Sisi Lain
"Pak, kok beli beras dan ayam mentah?" Sejak tadi Syifa ingin bertanya saat Shan mulai memasukkan beras ke dalam troly yang ia dorong.
"Saya pengen masak." Shan menjawab sambil memilih sayuran yang ia butuhkan. Memasak adalah salah satu aktivitas yang Shan lakukan jika ia merasa bosan atau kesal. Entah bagaimana emosinya bisa tersalurkan saat memotong bahan masakan.
"Kirain mau beli makanan mateng. Emang Bapak bisa masak?"
"Bisa dong. Jangan remehkan saya soal masak, beberapa tahun tinggal sendiri membuat saya mandiri."
Syifa manggut-manggut. Kemudian mereka lanjut berbelanja bahan makanan dan bumbu yang dibutuhkan. Beberapa kali Shan bertanya pendapat Syifa tentang bahan makanan yang akan mereka beli dan Syifa memberi pendapat dengan senang hati. Syifa sering membantu ibunya sehingga pengetahuan tentang bahan pangan tak perlu diragukan.
Mereka sudah seperti pasangan suami istri yang berbelanja bersama. Berdiskusi tentang bahan makanan lalu memutuskan dan memasukkannya ke dalam troly.
"Pak, kalau tahu mau masak gini, mending belanja di pasar. Di sini harganya mahal-mahal." Keluh Syifa.
"Tapi kan kualitasnya terjamin."
"Di pasar juga banyak yang kualitasnya bagus yang penting bisa milih. Harganya bisa setengah dari harga di sini."
"Kalau begitu besok anter saya ke pasar ya untuk belanja. Kulkas saya udah mulai kosong."
Syifa kikuk sendiri saat mendengar permintaan bosnya. Belanja bareng Shan ke pasar, waduh. "Mm... tapi besok saya kerja, Pak."
"Habis subuh saya jemput kamu, kita ke pasar, terus ke rumah saya, baru habis itu kita ke kantor."
Syifa menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Jangan besok ya Pak, kapan-kapan aja." Bisa gawat kalau Syifa dijemput sehabis Subuh, dapat dipastikan ibunya akan murka ia dijemput oleh pria dari kalangan yang dibenci.
"Ok." Shan menjawab singkat sambil tersenyum.
Keduanya kini sedang antri di depan kasir. Ponsel di saku Shan berdering, sejenak ia lihat di layar siapa penelepon yang menghubunginya. Lalu Shan mengeluarkan dompetnya, sebuah kartu debit berwarna hitam ia berikan pada Syifa. "Pinnya 140281, tolong kamu bayar, saya mau terima telpon dulu."
Shan keluar dari antrian ia menerima telpon di dekat pintu keluar supermarket.
Syifa segera menghampiri Shan yang masih bicara dengan si penelepon.
"Pak, kartunya." Syifa menyodorkan kartu debit milik Shan.
Shan merogoh dompetnya. "Masukin ke dompet saya." titahnya lembut sambil memberikan dompetnya pada Syifa.
Syifa memasukkan kartu debit ke dompet Shan. Sejenak ia melihat ada foto Shan di sana bersama seorang perempuan yang sudah berumur, wajah keduanya mirip.
Shan menunjuk foto itu. "Ini ibu saya."
Syifa mengangguk. "Pantesan mirip. Ibunya Pak Shan cantik banget."
"Berarti saya cantik dong, kan mirip."
"Masa laki-laki cantik, ngaco."
"Berarti saya ganteng?"
"Iyain aja deh daripada dipecat."
Shan terkekeh lalu mengelus puncak kepala Syifa. Syifa kaget bukan main dengan reaksi bosnya, ia menatap Shan dengan mata membulat sempurna.
"Sorry, refleks. Yuk, kita naik lift ke unitnya Aga."
***
Tanpa memencet bel, Shan membuka pintu dengan kode password pintu yang ia ketahui. Dulu ia yang menghuni apartemen ini sebelum akhirnya pindah ke rumah yang ia beli 6 bulan lalu.
Klik.
Pintu terbuka.
"Astagfirullah!" pekik Syifa lalu menutup matanya dengan tangan saat melihat pemandangan di hadapannya.
Pekikan Syifa mengagetkan Aga yang sedang bercinta di sofa bersama pasangannya, perempuan berkulit putih dengan rambut sebahu. Aga menoleh."Om, Syifa?!"
Aga segera melepaskan penyatuan tubuh mereka. Sambil menutup area sensitifnya Aga mencari celananya yang berada di antara pakaian yang bertebaran di lantai.
"Pake baju kamu dan keluar dari sini!" perintah Shan pada si perempuan.
Perempuan itu menurut, ia segera memakai pakaiannya yang tercecer di lantai lalu pergi. Saat di pintu ia sempat menyenggol bahu Syifa yang sedang menutup mata.
Jantung Syifa bertalu-talu dan tak berani membuka mata. Ini kali pertama ia melihat adegan tak senonoh. Selama ini adegan intim yg pernah ia lihat di drama atau film sebatas pelukan dan ciuman. Tapi kali ini ia disuguhkan live show adegan seks bosnya.
"Syifa, ayo masuk. Aga sudah berpakaian." Shan berkata lembut.
Syifa menggeleng.
Shan mendekat lalu bertutur lembut, "Buka mata kamu, perempuan itu sudah pergi dan Aga juga sudah berpakaian. Percaya sama saya, gak akan terjadi hal buruk."
Perlahan Syifa membuka matanya. Adegan itu sudah tidak ada, bahkan Aga pun sudah tidak di sofa itu lagi.
"Kita langsung ke dapur aja, saya rasa kamu butuh minum dan tidak akan menduduki sofa itu."
Syifa mengatur napasnya. "Iya," jawabnya mengikuti saran Shan.
Duduk di kursi dapur, Syifa menatap sekeliling apartemen mewah milik Aga.
"Minum dulu," tawar Shan dengan segelas air putih di tangannya.
Beberapa tegukan air putih, membuat Syifa menjadi lebih tenang.
"Sorry, ya. Gue bikin lu shock." Aga menghaturkan maaf pada Syifa, lalu beralih pada omnya. "Om sih, mau dateng nggak bilang dulu."
"Udah Om duga kamu pasti lagi sama perempuan, tapi Om gak sangka Syifa bakal sekaget ini."
"I-itu pacar lu?" Terbata Syifa bertanya pada Aga.
"Bukan, dia cuma cewek bayaran."
"Astagfirullah, lu gak takut kena AIDS atau penyakit kelamin?"
"Gue selalu pakai pengaman dan cewek yang gue pakai udah dipastikan sehat."
"Lu gak takut dosa, maksud gue lu berzina, Ga. Dalam Islam itu dosa besar. Meskipun lu gak pernah sholat, paling nggak jauhilah dosa besar. Udah gak punya pahala, banyak dosa. Belangsak lu di akhirat, masuk ke kerak neraka!"
Shan terkekeh melihat interaksi antara Aga dan Syifa.
Aga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bukan sekali ini saja Syifa menasehatinya, tiap kali ingin minum minuman beralkohol Syifa pasti melakukan hal yang sama. Akibatnya sudah seminggu ini Aga tidak minum.
"Udah laper nih, Om mau masak dulu."
"Biar saya bantu, Pak."
"Oke, kamu boleh bantu saya." Shan mengiyakan tawaran Syifa. "Aga, bersihin tuh sofa, jijik tau, gak mau duduk di situ!"
Proses memasak pun dimulai. Beras dicuci lalu dimasukkan ke dalam rice cooker oleh Syifa, sementara Shan mulai membersihkan sayuran dan ayam yang sudah dipotong oleh pegawai supermarket.
Gawai Shan berdering. "Saya jawab telpon ini dulu ya?"
"Iya Pak."
Syifa melanjutkan proses memasak. Saat belanja tadi Shan mengatakan akan memasak ayam goreng, capcay dan bihun goreng. Syifa tahu benar yang harus ia lakukan.
Cukup lama Shan menerima telpon di kamar Aga hingga Syifa hampir selesai masak. Setelah sambungan terputus, Shan bermaksud melanjutkan sesi memasaknya.
Langkah Shan terhenti saat melihat Syifa yang asyik mengaduk bihun goreng di wajan sambil menyenandungkan sebuah lagu yang dinyanyikan Tulus berjudul Manusia Kuat.
Senyum tipis tersungging di bibir Shan. Tanpa sepengetahuan Syifa, Shan merekam momen itu dengan ponselnya. Aga yang hampir selesai membersihkan sofa menyadari kelakuan sepupu dari ayahnya tersebut.
***
Malam sudah larut tetapi ponsel Syifa terus berbunyi, banyak notifikasi pesan masuk. Besok adalah hari besar bagi para mahasiswa, mereka akan melakukan demonstrasi besar-besaran menentang kenaikan harga BBM.
Sebagai mahasiswi jiwa Syifa terpanggil, tetapi esok adalah hari kerja, ia harus magang. Mengikuti demonstrasi atau tetap magang menjadi pilihan sulit bagi Syifa. Sebagian besar teman-temannya yang magang absen dari demonstrasi kali ini.
Sebelum adzan Subuh berkumandang, ia sudah terbangun. Setelah menunaikan hajat di kamar mandi segera ia membantu ibunya yang telah berada di dapur.
"Bu, kalo aku ikut demo menolak kenaikan BBM hari ini gimana?"
Syifa meminta pendapat ibunya.
"Sejak dulu Ibu tidak pernah melarang kamu berdemo, yang penting alasan demo itu murni untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Untuk kebenaran. Orang kecil seperti kita, bisa menyalurkan aspirasi ya lewat demonstrasi. Cara lain, sulit. Mereka yang berada di atas itu lebih kuat, maka menyusun kekuatan bersama adalah satu-satunya cara."
Syifa mengangguk mendengar penuturan ibunya. Kata-kata ibunya bagaikan kata-kata korlap demonstrasi. Itu wajar mengingat dulu sang ibu juga aktivis pergerakan mahasiswa.
"Tapi kamu kan sedang magang, apa mau bolos supaya bisa demo? Jangan sampai juga berdemo mengganggu aktivitas utama kamu," lanjut Bu Rini.
"Aku mau bilang si bos dulu, minta izin."
Satup-sayup suara azan terdengar. "Udah azan Subuh tuh, sholat dulu," kata Bu Rini.
Syifa menghentikan aktivitasnya membantu sang ibu lalu bergegas untuk berwudhu.
Selesai sholat, Syifa mengambil gawainya lalu mengetik pesan untuk Aga. Awalnya Syifa berniat menelpon tetapi sepagi itu mungkin dering telponnya akan mengganggu.
[Pak, hari ini ada demo menolak kenaikan harga BBM di depan gedung DPR. Saya izin nggak masuk untuk bergabung bersama teman-teman mahasiswa.]
Tak disangka, pesan itu segera mendapat jawaban.
[Ok.]
Segera ia bersiap setelah membaca pesan itu.
***
Syifa berdiri mendengarkan orasi ketua BEM bersama ratusan mahasiswa lainnya. Kemudian meneriakkan yel-yel menolak kenaikan harga BBM.
"Hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia!" teriak Syifa di bagian akhir yel-yel sambil mengepalkan tangan kanannya di udara.
Tiba-tiba tercium aroma parfum yang ia kenal, Syifa menoleh ke kiri. Pria berjaket bomber dengan topi dan masker berdiri di sampingnya padahal sejak tadi pria itu tidak ada di sana. Syifa mengenali pria itu. "Aga?!"
Yang dipanggil pun menoleh sambil tersenyum membuka masker ke dagu. "Hai, Syifa."
"Lu ngapain ikut demo?" Syifa masih tak percaya. Pria yang biasa di ruang ber-AC itu kini berpanas-panasan bersama dirinya.
"Pengen ngerasain jadi mahasiswa."
Penuturan Aga bukan tanpa alasan, sejak lulus SMA dia sudah ditempatkan di perusahaan. Tanggung jawabnya sebagai pewaris membuat dirinya tidak melanjutkan pendidikan.
"Kalau mau jadi mahasiswa ya kuliah, demo itu cuma sambilan."
"Sekarang sambilannya dulu. Btw, lu haus gak sih, panas gini."
"Gue bawa minum." Syifa menunjukkan botol minumnya.
"Gue aus banget, beli minum dulu yuk!"
Aga menarik lengan Syifa menuju gerobak penjual minuman yang menjajakan dagangannya dan mengekori rombongan mahasiswa.
"Semuanya berapa, Pak?" tanya Aga pada si mamang penjual minuman.
"Lima belas ribu." Si mamang menghitung dua botol minuman yang sedang disesap Aga dan Syifa.
"Maksud saya semua, seisi gerobak."
"Semuanya?" Si mamang menganga tak percaya.
"Iya."
"Satu juta." Si Mamang penjual minuman itu menyebut angka tanpa berpikir panjang.
Aga mengeluarkan 20 lembar uang berwarna merah lalu menyerahkan pada si penjual minuman. "Ini, Mang. Nanti minumannya buat mahasiswa ya."
Aga melangkah ke pedagang minuman lainnya lalu melakukan hal yang sama, memborong seluruh dagangan mereka. Kemudian ia berteriak, "Minuman gratis, silakan diambil!"
Syifa melongo melihat tindakan bosnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top