menggugat cerai Gilang dan langsung disetujui oleh pengadilan agama setempat. Toko grosir itu sepenuhnya menjadi hak milikku karena meski Gilang yang mengelola toko kami hingga besar seperti sekarang tapi toko itu di mulai dengan modal dari ayahku. Tanpa perlawanan dia mundur, tidak menuntut haknya yang sudah menghabiskan banyak tenaga juga pikiran dalam mengelola toko.

Wanita muka tebal itu pergi entah kemana saat tahu Gilang bercerai dariku dan tidak mendapat apapun dari perceraian kami. Mungkin dia kecewa karena lelaki 'impiannya' ternyata kere, kemudian pergi mencari mangsa lain yang bisa membuat radarnya berbunyi lagi.

Jelang setahun perceraian kami, toko kembali aku yang pegang kendali. Mengecek barang dan menghitung pengeluaran juga pemasukan sekaligus mengurus anak-anak yang masih kecil tentu merepotkan. Lelah yang berpangkat-pangkat terus menghujam tubuhku yang rapuh. "Udah nasib emang harus seperti ini. Nikmati sajaaa...."

Suatu ketika, saat di pasar dari kejauhan aku melihat sosok yang tak asing. Lelaki yang yang dulu mengejarku dengan tak putus asa terlihat sedang memanggul karung-karung beras. Bolak balik dari truk ke toko beras dan kembali lagi ke truk dan balik lagi ke toko beras hingga semua isi truk berpindah ke dalam toko. Saat itu anakku yang paling besar, berumur enam tahun berlari menghampiri dia dengan meneriakan kata "ayah" dengan ceria dan suara cemprengnya langsung membuat yang dipanggil menoleh seketika. Menangkap tubuh mungil anakku yang berhambur ke arahnya.

Anakku menangis saat itu juga. Entah apa yang dirasakannya, mungkin rindu pada ayahnya yang dulu selalu mengajaknya bermain dan membelikannya boneka. Atau ... Entahlah. Yang pasti adegan itu sanggup membuatku terenyuh.

Setiap hari sejak saat itu, anakku yang pertama selalu menghampiri Gilang. Bercerita padanya, bercanda dengannya sampai dia tidak mau Gilang pergi. Dia akan menangis meronta-ronta. Mengamuk hingga seluruh pasar tahu dan merasa iba karenanya.

Pagi hari saat aku buka toko, ada secarik kertas yang terselip di bawah rolling door. Aku lihat kertas itu, membuka lalu membaca isinya yang sanggup membuatku terpaku sesaat.

~Seribu maaf mungkin tak cukup untuk bisa melupakan kesalahanku. Bahkan membuat seribu candi pun tak cukup layak untuk memohon maaf darimu. Aku terlalu bodoh untuk menyadari betapa pentingnya dirimu untukku. Bahwa aku tidak bisa hidup tanpamu dan anak-anak kita. Hidup berjauhan dengan kalian adalah hal yang paling menyiksaku. Jika kau masih menyimpan setitik cinta untukku, maukah kau menjadi pendampingku sekali lagi? Akan ku jaga setitik itu dengan segenap jiwa. Akan ku abdikan hidupku demi setitik itu.~

Aku tersenyum miris. Kata-kata manis lagi. Hampir saja aku meremas kertas itu dan menbuangnya ke jalanan agar terinjak-injak oleh orang yang hilir mudik. Namun, aku batalkan. Membawanya ke meja kerjaku di tengah-tengah toko berukuran 10x12 meter. Duduk merenung di sana. Membaca tulisan itu berulang-ulang hingga aku bisa menghapalnya di luar kepala.

Gilang memang pernah mengkhianatiku. Menyakitiku. Dan membuatku seakan menjadi keledai dungu yang bisa dibodohi. Tapi, tak bisa dipungkiri, dia ayah dari anak-anakku. kedua anakku membutuhkannya. Membutuhkan sosok seorang ayah yang bisa menjadi panutan suatu saat nanti. Dia pun sosok ayah yang hebat. Dan mungkin kali ini aku akan mengalah demi kedua anakku. Menerimanya kembali dengan catatan yang tercetak tebal dan digaris bawahi, bahwa aku tidak menerima PENGKHIATAN yang terulang dua kali.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top