Bab 22 (Selesai)

Indra mencoba mengintip dari luar pagar, berharap ada seseorang yang keluar atau menyadari kedatangannya. Memang baru sepuluh menit dia tiba, tapi rasa khawatirnya tidak bisa ditahan lagi. Bahkan, ketika menyempatkan diri mampir di masjid untuk salat, hatinya tetap tidak bisa tenang karena dipenuhi banyak prasangka. Ada apa sebenarnya.

"Mas Indra?" Bagai tersengat listrik, Indra terkejut luar biasa. "Oalah, saya bikin kaget toh." Pak Humaid terkekeh menyadari Indra menjengitkan badan. "Ayo, masuk, masuk ...," ajaknya sambil membuka pintu gerbang.

Indra mengekor di belakang Pak Humaid sambil menyiapkan alasan dia datang. Sebab, malam ini bukan waktunya membahas bisnis tehnya. Indra duduk di kursi tamu yang biasa dia duduki setiap berkunjung.

"Saya mau bicara sama Mbak Adri, Pak," ucap Indra setelah Pak Humaid kembali ke ruang tamu membawa dua gelas teh. Dia tidak bisa menutupi tujuan utamanya datang.

"Lha apa ada yang serius toh, Mas?" tanya Pak Humaid sambil meletakkan gelas tehnya. "Kelihatannya kok berbeda?" tanyanya lagi.

"Mboten, Pak. Hanya ada sesuatu yang harus diselesaikan." Indra merasa tak ada alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Pak Humaid.

"Oalah ..., Ani belum datang. Palingan sebentar lagi." Pak Humaid duduk menghadap Indra setelah meletakkan nampan di samping televisi. "Ayo, diminum dulu."

Indra mengangguk. "Nggih." Dia mengambil gelasnya, menyeruput sekali, lalu meletakkan cangkirnya di meja lagi. Sedikit menghangatkan dada yang sejak tadi berdebar tanpa aturan.

Pak Humaid seperti biasanya, mengajaknya berbincang seputar teh dan perkembangan warung. Sebenarnya, lelaki di depannya ini punya potensi mendirikan warung teh seperti dirinya. Namun, karena alasan tak ada penerus, Pak Humaid tidak melanjutkan misinya dan beralih mendukung 100 persen usaha Indra.

Sekira 20 menit berbincang, beberapa menit lagi azan Isya, suara mobil memasuki pekarangan. Tidak sampai 2 menit, suara Adriani mengucap salam. Indra menangkap wajah yang sama terkejut seperti beberapa minggu yang lalu saat dirinya tanpa sengaja menemukan Adriani memasuki rumah ini. Bedanya, kali ini dia dengan sengaja mencarinya di sini.

"Oalah, Nduk. Ditunggu Mas Indra dari magrib tadi," ucap Pak Humaid setelah menjawab salam. "Ndang disambut dulu. Aku tak masuk," lanjutnya sambil beranjak dan membawa serta gelas tehnya.

Adriani masih bungkan. Dia hanya mengangguk menyetujui usul bapaknya. Matanya belum berani menatap tepat ke arah Indra. Setelah memastikan bapaknya masuk ruang tengah, Adriani mengambil posisi tempat duduk yang sebelumnya diduduki Pak Humaid. Sejenak mengatupkan kelopak mata. Lalu, membukanya bersama dengan embusan nafas untuk menenangkan diri. Dia sudah curiga sejak melihat mobil asing terparkir di depan rumahnya. Lalu, jantungnya terpacu lebih keras saat mendengar satu nama yang didengar telinganya.

"Ada apa mencariku, Mbak?" tanpa prolog atau sapaan pembuka, Indra melayangkan pertanyaan utama.

Adriani dibuat gelagapan karena belum menyiapkan jawaban. Namun, bukan Adriani jika tak bisa mengusai keadaan. "Sabila tadi khawatir sama kamu. Jadi, aku temani dia." Jawaban yang cukup logis dan jujur menurut Adriani. Sabila memang khawatir tadi.

Indra mengangguk. Adriani mencuri pandang. Sedetik kemudian tatapan mereka bertemu. Buru-buru Adriani mengalihkan mata ke ukiran kayu di sebelah kiri wajah Indra. Indra menangkap gelagat gugup lawan bicaranya. Segaris senyum tipis dia tahan.

"Jadi, bagaimana mungkin Sabila yang nyari, tapi nomor yang menghubungi Rony nomormu?"

"Hah?" Adriani lupa. "Tapi, Sabila yang telpon Rony, bukan aku." Adriani berusaha membela diri. Namun, dia merasa sedikit kekanak-kanakan. Gawat. Kenapa hilang kendali.

"Ya udah. Terima saja tawaranku." Adriani mengarahkan tatapannya tepat ke mata Indra. "Aku masih buka pintu, kok," lanjut Indra sambil tersenyum membalas tatapan tajam Adriani yang disusul raut merah merona di wajah. Adriani tersipu atau malu?

"Bila perlu. Aku bilang ke Bapak mertua sekarang. Piye?" Indra mengecilkan suara. Belum mau berhenti menggoda.

Adriani tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Kalau sebelumnya dia uring-uringan, sekarang dia kehilangan kata untuk membalas ucapan lelaki di depannya. Dia masih terpengaruh suasana khawatir yang dia rasakan bersama Sabila.

Adriani masih menatap Indra yang tak dia dengar lagi berucap apa. Dia berpikir mungkinkah menerima. Kalau menolaknya lagi, bagaimana bisa dia membohongi hati. Namun, rasa di hatinya ini apa. Sungguhan suka atau sekadar terpesona sesaat.

Adriani mengulang potongan-potongan adegan saat dia bersinggungan dengan Indra. Selama dua tahun bekerjasama sebagai pengguna dan penyedia jasa, sebagai sesama member di komunitas, dan sebagai teman bapaknya. Bahkan, bapak dan ibunya sudah lebih dulu tercuri hatinya.

Apa yang dicari Adriani selain kenyamanan diri dan keluarganya. Bukan karena tak ada calon lain selain Indra, tapi lelaki ini yang sejak awal menawarkan diri untuk masuk dan mengenal dirinya secara diam-diam. Setidaknya, itu pula pengakuan Indra sejak awal. Lalu, yang terpenting, Indra memang menjaganya selama ini. Dia mengajaknya menikah. Sekilas senyum terbit di bibirnya tanpa sadar, tapi tertangkap Indra.

"Berarti, diterima." Ucapan Indra mengembalikan kesadaran Adriani dari lamunan. Senyumnya hilang menggantikan suara yang didengar.

"Maksudmu?"

"Mbak Adri terima lamaranku. Lha, aku tanya dijawab senyum. Artinya ...."

"Belum tentu!" seru Adriani agak ragu.

"Mbak jangan pura-pura lagi. Apa perlu aku lamar Sabila biar Mbak Adri tahu rasanya cemburu?"

"Kenapa harus Sabila?"

"Lho, to. Wes jelas i lho." Indra terkekeh menikmati wajah Adriani yang menahan malu. "Ngaku wae."

"Opo?" Adriani berdiri. Wajahnya sudah merah. Kali ini benar-benar sedang menahan malu karena tak mampu mengelak.

"Lha, aku piye ditinggal."

"Tak panggilno bapak," jawab Adriani sesaat sebelum menghilang di balik kelambu penyekat.

Indra tersenyum lebar. Wajahnya menghangat penuh kelegaan. Jantungnya berdebar halus, bersiap meminta anak orang untuk dijadikan pelengkap rusuk.

💞💞💞

1 September 2019
bertepatan dengan
1 Muharram 1441

Akhirnya bisa menyelesaikan cerita ini.

Kurang 1 bab akhir ini tok harus semedi berhari-hari.

Piye, piye, ceritaku.
Genah nopo mboten?
😅

Terima kasih, Teman-teman, karena bersedia mampir dan kasih jempol di cerita ini.

Aku masih perlu banyak belajar agar bisa kasih cerita yang lebih baik lagi.

Semoga tidak ada yang menyesatkan, ya. Namun, jika ada, jangan sungkan mengingatkan aku.
Terima kasih sekali lagi.
Kehadiran teman-teman di sini sangat berarti bagiku.

😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top