Dara, Gadis Kecilku
Dara Putri, seorang gadis kecil berusia delapan tahun. Sejak dua tahun lalu, saat ibunya meninggal karena sakit dan ayah yang tidak pernah diketahui keberadaannya, dia menjadi tanggung jawabku.
Aku bukan siapa-siapanya. Tidak ada hubungan darah antara aku dan Dara atau dengan keluarganya. Aku hanya lelaki yang kebetulan diasuh oleh Ibu Siska, Nenek Dara. Aku seorang yatim piatu terlantar yang dipungut dari panti asuhan yang akan digusur karena ketahuan oleh pemerintah setempat anak-anak asuhan di sana tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Mereka dipekerjakan, menjadi pengemis, pengamen, pemulung. Apa saja yang bisa menghasilkan uang. Hingga ada penduduk yang melapor pada dinas perlindungan anak dan menjadi kasus yang mengharuskan panti asuhan itu ditutup.
Beruntung, ada Ibu Siska yang mau memungutku dari sana. Mengurusku. Merawatku. Menyekolahkanku hingga ke jenjang kuliah yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku.
Dan kini semua jasanya harus aku balas dengan cara mengasuh seorang anak kecil. Anak dari putrinya yang tewas. Cucu dari Bu Siska sendiri. Jarak usia antara aku dan Dara terpaut cukup jauh, yakni dua belas tahun.
Bu Siska tidak pernah menyuruhku untuk mengurus Dara dan melimpahkan tanggung jawab gadis itu padaku. Tidak, aku yang ingin, aku yang berinsiatif menjaga Dara sebagai ucapan terima kasihku padanya.
Dara, gadis yang ceria. Dia mudah sekali tertawa. Tawa melengking hampir menjerit jika aku menggodanya dengan kelitikan di sekitar pinggangnya. Dia sangat dekat denganku. Dia tidak segan-segan meminta sesuatu padaku. Bermanja padaku atau berlari padaku jika Bu Siska sedang memarahinya.
Aku tidak merasa keberatan sama sekali. Kedekatanku dengan Dara selayaknya paman dan keponakan. Semakin besar dia semakin dekat denganku. Bahkan ketika beranjak remaja, Dara tidak segan bercerita kepadaku. Mencurahkan isi hatinya, saat dia bahagia, saat dia kesal atau saat dia jatuh cinta. Telingaku selalu siap menampung segala keluh kesah dan tawa bahagianya.
Aku ingat saat dia bercerita tentang pacar pertamanya. Saat itu usianya baru menginjak empat belas tahun, tiga SMP. Dengan malu-malu dia menceritakan pengalamannya saat mendapat ciuman pertama.
"Rasanya lembut, Om. Geli-geli lembek gitu. Tapi langsung aku dorong dia waktu lidahnya masuk ke mulut Dara." Ekspresinya yang merona langsung bergidik mengingat ciumannya tadi siang.
"Kenapa di dorong?" tanyaku penasaran. Hanya sebatas penasaran, karena setahuku ciuman dengan lidah merupakan ciuman yang paling romantis.
"Jijik, Om. Masa lidah masuk-masuk ke mulut? Kan banyak air liurnya," jawab Dara makin bergidik, sepertinya dia membayangkan saat lidah pacarnya itu menelusup masuk ke dalam mulutnya.
Kalau dipikir, iya juga sih. Bermain lidah seperti itu otomatis akan bertukar air liur. Tapi entahlah, aku pun tidak tahu rasanya seperti apa karena aku belum pernah melakukannya. Jangankan berciuman memegang tangan seorang perempuan pun aku tidak pernah. Aku tidak pernah punya pacar. Satu-satunya wanita yang pernah aku pegang dan aku peluk hanya Dara. Gadis kecil itu yang sejak pertama bertemu sudah melemparkan segudang tanggung jawab padaku.
"Dara boleh punya pacar. Tapi ingat, Dara harus menjaga mahkota Dara. Jangan dengan gampangnya kamu kasih mahkota Dara untuk dirusak oleh lelaki yang bahkan nggak tahu apa arti tanggung jawab," ucapku memberi nasihat pada Dara, Dara mengangguk paham. Dia gadis penurut. Dia gadis yang sangat baik, tidak pernah membantah apa yang kukatakan.
Walaupun terkadang dia merengut tidak setuju tapi pada akhirnya akan menuruti kata-kataku. Dia takut kalau aku marah. Dia takut kalau aku hanya mendiamkannya. Seperti saat dia pertama kali membantahku waktu usianya masih sepuluh tahun. Saat itu dia memaksa ingin ikut kemping ke gunung selama dua hari. Ibu Siska sudah melarangnya tapi tetap memaksa sampai aku sendiri pun kesal karena rajukanya. Terpaksa aku mengizinkannya pergi. Padahal cuaca hari itu sedang tidak bersahabat. Musim hujan dengan temperatur udara yang sangat rendah apalagi di gunung, di tengah hutan belantara seperti itu rasa dingin akan semakin menggigit sampai ke tulang.
Alhasil, apa yang aku takutkan ternyata terjadi. Pihak sekolah menelepon keesokkan harinya mengatakan bahwa Dara terserang demam setelah jatuh dari undakan tangga yang terbuat dari tanah di jalan gunung.
Aku menjemputnya dengan starlet merah peninggalan suami Bu Siska. Sepanjang jalan aku memarahinya hingga Dara menangis, menyesal karena tidak mematuhi ucapanku. Dan setelah selama tiga hari aku mendiamkannya. Mendiamkan bukan berarti aku cuek dengan keadaannya yang demam dengan kaki bengkak karena terkilir. Aku tetap merawatnya namun tanpa kata-kata.
Setelah hari ke empat barulah aku memaafkannya, mulai bicara lagi dengannya. Dan dia pun kembali ceria. Dia berjanji mulai saat itu akan selalu menuruti perkataanku tanpa membantah lagi.
Namun semakin hari, semakin dia beranjak remaja dengan segala keegoisannya sedikit demi sedikit dia mulai membantahku lagi. Sedangkan Bu Siska hanya bisa pasrah saja atas kelakuan Dara yang berubah menjadi pembangkang. Lagi-lagi harus aku yang mendidiknya.
Rasanya sudah bosan aku terus saja mengoceh menasihatinya tanpa satu katapun didengar olehnya. Hingga suatu hari peristiwa itu terjadi. Hari yang akan aku sesali seumur hidupku.
Dara masih berusia enam belas tahun saat itu. Masih remaja labil dengan segala keegoisan yang melekat. Apa yang dia pikirkan itu benar dan orang lain selalu salah.
Waktu itu hari sudah malam. Bu Siska tidak ada dirumah sedang mengunjungi kakaknya di luar kota yang sedang sakit. Dan Dara dengan berani dia membawa seorang lelaki untuk bertandang ke rumah. Dan hal yang membuatku marah hingga kalap adalah dengan mataku sendiri aku melihat dia bercumbu. Bukan hanya berciuman dengan panasnya, namun rupanya tangan si lelaki tidak tinggal diam. Lelaki itu menjamah tubuh Dara sampai baju yang melekat di tubuhnya sudah tidak berupa. Aku marah melihat keponakanku diperlakukan tidak hormat seperti itu.
Aku berteriak saat itu juga, mengagetkan mereka yang sedang asyik memadu kasih. Dan lelaki itu pergi, kocar kacir melihat kemarahanku. Dara pun tidak bisa berkutik lagi. Segala sumpah serapah aku lemparkan padanya. Aku memarahinya dengan emosi tingkat tinggi. Mungkin dia sudah lelah dan bosan aku omeli setiap saat, hingga kata-kata itu terucap dari mulutnya.
"Memangnya kamu siapa? Kamu cuma pengasuhku jadi nggak berhak untuk melarangku ini itu. Om Elang itu bukan siapa-siapa di sini. Nenek saja nggak pernah marah padaku seperti Om Elang!"
Aku bukan siapa-siapa katanya. Aku hanya pengasuhnya katanya. Memangnya selama ini siapa yang selalu menjaganya. Memangnya selama ini siapa yang selalu ada di sisinya menjadi sandaran saat suka dan duka.
Aku yang lelah sepulang kantor dan langsung disuguhi dengan pemandangan yang panas belum lagi ucapan Dara yang seakan meremehkanku menjadi alasan sempurna yang membuat amarah meledak saat itu juga. Langsung saja aku menyeretnya ke kamar. Menghukum atas perbuatan dan perkataannya. Tidak peduli lagi akan teriakannya. Tidak peduli lagi akan rontaannya. Tidak peduli lagi akan pukulan juga cakaran yang dilayangkan padaku.
Dalam sekejap dengan berbalut emosi yang diselubungi kemarahan aku menaklukannya. Bagai burung dara yang takluk di bawah cengkraman sang elang dengan bulu-bulu yang berhamburan, terbang mengisi seluruh penjuru kamar. Diam. Tidak berkutik. Tidak berdaya. Hingga aku puas menghukumnya.
Dan saat puas itulah aku sadar apa yang aku lakukan. Seakan baru terbangun dari mimpi panjang ketika melihat Dara menangis di bawahku. Rasa bersalah menghantam dengan hebat. Menjatuhkanku dari langit ke tujuh hingga amblas ke lautan paling dalam.
Dara, gadis kecil yang seharusnya aku lindungi. Gadis kecil yang seharusnya aku jaga. Gadis kecil yang seharusnya aku didik. Gadis kecil yang seharusnya aku rawat, menjauhkannya dari marabahaya dan rasa sakit. Ternyata aku sendiri yang telah menyakitinya. Dengan tanganku aku menyakiti tubuhnya. Dengan tubuhku aku semakin menyakitinya.
Hingga beribu kata maaf pun tidak akan pernah mampu untuk menghapus perbuatanku padanya. Hanya sesal yang tertinggal menjadi pembatas antara diriku dengannya.
Aku tidak berani lagi berhadapan dengannya. Menatap matanya seakan menyiratkan kesakitan yang amat sangat. Aku tak sanggup lagi hidup berdampingan dengannya. Diliputi rasa bersalah dan penyesalan yang perlahan seakan membunuhku.
Aku memutuskan untuk pergi. Pindah dari rumah itu dan mengembara ke kota yang jauh. Sebutlah aku pengecut karena lari dari tanggung jawabku atas diri Dara. Tapi mau bagaimana lagi, terus di sana pun akan membuat diriku tersiksa. Bukan hanya aku tapi Dara pun ikut merana. Aku tidak mau Bu Siska tahu perbuatanku. Dara memang tidak bercerita pada Bu Siska, tapi sikap kami yang semakin menjauh membuatnya curiga. Mau tidak mau aku harus pergi. Membawa sejuta sesal yang terus membayangi.
***
Hari ini sudah empat tahun berlalu. Rasa bersalah dan sesal itu masih saja menghantui diriku. Jeritannya masih jelas terdengar olehku. Matanya yang menatapku takut masih saja tercetak jelas dalam ingatanku. Menjadi melodi dalam setiap mimpi burukku.
Asap putih mengepul tebal dari bibirku yang menghitam. Aku berharap ingatanku bisa terbang bebas seiring embusannya. Terbawa angin dan menghilangkannya begitu saja.
Aku berkelana dengan pikiranku hingga tangan hitam kekar seakan membawaku kembali dalam lamunan panjangku. Edo, kawan yang aku temui di kota asing ini menepuk pundakku, memberitahu ada seseorang yang mencariku.
Siapa yang mencariku? Di sini aku tak kenal siapa pun. Aku keluar dari rumah kosanku yang hanya berupa rumah tinggal dengan sekat-sekat yang memisahkan satu ruangan dengan ruangan yang lain. Aku berjalan keluar dengan penasaran. Entah karena kepenasaranku atau karena hal lain, sepertinya jantungku berdetak tak karuan.
Saat sudah di luar aku melihat seorang wanita. Penampilannya sederhana dengan kemeja putih dan rok hitam motif bunga warna-warni menutupi kakinya hingga lutut. Sejenak aku tak bisa berkedip. Mungkinkah apa yang kulihat ini nyata. Mungkinkah??
Ketika tatapan matanya yang lembut menatap dalam menembus mataku. Aku tahu, ini nyata. Dia nyata. Berdiri di hadapanku dengan senyum yang sama seperti ketika dia masih polos. Dengan anak kecil dalam tuntunannya. Seorang anak perempuan dengan kunciran di kepala. Menatapku malu-malu. Wajahnya tak asing. Mirip dengan Dara ketika kecil dulu. Namun dagunya mirip denganku, dagu yang bercelah di tengahnya.
Tanpa terasa air mataku menitik. Aku berlari menyongsong padanya. Memeluknya. Berlutut di hadapannya. Mengucap seribu maaf padanya. Pada gadis kecilku dulu. Gadis kecil yang kunodai. Gadis kecil yang menjelma menjadi wanita dewasa kini.
Kedatangannya seakan membawa maaf dengan tangan terbuka. Dia memaafkanku atas segala perbuatanku. Dia memaafkanku.
Gadis kecilku. Aku berjanji sekali lagi akan selalu menjagamu. Menyayangimu. Melindungimu dari marabahaya. Aku pun akan melakukan hal yang sama pada gadis kecilku yang lain. Dengan segenap hati memberikan kasih sayang yang tulus padanya. Bukan karena emosi tapi karena cinta. Menebus penyesalanku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top