Bab 12

"Mbak, pesanan seragam nomor 21 bulan ini belum dipasang aksesori," jelas Sabila pada Adriani.

Adriani menghentikan coretannya di kertas. Kepalanya diangkat, menatap Sabila.

"Aku udah konfirmasi. Katanya, Mbak Adri belum menentukan pilihan," lanjut Sabila hati-hati. Melihat raut wajah bosnya sore ini seperti mengharuskannya waspada. Jangan sampai kena getahnya. Dia tak tahu ada apa antara bos dan mantan kurirnya. Namun, sejak Indra keluar ruang Admin, wajah Adriani sama sekali tak ramah. Seolah siap menerkam siapa saja.

Adriani menghela nafas frustasi. Mendengar penjelasan Sabila membuat pikirannya makin kacau. Masalah pribadinya ini ternyata menyedot seluruh tenaga dan perhatiannya. Sampai dia hampir melupakan pekerjaan utamanya.

Bagaimana mungkin dia bisa melupakan pesanan penting itu. "Ini tanggal berapa?" Mata Adriani melirik kalender duduk di ujung kanan meja kerjanya. Tanpa jawaban Sabila pun, dia sudah tahu jawaban atas pertanyaannya barusan. "Seragam itu dipakai 2 minggu lagi. Dua hari cukup, ya, pasang aksesori?" tanya Adriani ragu. Jumlah seragam yang akan dipakai 2 minggu lagi itu sepertinya tidak akan selesai hanya dalam 2 hari, kecuali ....

"Kita lembur, Mbak," jawab Sabila cepat. Memang harus lembur untuk menyelesaikannya.

Itu artinya, Adriani harus menyiapkan biaya tambahan untuk gaji lembur dan konsumsinya. Bukan perhitungan, tapi harus dibiasakan mengetahui untung rugi agar tidak kebablasan. Setiap usaha pasti ingin untung dan menghindari rugi, rumah produksi Adriani pun begitu, tak ingin rugi.

"Oke. Kita lembur," putus Adriani, "mulai sore ini," lanjutnya.

Sabila mngengguk. Menyetujui ucapan Adriani. "Tapi, aksesorinya gimana?"

"Ini sudah diantar pakai ojol," jawab Adriani sambil menunjukkan riwayat pesan singkat yang barusan barusan dia kirim dan dibalas cepat oleh penerimanya.

"Aulia, tolong siapkan makan malam, ya," ucap Adriani saat melihat Aulia masuk ruang Admin. "Jumlahnya kamu tanya ke Sabila. Kita lembur hari ini dan besok," lanjutnya.

"Menunya apa, Mbak?" tanya Aulia.

Adriani mengangkat alisnya mendengar pertanyaan Aulia. Admin barunya ini memang terlihat serba takut, khawatir, dan hati-hati. Bahkan, untuk urusan menu makan malam harus tanya. "Menunya ...." Adriani menggantung jawaban. Tatapannya dialihkan pada Sabila yang masih duduk di depannya. "Kamu musyawarah dengan Sabila aja, ya," lanjutnya. Dia sudah kembali menatap Aulia, kemudian beralih pada Sabila.

Sabila menahan tawa mendengar kata musyawarah. Pilihan kata yang digunakan bosnya ini kadang-kadang memang menggilik perut. Bikin geli.

💞💞💞

Jam lembur sudah berjalan 1 jam. Adriani mengecek para partnernya di ruang produksi setelah menghabiskan 50 menitnya hanya untuk mengulang kalimat yang keluar dari mulut lelaki yang sangat dihindarinya.

Salahnya juga nekat mencarinya di kantor. Dia lupa kalau lelaki itu pasti tingkat pedenya makin melambung. Bahkan, Adriani harus beberapa kali menutup wajah saat ingat tatapan mata Indra. Jangan-jangan kamu sudah mulai cinta sama aku. Nggak usah gengsi kalau itu benar. Ingat, aku beda sama Pras. Aku mengajakmu menikah karena aku menghormatimu. Sekali lagi, kalimat lelaki itu kembali terngiang. Adriani tak bisa menutupi dirinya, antara menahan marah atau merona. Adriani seolah akan melayang. Namun, otaknya menyadarkan. Bahwa, Indra tidak semestinya selalu dihadirkan dalam benaknya. Sebaliknya, dia harus dienyahkan. Adriani merapalkannya, enyahkan Indra.

Lima belas menit sebelum azan Maghrib, Sabila memanggil Adriani yang masih mendampingi tim produksi. Tak perlu penjelasan panjang. Adriani tahu tujuannya. Sabila dan dirinya hanya melakukan kontak mata. Adriani tahu, Sabila sedang berusaha melindunginya dari partner yang lain.

Janjinya dengan Pras sore ini tidak bisa dibatalkan meskipun ada lembur. Dia memercayakan semua urusan lembur sore sampai malam ini pada Sabila. Itu sebabnya, Sabila tahu kalau Pras akan menjemputnya. Beberapa saat setelah memutuskan lembur tadi, Adriani menjelaskan pada Sabila sekaligus meminta admin kepercayaannya itu untuk merahasiakan ini pada lainnya. Meskipun, tak menutup kemungkinan, mereka tahu dengan sendirinya. Namun, lebih baik ketika Sabila bersikap tak tahu-menahu.

💞💞💞

Sabila menegang saat matanya menangkap sosok berjilbab abu-abu duduk menumpang becak yang memasuki gerbang rumah produksi. Padahal, baru beberapa detik mobil putih milik Adriani melewati gerbang itu. Semoga pengemudi dan penumpang dalam mobil tidak dikenali wanita paruh baya ini agar dia selamat dari cecaran. Sabila tetap berdoa meskipun kemungkinan terkabulnya tipis. Mana mungkin Bu Warni tidak mengenali mobil anaknya.

"Nduk, Ani sama siapa itu tadi? Kok duduknya di depan?"

Tepat sasaran. Doa Sabila ditolak. Gadis itu mengusap tengkuk sebelum menjawab. "Anu, Ibun. Itu temannya Mbak Adri."

Bu Warni mengerutkan kedua alisnya. Sulit menerima informasi yang disampaikan Sabila. "Yang nyetir tadi, lak, laki-laki, to, Nduk? Ani keluar berdua sama teman laki-lakinya?"

Sabila memamerkan giginya. Mau menjawab sejujurnya, tapi takut salah. Mau berbohong, tapi takut dosa. "Ibun, duduk dulu, njeh," tawar Sabila sambil menuntun lengan Bu Warni. Sebelumnya dia sudah menjabat tangan ibu bosnya itu sambil mencium punggung tangannya juga. "Bila buatkan teh ditambah daun mint kesukaan, Ibun, dulu, njeh." Sabila segera berbalik badan.

"Duduk sini saja, Nduk." Bu Warni lebih dulu menarik tangan Sabila sebelum kakinya berhasil melangkah. "Aku kepingin tanya. Aku gak seneng penasaran."

Sabila seperti disentil hatinya. Sebab, dia juga tak suka terbelenggu rasa penasaran. Kali ini, dia harus menjadi obat.

"Kamu tahu itu tadi sopo?" tanya Bu Warni setelah Sabila duduk di sampingnya.

Sabila salah tingkah. Benar-benar takut salah. Kursi yang siang tadi dia duduki sambil mengeluh pada Indra, sekarang, menjadi tempatnya mencengkeramkan tangan. "Kalau itu, Ibun tanya Mbak Adri langsung mawon, nggih," jawabnya hati-hati. "Bila ... takut salah ucap." Sabila mengembuskan nafas dari mulutnya untuk menetralkan getaran dalam dirinya.

Bu Warni tampak bisa memahami ucapan Sabila. "Tapi, kamu tahu, sejak kapan Ani begitu?" Bu Warni harus menanyakan ini karena ingin memastikan seberapa jauh orang di sekitar anaknya tahu tentang ini. Sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan oleh perempuan lajang seperti Adriani dengan laki-laki yang dia tak tahu itu siapa.

"Bila tahunya baru kali ini, sih, Bun ...," jawab Sabila masih sambil menatap raut wajah Bu Warni. Sabila tak bisa menebak lanjutan pikiran Bu Warni karena wanita yang juga dianggapnya ibu ini hanya diam setelah melontarkan pertanyaan keduanya. Namun, Sabila tahu pasti, kalau Bu Warni sedang sangat kecewa dan sedih.

"Oh, iya, Nduk. Aku sampek lali. Seragamku piye?"

Sabila mengusap keningnya pelan. Dia lupa siang tadi tidak menyampaikan kekurangan bahan yang belum dikirim suplayer untuk seragam pesanan Bu Warni. Seingatnya, seragam itu harus selesai besok. Kacau sudah.

"Bila usahakan besok selesai, Ibun."

"Kok diusahakan?" tanya Bu Warni antara heran dan terkejut. "Ani nggak bilang apa-apa sama kamu?"

Sabila menggeleng. Duh, Allah. Apalagi ini? Batin Sabila merintih. Rasanya, dia yang kena getah padahal tak ikut menikmati suka cita yang dirasakan bosnya.

"Aku wes bilang ke Ani, seragam itu harusnya selesai kemarin!" tegas Bu Warni masih mengerutkan alis.

Sabila membelalakkan mata. Ini kekacauan yang paling kacau sejak dia bekerja dengan Adriani. Tidak hanya urusan admin yang tak karu-karuan, tapi juga urusan produksi. Bahkan, harus lembur karena bahan tak memadai. Lalu, sekarang, pesanan wanita terpenting ini malah sudah melampaui batas waktu. Sabila mengurut keningnya yang sebelumnya sudah beberapa kali dia tepuk dan usap. Pening tiba-tiba merayap.

💞💞💞

17 Juli 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top