Bab 17

"Resinya mana, Bil?" Adriani memilah kertas-kertas yang tertumpuk di depannya. Tangan kanannya meraih tumpukan tinggi yang ada di bagian kanan meja.

"Lho? Nggak dikasih sama Mas Indra tadi?" Sabila berdiri. Ikut memindai kertas-kertas yang ada di meja Adriani. "Waduh, Bunda Sima tadi minta dikirim resi juga." Sabila berbalik ke mejanya. Mencari resi yang mungkin diletakkan Indra di sana, tapi lupa tidak memasrahkannya.

"Kamu dikasih nggak tadi?" Sabila menggeleng. "Belum pulang, 'kan, orangnya?" Adriani agak berlari keluar ruang admin. Melihat bosnya menuju luar, Sabila ikut membuntut.

Belum sempat memanggil, Adriani melihat Indra sudah masuk mobil boksnya. Matanya membulat sempurna saat beralih pada lelaki yang berjalan menuju tempatnya berdiri. Bersamaan dengan sapaan Pras, mobil boks Indra bergerak meninggalkan halaman rumah produksi.

Sambil tersenyum yang tidak biasa, Pras menyapa. Adriani membalas sapaan itu dengan senyum datar.

"Aku hanya mampir. Sekalian tadi ngantar pesanan pelangganku."

Adriani mengangguk singkat. "Duduk, Mas." Adriani menyilakan Pras sambil menunjuk kursi yang selalu diduduki Indra. "Aku ke dalam sebentar."

Sabila menangkap ada yang tidak beres dengan kedua orang yang ada di hadapannya. Saat Adriani melewatinya, Sabila tersenyum singkat pada Pras, lalu mengikuti Adriani ke dalam. Bosnya itu sudah sampai di depan mejanya dan merapikan kertas yang terserak.

"Kalian ada masalah, Mbak?"

"Terlihat banget, ya?"

"Nggak juga, sih. Cuma ... biasanya ... kalian, 'kan, langsung keluar tanpa Mas Pras menunggu ...," jawab Sabila sambil duduk di kursinya. Menonton gerak Adriani yang tampak menyibukkan diri.

Adriani berhenti menata kertas, menghadap Sabila. "Di antara semua partner kerja kita, kamu satu-satunya yang tak izinkan tahu tentang dia." Adriani menjeda ucapannya. "Aku harus menyelesaikan urusanku sama dia, tapi ... sepertinya juga nggak mungkin di sini."

Sabila hanya diam. Menunggu Adriani bicara lagi karena sepertinya ucapan bosnya itu belum selesai.

"Kamu temani aku, ya?"

"Lah, biasanya juga berdua, 'kan?" Sabila makin dibuat bingung karena harus dilibatkan pada masalah yang sama sekali tidak diketahuinya. Ingin mengorek, tapi sepertinya ini sangat penting untuk kedua hingga harus diselesaikan seserius ini.

"Ini beda, Bil. Pokoknya kamu temani aku. Orderan biar kita urus setelah ini," ucap Adrian benar-benar tak ingin dibantah. Semua urusan dengan Pras harus dituntaskan sekarang. Mumpung orangnya datang tanpa diminta.

"Oke, wes." Sabila berdiri dari duduknya. "Sekarang, 'kan?" tanyanya memastikan Adriani tidak mengulur waktu.

"Iya, sekarang," jawab Adriani sambil menyambar tas yang tergeletak di sisi meja sebelah kiri. "Sebentar, aku cari kunci mobil. Eh, sekalian kamu ke Naima dulu. Bilang aja ruang admin dikunci karena kita mau keluar sebentar," lanjutnya sambil membuka tas dan mengorek isinya. Setelah menemukan yang dicari, Adriani menyusul Sabila yang sudah keluar lebih dulu.

"Kita bicara di luar saja, ya, Mas?"

"I-iya. Di luar saja agar lebih leluasa." Pras berdiri karena melihat Adriani sudah siap, sedang mengunci pintu ruang kerjanya.

"Maaf karena tanpa bertanya tujuan Mas Pras, aku langsung menyimpulkan sendiri. Aku nggak salah duga, 'kan?" tanya Adriani setelah menarik anak kunci dari tempatnya.

"Kamu benar. Aku memang mau bicara," jawab Pras, tampak canggung.

Percakapan mereka terasa ada penghalang, tak seluwes sebelumnya. Fakta yang terbuka sendiri itu ternyata menimbulkan pengaruh nyata karena belum didudukkan bersama. Adriani tak ingin terlarut. Sebab itu, ketika Pras datang, pikirannya tertuju pada penyelesaian masalah.

"Sudah, Mbak," ucap Sabila setelah keluar dari arah ruang produksi.

Adriani mengangguk singkat menanggapi laporan Sabila. "Ayo," ucapnya, ditujukan pada Sabila. "Aku ngajak Sabila nggak apa-apa, ya?" tanyanya pada Pras yang sebenarnya tak ingin dibantah.

Pras sebenarnya keberatan, tapi tak ada pilihan selain mengangguk lagi. "Iya, nggak apa-apa," jawabnya pasrah.

"Aku aja yang nyetir. Sabila di depan. Mas Pras di belakang nggak apa-apa, ya." Adriani tak ada pilihan lain selain membuat keputusan ini. Jika Pras yang menyetir, Sabila dan dirinya akan duduk di kursi penumpang. Itu sama saja dengan menjadikan Pras supir. Adriani masih berusaha menahan perasaan Pras agar tidak salah sangka padanya. Kalau untuk duduk di sebelah Pras yang sedang menyetir, dia sudah terlanjur memutuskan malam itu sebagai hari terakhir kebodohannya. Tidak lagi untuk sekarang dan semoga tidak juga untuk seterusnya.

Pras terkejut mendengar ucapan Adriani. Biasanya selalu dirinya yang mengemudi dan Adriani duduk di sampingnya. Namun, kali ini Pras sedang tidak ingin mendebat atau menolak. Apa pun itu, selama dia bisa menjelaskan dan Adriani bersedia mendengarkan, Pras tak berniat menolak.

💞💞💞

"Aku minta maaf." Kalimat pertama yang diucapkan Pras pada Adriani setelah pramusaji beralih ke meja Sabila.

Sabila sengaja diminta duduk sendiri,agak jauh dari meja Pras dan Adriani agar keduanya bisa leluasa bicara. Sabila memberengut pada awalnya karena merasa disingkirkan. Namun, ketika Adriani mengatakan boleh pesan sepuasnya sekaligus bungkus untuk orang rumah, Sabila berbinar matanya. Lumayan, emaknya bisa makan makanan yang sama dengan yang akan dia makan sekarang.

"Nggak apa-apa. Aku sudah maafkan. Pasti ada alasan di balik semuanya. Meskipun sebenarnya aku juga nggak bisa terima kalian berbuat sejauh ini." Adriani tak ada pilihan lain selain mengatakan itu. Bukan salah Pras sepenuhnya karena dirinya juga menikmati kebersamaan mereka. Lalu, tentang fakta yang disembunyikan karena sudah beristri, Adriani tak ingin memulai bertanya tentang itu. Baginya, sejak awal, Praslah yang berkewajiban menjelaskan tanpa diminta.

"Aku tak berniat berbohong padamu, Dik. Setiap pertemuan kita, aku selalu berusaha jujur. Tapi ..., ternyata ... selalu gagal. Aku takut kamu menghindar ketika tahu kenyataannya."

Adriani mendengarkan Pras bicara. Tak ingin menyela.

"Seharusnya memang sejak awal aku mengutarakan niatku, bukan malah memanfaatkanmu. Maafkan aku."

"Niat Mas Pras apa pada awalnya?"

"Saat Pak Tomo memintamu berbagi pengalaman, aku takjub." Mata Pras tidak beralih sedikit pun, menatap Adriani. "Aku hanya ingin mengajukan bantuan modal tokoku yang hampir tutup karena nggak bisa mendatangkan barang. Aku pikir, konveksimu pasti bisa suplai barang dengan mudah karena punya modal besar, tapi ... terlalu lama tidak mendapat senyuman tulus dari perempuan, aku tergoda sejak obrolan pertama kita. Sejak saat itu pula, aku lupa tujuan awalku." Pras tampak menghela nafas dalam lalu mengembuskannya cepat setelah mengucapkan kalimatnya.

Adriani sama sekali tidak menatap Pras. Matanya disibukkan dengan memandang pernik-pernik meja ukir di hadapannya. Namun, meski tak menatap, telinganya menangkap setiap kalimat Pras dengan jelas.

"Istriku sudah lama sakit. Selama itu juga dia keluar masuk rumah sakit dengan biaya yang nggak sedikit. Sebab itu, usahaku makin hari makin mundur. Aku nggak bisa mendapat bantuan dari bank karena namaku sudah masuk blacklist. Jadi, kupikir aku bisa menyelamatkan usahaku dengan meminjam modal darimu, tapi ternyata aku sudah melakukan kesalahan dengan memanfaatkanmu pada akhirnya. Meskipun sebenarnya tanpa aku sadari juga."

"Tanpa sadar?" tanya Adriani heran. Bagaimana mungkin dilakukan tanpa sadar jika sampai sekacau itu hasilnya. Lalu ..., "Aulia?" tanyanya lagi.

"Aulia melakukan itu tanpa sepengetahuanku. Kamu boleh percaya atau tidak, tapi aku berusaha jujur. Aulia terpaksa melakukannya karena melihatku pontang-panting mencari dana rumah sakit istriku." Pras tampak frustasi sendiri melucuti dosanya. Namun, dia berusaha menuntaskan. "Tolong anggap semua ini hutang. Akan aku usahakan untuk mencicilnya," pungkas Pras.

💞💞💞

3 Agustus 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top