Bab 1
“Lihat, tuh, si Siska. Nempel terus sama Satria.”
“Suaminya, Sel. Lupa?”
“Kamu nggak pengen? Enak, lho. Ada yang manjain.”
Itu bahasa terhalus teman-teman komunitasnya. Sejak 7 tahun yang lalu, Adriani mendapat serangan kata yang sama, menikah. Namun, sedikit pun dia tidak merasa terganggu. Saat ini, fokusnya bukan pada hal itu.
“Kamu mau aku cariin? Tinggal bilang tipemu yang gimana.” Teman komunitasnya ini masih tidak mau menyerah.
“Suami sama mobil bisa sama, ya, nyarinya?” Adriani berlagak mikir. “Udah, ah. Dengerin Pak Tomo, tuh!” Adriani tak ingin memperpanjang obrolan. Lima menit saja dibalas, bahasan ini akan berlanjut hingga acara usai.
Adriani dan teman-teman komunitas Bukalawang sedang menghadiri kopdar 3 bulanan. Komunitas ini sudah ada sejak tahun 2014. Adriani sudah menjadi member sejak pertama kali komunitas ini dibentuk. Selama itu juga dia selalu aktif dan mengikuti perkembangan marketplace biru ini.
Menjadi produsen gamis dan jilbab membuatnya harus selalu up to date dengan sistem penjualan dan pola belanja konsumen. Adriani tetap memberlakukan keagenan untuk distribusi produksinya, tapi juga melayani ecer partai besar untuk seragam. Sebab bahan dan model harus sesuai keinginan pelanggan, Adriani tidak ingin menanggung risiko dengan menerima pesanan made by order melalui agen. Konveksinya selalu mengedepankan kualitas serta kepuasan pelanggan. Jadi, dia selalu memastikan sendiri pesanan sesuai keinginan pemesan.
Untuk mempromosikan produksi seragam made by order, Adriani memanfaatkan beberapa marketplace, salah satunya Bukalawang. Dia bisa menjangkau seluruh Indonesia dan bisa komunikasi langsung dengan calon konsumen. Ada fitur tawar-menawar yang disediakan, tapi Adriani memilih menonaktifkan karena seluruh harga yang dicantumkan adalah harga netto.
Kopdar siang ini berlangsung hingga pukul 12 siang. Tersisa 40 menit. Adriani menengok jam tangannya. Setelah kopdar dia harus mengecek rumah produksi. Hari ini ada pesanan seragam pengajian yang harus dikirim ke Kalimantan. Kemarin dia sudah memastikan produksi selesai, kurang pelabelan dan pengemasan.
“…. Adriani salah satu pelapak yang sukses di antara kita semua. Saya yakin omsetnya lebih dari 300 juta dalam satu bulan.” Pikiran Adriani kembali fokus pada Pak Tomo ketika namanya disebut. “Tanya saja padanya. Dia ada di antara kita siang ini.”
Adriani tersenyum menanggapi ucapan Pak Tomo dan tatapan beberapa member yang belum mengenalnya. Omsetnya memang lebih dari 300 juta bahkan mencapai 700 juta di bulan Syakban dan Ramadan. Agennya sangat bisa diandalkan. Selain itu, khusus di dua bulan tersebut, Adriani menggelar lapak di lobi salah satu mal di Malang. Di sana, dia bisa meraup keuntungan lebih besar karena langsung melayani harga retail.
“Kalau bersedia, saya minta Adriani membagikan pengalaman di depan sini. Mumpung banyak member baru.”
Adriani masih tersenyum sambil mengangguk. Dia beringsut ke depan dan mulai bercerita tentang usahanya yang dia rintis sejak 2011.
💞💞💞
“Seragam yang ke Kalimantan sudah beres, Bil?”
“Sudah, Mbak. Sudah dikemas. Tinggal nunggu Mas Indra.”
Adriani melihat jam tangannya. Sudah pukul 14.44. seharusnya Indra sudah datang dan seluruh paketannya masuk angkutan, tapi kurir itu belum menampakkan diri.
“Mas Indra sudah bilang, Mbak. Dia agak telat siang ini.” Sabila menjelaskan tanpa ditanya. Bekerja dengan Adriani sejak konveksi dibuka membuatnya hafal gestur tubuh Adriani. Saat Adriani menengok jam tangan dan paketan belum diangkut, Adriani pasti sedang cemas.
“Aku ke Naima dulu, ya.”
💞💞💞
“Teman-teman di Line A masih mengerjakan yang kasual, Mbak. Pesanan seragam yang masuk kemarin baru dipegang lusa. Lagi pula bahannya belum datang. Mbak Bil bilang, Mas Indra belum datang.”
“Ya. Oke. Baiklah. Repot juga, ya, kalau kurir itu terlambat.” Adriani menghela nafas.
“Rekrut sopir aja, Mbak. Kan lebih gampang.”
Adriani hanya tersenyum sambil berlalu menanggapi saran Naima. Merekrut sopir untuk keperluan produksi sudah sejak awal berdirinya konveksi disarankan beberapa koleganya, tapi Adriani tidak berminat. Lebih tepatnya, dia tidak mau mempekerjakan laki-laki. Dia lebih memilih membayar jasa sekali datang.
Adriani paham benar posisinya sebagai perempuan. Apalagi, dirinya belum bersuami. Rentan fitnah jika ada laki-laki yang bekerja dengannya. Seluruh partner kerjanya memang perempuan. Adriani tidak pernah pusing jika ada mesin yang macet. Dia punya bekal cukup dari S1 tata busananya. Jadi, bisa mengatasi kerusakana kecil pada mesin-mesin jahit, obras, atau lainnya. Jika ada kerusakan besar, dia cukup memanggil mekanik untuk mengambil dan memperbaiki mesinnya.
“Tumben, sih, Mas, pake telat segala?”
“Iya. Ada perlu sebentar.”
“Kelihatannya penting banget. Aku jadi kepo.”
Adriani mendengar suara Sabila dan seorang lelaki di depan ruang admin. Rupanya Indra baru saja datang dan sedang mencatat paketan yang akan diangkut.
“Kamu itu selalu kepo, Bil. Pesanan sebelum pukul 12 siang sudah semua ini? Jangan gara-gara kepomu itu ada yang ketlisut!” tegur Adriani.
“Tenang, Mbak. Sudah beres semua.”
“Oh, iya, Mas Indra. Kain dari Ko Chan sudah dibawa ke sini, ‘kan?”
“Sudah, Mbak. Agus sudah ke dalam.”
“Oke. Maturnuwun, ya.”
“Sip, Mbak. Mbak, ada waktu sebentar? Ada yang perlu tak sampaikan.”
“Ada. Ke ruang admin, ya. Bil, nanti ikut ke dalam juga, ya.”
“Sip, Mbak ….”
“Berdua saja?” Indra memotong sebelum Sabila menuntaskan jawaban.
Alis Adriani sedikit terangkat merespons ucapan Indra, tapi kemudian menghela nafas. “Baiklah. Sebentar, ‘kan?” tanyanya memastikan.
“Iya. Sebentar saja.”
Adriani tersenyum lagi. Langkahnya berbalik memasuki ruang admin.
💞💞💞
“Apa maksud kamu, Mas?”
“Sungguh. Ini sudah lama aku pikirkan. Simpulanku, kamu tidak sedang bersama siapa pun. Jadi, aku mau mengajakmu menikah.”
Adriani memijat pelipisnya. Bukan pusing, tapi pening. Ini terlalu tiba-tiba dan tidak pernah terlintas dalam benaknya.
Indra adalah kurir ekspedisi yang sejak lama bekerja sama dengannya. Adriani bahkan sudah lupa sejak tahun berapa kurir ini membantunya mengurus paket. Menikah dengan kurirnya sendiri?
Menikah. Kata ini sudah dua kali menjadi topik bahasan hari ini.
Diajak menikah. Memikirkannya saja Adriani malas sekali. Bukan tentang siapa yang mengajak, tapi tentang kesiapannya. Dia belum siap. Tidak sekarang. Kapan? Entahlah. Mungkin setelah membesarkan usahanya ini.
“Kamu sudah sukses, ‘kan? Usahamu lancar. Aku tidak tahu usiamu tepatnya berapa. Sepertinya masih di bawahku. Berapa pun aku tidak peduli. Aku serius mengajakmu menikah.” Indra mendorong kotak beledu coklat yang menyimpan cincin berukir huruf A dan I. Meski kecil, dua huruf itu bisa dibaca dengan jelas.
Adriani tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala. Tangan kanannya masih memegang pelipis. Dia duduk di kursi kerjanya. Indra duduk di depannya terpisah meja kerja. “Ini … terlalu tiba-tiba, Mas. Aku …, em … kita tidak pernah membahas tentang hati, ‘kan? Kita murni bekerja selama ini.”
“Iya. Kamu murni menganggapku kurir, tapi aku mengamatimu sebagai yang lain. Aku tidak perlu mengumbar apa pun. Cukup melihat dan memantapkan hati. Aku mantap sekarang dan menunggu jawabanmu.”
“Tunggu, Mas. Aku tidak bisa berpikir.”
Kepala Adriani makin pening. Ada debar di dadanya, tapi dia tidak tahu kenapa. Menikah, menikah, menikah, belum pernah dia memikirkannya dengan serius. Selama ini dia fokus pada gamis dan jilbab. Iya, hanya pada dua hal itu.
💞💞💞
Alhamdulillah ....
Akhirnya bisa mulai up cerita ini.
Mohon maaf jika ada hal yang kurang berkenan.
Saya menerima kritik dan saran.
8 Juni 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top