Bab 20
Berbekal alamat dari Rony, Sabila menyeret Adriani menuju kediaman Indra. Adriani masih enggan pada akhirnya, tapi Sabila yang kekeh tidak bisa dibiarkan sendiri. Sabila mengambil alih kemudi mobil, sedangkan Adriani pasrah, atau sebenarnya ... pura-pura menyerah.
Tiba di perempatan Karangploso, Sabila mengarahkan mobil ke arah Barat. Perjalanan berlanjut beberapa menit hingga sampai di Pasar tradisonal Karangploso. Lalu, Sabila mengarahkan laju mobil ke arah kanan. Setelah menempuh beberapa menit lagi dan berbelok ke kiri beberapa meter, mereka sampai di rumah berpagar besi.
Bangunan rumah yang pas dengan posisi GPS itu tampak sudah tua meskipun terlihat terawat. Sabila keluar mobil lebih dulu, disusul Adriani. Pagar yang tingginya sekira 1,5 meter itu tertutup. Sabila celingukan mencari bel atau sesuatu yang bisa memberi tahu penghuni rumah kalau ada tamu di luar, tapi tidak menemukan.
Sabila mencari cara agar bisa memberitahu tuan rumah tanpa mengucap salam dengan berteriak. Sebab, jarak antara pagar dan pintu rumah lumayan jauh karena bisa dipakai parkir lebih kurang 2 mobil. Sabila merunduk untuk mengambil batu agar bisa dipakai mengetuk pagar besi. Hampir saja batu itu diketukkan terdengar derit pintu rumah dibuka. Sabila buru-buru melepas batu di tangan kanannya, menoleh pada Adriani yang menggeleng samar.
"Assalamualaikum, Bu." Sabila mengucap salam sambil nyengir pada Adriani yang masih menatapnya tajam. "Ini ... benar rumah Mas Indra, ya?" tanyanya kemudian setelah mengarahkan tatapan pada ibu yang berjalan mendekati pagar.
Ibu itu mengernyit heran mendengar pertanyaan Sabila. Sesaat kemudian tersenyum. "Oh, iya. Ini rumah Indra," jawab si ibu sambil membuka pagar yang ternyata tidak dikunci, melainkan dikaitkan satu sama lain.
"Mas Indra ada, Bu?" tanya Sabila tak sabar.
"Masuk dulu, ya," jawab si ibu. Dilihat dari caranya menjawab, tampaknya Indra sedang tidak ada di rumah. Namun, untuk langsung menolak masuk, Adriani jelas tidak ingin dicap tak sopan pada pertemuan pertama.
"Ah, iya, Bu. Maturnuwun." Sabila menjawab dengan menampilkan senyum semanis mungkin. Adriani hanya bisa menggeleng melihatnya.
💞💞💞
"Begitulah, Mbak. Saya itu, ya, kasihan sama Indra, tapi areke nggak bisa dicegah. Akhirnya, ya, saya biarkan saja." Bu Nunuk tampak sedih setelah bercerita tentang Indra. Anak pertamanya itu memang terlalu banyak berkorban untuknya dan dua adik perempuannya.
"Saya yang paling nggak tega itu pas dia berhenti kuliah. Sudah saya larang, tapi jek ngotot. Ya terus piye." Bu Nunuk menghela nafas berat. "Memang bapaknya pas meninggal itu. Jadi, dia seperti ingin jadi pengganti bapaknya," lanjutnya masih dengan raut wajah yang sama.
Sabila dan Adriani mendengarkan cerita Bu Nunuk dengan isi hati yang berbeda. Sabila berdoa agar cerita itu tembus ke hati bosnya dan benar-benar membuka kesempatan untuk mantan kurir kesayangannya, sedangkan Adriani merasa tak enak hati karena merasa cerita itu tak seharusnya dia dengar karena bagaimanapun statusnya dan Sabila adalah orang lain.
"Saya sering tanya ke dia, 'Kapan nikah, Le?', tapi selalu dijawab, 'Sek, Buk.', terus begitu sampek aku bosen tanya." Bu Nunuk berkata sambil tersenyum miris.
Adriani menyenggol kaki Sabila melihat raut wajah yang seharusnya tak perlu bercerita sejauh itu. Salah Sabila karena terlalu banyak tanya. Namun, kenapa si ibu begitu terbuka padanya dan Sabila. Padahal, mereka juga baru sekali ini bertemu. Adriani tak bisa hanya menduga-duga. Apa jangan-jangan Indra bercerita ke ibunya tentang lamaran itu?
Duh, betapa malunya jika itu benar. Apalagi jika penolakan yang dia lakukan juga diceritakan. Adriani merasa bodoh karena mau saja diseret Sabila ke rumah ini. Sungguh malu tak terkira.
"Mas Indra itu baik kok, Bu. Jadi, pasti dapat jodoh orang baik juga." Sabila tanpa rasa berdosa menanggapi curhatan Bu Nunuk. "Tapi bukan saya, lho, Bu. Saya hanya penggembira," lanjutnya sambil terkekeh tanpa suara.
Bu Nunuk ikut tertawa mendengar kelakar Sabila, sedangkan Adriani mengurut pelipis kirinya. Sabila benar-benar membuatnya malu. Adriani bahkan nyaris tak mengeluarkan suara. Tujuannya tadi tak ingin berlama-lama setelah tahu Indra tak ada.
"Tapi, dia pernah bilang mau segera menikah." Ucapan Bu Nunuk memaksa Adriani mengangkat kepala dan menatap langsung pada yang bicara. Adriani menjengit saat merasakan senggolan di kaki kanannya. Sabila pelakunya. "Udah ada calon katanya, tapi ... tak tunggu-tunggu, kok, nggak bilang apa-apa lagi. Padahal, wes penasaran yang mana orangnya."
Adriani mengembuskan nafas lega setelah menahannya selama Bu Nunuk menuntaskan kalimat. Itu artinya Bu Nunuk tidak tahu siapa dirinya. Dia selamat.
"Ya sudah, Ibu." Adriani merasa pembicaraan yang tak semestinya dikorek ini harus segera diakhiri. "Kami pamit, nggih." Sebelum Sabila menjawab dan memperpanjang obrolan, Adriani menarik diri.
"Oh, iya. Kok cepet-cepet ...."
"Iya, Bu. Sudah hampir magrib," jawab Adriani sambil tersenyum.
"Ya sudah. Kapan-kapan mampir lagi, ya," pesan Bu Nunuk ikut berdiri mengimbangi tamunya. "Saya senang kalau ada teman Indra ke sini. Selama ini nggak pernah punya teman dekat dia. Apalagi teman perempun." Bu Nunuk menjeda sambil menggeleng. "Nggak pernah sama sekali," lanjutnya.
Adriani tersenyum kaku mendengarnya, sedangkan sabila memandang bosnya sambil menyipitkan mata. Sedetik kemudian alisnya diangkat satu, menggoda Adriani.
"Nggih, Bu. Insyaallah kami akan sering ke sini," jawab Sabila asal. Adriani memegang bahu Sabila sambil meremas. Memohon menghentikan semua ucapannya. "Pareng, Bu. Assalamualaikum." Sambil menundukkan kepala Sabila mengucap salam, diikuti Adriani juga menundukkan kepala sebagai sikap pamitnya.
"Waalaikumsalam."
💞💞💞
"Tenang, Mbak. Tenang," potong Sabila saat melihat Adriani akan memprotesnya. "Si ibuk juga nggak curiga, 'kan?"
"Untungnya tidak curiga," jawab Adriani sambil menginjak pedal gas. Ganti Adriani yang memegang kemudi.
"Nah, itu yang penting."
Adriani tak menanggapi lagi. Dia memilih diam dan fokus menyetir, meskipun diamnya diam-diam bercabang ke satu nama yang belum berhasil dia temui.
"Kita jangan pulang dulu, ya, Mbak."
"Ke mana lagi? Mau muteri Malang sambil nyari Indra? Enggak, sudi. Kamu aja. Lebih baik aku pulang naik ojol, kamu boleh bawa mobilku."
Sabila terperangah mendengar tanggapan Adriani pada pernyataan singkatnya. "Hayo ..., benih-benih mulai tumbuh tunas, nih, kayaknya." Sabila senyum-senyum menggoda.
Adriani sadar salah bicara. Ucapannya barusan tentu diartikan mengarah ke Indra. Meskipun pada keanyataannya ... memang tidak salah. Aduh.
"Aku mau ngajak Mbak ke warung teh. Mbak nggak tahu, 'kan?" selisik Sabila. "Jadi, biar tahu, kita harus coba. Jarang-jarang, lho, kita jalan kayak sekarang. Lagian, ini warung, tuh, beda. Mbak Adri harus coba." Sabila sedikit melakukan persuasi. "Mau, ya?" lanjutnya lagi.
Adriani mengembuskan nafas sesaknya. Baiklah. Untuk refresh otak. Kali ini tawaran Sabila memang perlu diterima. "Kasih tahu arahnya."
"Oke."
💞💞💞
14 Agustus 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top