Bab 10
Indra menyempatkan diri berkunjung ke rumah pemasok teh. Sejak pindah rute, dia bisa agak santai karena paket yang dia jemput tidak terlalu banyak. Sebelum pukul 3 sore dia sudah bisa kembali ke kantor dan menyelesaikan rekap resi. Jadi, sisa waktu yang biasanya dia habiskan untuk mengurus ekspedisi, dia gunakan untuk menangani warung tehnya.
Warung teh yang dia rintis ini memang sudah dipegang oleh kedua adiknya. Dua warung, masing-masing dipegang suami Nindi dan suami Siska, sedangkan Indra, meskipun tidak ikut campur, dia tetap mengontrol pemasukan dan pengeluaran secara global termasuk memastikan pasokan teh aman dengan kualitas baik.
Sebelumnya, adik-adiknya mengambil bahan baku dari suplayer perusahaan besar. Namun, makin hari kualitas teh tidak sebagus di awal. Indra yang memutuskan untuk berhenti berlangganan dengan suplayer lama dan mencarikan pemasok dari daerah Lawang. Indra memanfaatkan pekerjaannya sebagai kurir untuk mencari pemasok yang mau bekerja sama dengannya.
Pemasok yang bersedia menyediakan teh untuk Indra menyambut baik kerja sama mereka. Selama hampir 7 tahun bekerja sama, Indra baru beberapa kali bertatap muka dengan Pak Humaid. Itu pun mereka lakukan di luar rumah. Tepatnya, di gudang pengepulan.
Meskipun jarang bertatap muka, mereka saling menjaga kepercayaan. Pak Humaid menjaga kualitas teh yang diinginkan Indra. Indra pun menyelesaikan pembayaran sesuai kesepakatan yang dibuat.
"Kok bisa Mas Indra pindah rute?" Pak Humaid bertanya tentang pekerjaan Indra setelah mereka membahas segala hal tentang teh.
"Penyegaran kerja, Pak," jawab Indra sedikit gamang. Namun, Indra tak mungkin mengatakan dia pindah karena diancam, 'kan? Semoga tidak dianggap berdosa karena menyembunyikan alasan sebenarnya.
"Tapi, jadi sering ketemu, ya, kita." Pak Humaid menanggapi dengan tertawa keras. "Tak kira Mas Indra ini sudah punya anak 2. Ternyata masih sendiri." Pak Humaid tiba-tiba membelokkan topik percakapan.
Indra tertawa mendengar penuturan Pak Humaid. Bagaimana bisa punya 2 anak kalau istri saja belum punya.
"Saya bukannya mau ikut campur, tapi ... sepertinya ... Mas Indra ini sudah siap menikah." Pak Humaid berkata dengan serius meskipun santai.
Indra kembali tertawa lebar meskipun tanpa suara. "Semoga dapat istri yang tepat, Pak," jawabnya, kemudian menyeruput teh melati hangat yang disuguhkan Bu Warni, istri Pak Humaid.
"Perempuan itu, 'kan, yang penting manut dan bisa menjaga kehormatan keluarga," lanjut Pak Humaid, "tapi ..., perlu dibimbing juga." Lelaki yang melampaui setengah abad ini seperti menggiring Indra pada topik pernikahan.
Indra agak kuwalahan menanggapi Pak Humaid. Selain karena dia belum punya pengalaman, juga karena dia belum paham topik ini dengan baik. Sepertinya dia memang harus mulai belajar agar bisa lebih memahami. Lagi pula, niatnya untuk serius dengan Adriani pun harus diwujudkan. Kalau dia tidak tahu apa-apa tentang hubungan antara suami dan istri, bagaimana dia bisa mengarahkan?
"Malam sekali baru pulang, An? Kenalkan. Ini Indra, teman Bapak." Indra spontan menoleh ke arah pintu masuk ketika Pak Humaid berbicara para seseorang yang baru saja membuka pintu dan masuk rumah.
Sungguh ini di luar dugaan. Selama bertahun-tahun bekerja sama, ternyata dirinya dan Pak Humaid murni hanya bekerja, tidak saling mengenalkan keluarga masing-masing. Lalu, malam ini, dia harus terkejut yang menimbulkan bahagia karena perempuan yang digilainya adalah anak lelaki baik ini. Indra semakin yakin untuk tidak melepas Adriani.
Indra melihat dengan ekor matanya, Adriani berjalan menuju kursi tamu, mendekat ke arah Pak Humaid dan dirinya. Saat perempuan itu mengarahkan tatapan ke arahnya, Indra bisa melihat rona terkejut dari mata Adriani. Untungnya Indra tadi sudah melihat lebih dulu beberapa detik sebelum Adriani berbalik untuk menutup pintu. Kalau tidak, mereka pasti akan sama-sama terkejut dan terpaku.
"Kami sudah saling kenal, Pak," ucap Indra sambil menikmati wajah terkejut Adriani.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Indra melihat Adriani sudah kembali seperti semula, tenang dan dewasa. Ya, bukan Adriani kalau tidak dengan mudah mengubah ekspresi.
"Saling kenal?" Wajah Pak Humaid tampak berseri.
Adriani tersenyum tipis mendengar pertanyaan bapaknya. "Mas Indra kurirku, Pak, tapi udah enggak lagi seminggu ini," jawab Adriani sambil melirik tajam pada Indra. "Ani ke dalam dulu, ya." Tanpa menunggu jawaban, Adriani meninggalkan dua lelaki yang menampakkan senyum yang sama-sama menyimpan harapan, harapan yang juga sama.
Sepeninggal Adriani, dua lelaki itu masih berbincang. Mereka tidak lagi membahas pernikahan. Topik bahasannya beralih ke pasokan teh yang diminta Indra untuk menambah. Penyampaian permintaan itu memang tujuan utamanya berkunjung, selain untuk silaturahmi tentunya.
Indra pamit tepat 30 menit setelah Adriani datang. Sudah terlalu larut untuk berkunjung. Apalagi, urusannya hanya untuk pekerjaan.
💞💞💞
"Indra itu baik, lho, Nduk. Kamu cocok sama dia."
Adriani meletakkan sendok makannya ketika mendengar ucapan Pak Humaid. Untung saja dia sedang mengunyah suapan terakhirnya. Jadi, tak perlu membuang makanan karena kehilangan selera makan akibat bahasan tak terduga ini.
"Dia ... juga sedang cari istri," lanjut Pak Humaid.
Adriani masih diam. Dia berdiri menuju rak gelas dan mengambil air putih. Kerongkongannya perlu dibasahi dan didorong isinya sebelum menanggapi ucapan bapaknya. Adriani melirik Bu Warni. Ibunya itu hanya diam sambil mengupas jeruk. Helaan nafasnya tiba-tiba panjang.
"Ani pasti menikah, Pak, tapi tidak sekarang ...." Adriani menjawab dengan hati-hati. "Belum sekarang," lanjutnya cepat karena melihat bibir Bu Warni sedikit terbuka. Adriani khawatir diprotes ibunya.
Bu Warni menghela nafas. "Belum sampek kapan, An? Kae, lho, Rukaya wes gendong loro," sanggah Bu Warni. Tak rela anak satu-satunya terbuai dengan status lajang. Adriani harus disadarkan sebelum kebablasan dan keenakan dengan kesendirian.
"Lek bapak, setuju kamu sama Indra. Dia itu tanggung jawab, An. Perempuan cuma butuh itu dari laki-laki." Pak Humaid menjelaskan dengan mantap. "Kuwi tekono Ibumu. Opo yang dia butuhkan dari bapak. Jawabane lak podo," lanjutnya.
Adriani tak menjawab. Tak berniat menjawab lebih tepatnya. Kenapa harus Indra yang dibawa-bawa?
"Wes to, Nduk. Ojo mikir dowo-dowo. Ibu iki cuma kepingin kamu ada yang jaga. Kamu nggak punya saudara. Ben ibu dan bapak ndang tenang."
Lagi-lagi Adriani hanya bisa menghirup nafas dalam dan mengembuskannya lelah. Pikirannya sedang kacau karena konveksinya. Ditambah desakan orang tuanya malam ini. Indra ngomong apa, sih, pada bapaknya? Sejak kapan lelaki itu berteman sama bapaknya? Kenapa harus malam ini mereka bertemu dan di rumah ini pula?
Memikirkan lelaki itu membuat amarah Adriani terpancing. Kenapa emosinya selalu susah dikendalikan jika mengingatnya. Harusnya tak perlu seperti ini. Biasanya dia dengan mudah mengenyahkan siapa pun dari pikirannya jika dia sedang enggan. Namun, Indra susah sekali. Mantan kurirnya itu malah masuk melalui keluarganya.
Adriani mengulang kalimat terakhir yang sedang dia lamunkan. Masuk melalui keluarganya. Setelah dia jauhkan dari rumah produksi, sekarang mendekati rumahnya. Tidak bisa dibiarkan.
💞💞💞
10 Juli 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top