Protektif

Syifa mengekori langkah Patria Sudirga menuju ke ruangannya yang ada di lantai 5. Sepanjang jalan ia hanya diam dan sesekali mengangguk sambil tersenyum jika berpapasan dengan pegawai lain.

Pintu kayu berwarna coklat tua dibuka oleh Patria. "Masuk!" titahnya.

Sedikit gelagapan, Syifa menuruti perintah atasannya. Biasanya bawahan yang membukakan pintu untuk atasan, ini malah sebaliknya.

"Tolong rapikan file-file yang berserakan, taruh di lemari, susun berdasarkan pengelompokannya!" Sang GM muda menunjuk lemari file yang tak jauh dari kursi.

"Ini ruang kantor atau kapal pecah, Pak? Berantakan banget," cetus Syifa. Kalimat itu keluar begitu saja saat melihat file-file yang bertebaran di meja dan bahkan ada yang terjatuh di lantai.

"Makanya lu rapihin. Di sini panggil Aga aja nggak usah pake pak, kesannya gue tua banget. Santai aja nggak usah terlalu formal."

Kata lu dan gue yang baru saja terlontar dari bibir Aga membuat Syifa terkejut. Di ruangan ini Aga bersikap informal, berbeda sekali saat di ruang meeting tadi.

Aga membuka jasnya, lalu duduk di kursi. Ia mengambil gawai kemudian menelpon sahabatnya. Percakapan antara Aga dan sahabatnya terdengar jelas di telinga Syifa karena loud speaker yang diaktifkan. Khas anak muda, kata-kata gue, elu, dan berbagai umpatan nama binatang sering terlontar diiringi gelak tawa.

"Syifa, ambilin gue minum, dong." Aga  mengakhiri panggilan di gawainya.

Syifa yang mendengar perintah Aga segera menuju kulkas kecil yang ada di ruangan itu. Berbagai botol dan kaleng ada di dalamnya, mayoritas adalah produk luar negeri. Syifa mengambil minuman kemasan bergambar buah mangga.

"Nih," ucapnya sambil menyodorkan minuman itu.

"Jus mangga? Gue mau wine."

"Wine? Itu kan beralkohol. Ini jam kerja loh." Syifa mengingatkan.

"Gue tau ini jam kerja, minum dikit gak bakal mabok." Kilah Aga, ngotot.

"Mabok gak mabok, minuman beralkohol itu gak baik buat kesehatan. Dalam agama Islam juga diharamkan. Eh, kamu muslim bukan?" Syifa mulai berceramah. Pengetahuan Syifa tentang agama cukup luas, meskipun belum bisa menutup aurat secara sempurna tetapi ia berusaha melaksanakan ajaran agama sebisa mungkin.

"Kalo gak mau ambilin, biar gue ambil sendiri!"

Aga berjalan ke arah kulkas dan Syifa berusaha menutupi kulkas dengan tubuhnya. Tangannya ia rentangkan. "Nggak boleh!"

"Minggir, gue mau ambil wine!" Aga berusaha mendorong Syifa. Meski tubuh Syifa lebih kecil dari Aga tetapi tenaganya cukup kuat untuk tidak berpindah posisi.

Syifa mendongak, menatap lekat wajah Aga yang lebih tinggi darinya. "Lu gak boleh minum! Gak baik buat kesehatan."

"Suka-suka gue lah."

"Sayang sama diri lu sendiri. Kalo organ tubuh lu rusak gara-gara minuman, lu sendiri yang rugi."

"Badan badan gue, suka suka gue, dong."

"Tetep gak boleh!"

"Enak aja, ngelarang gue. Lu tuh cuma magang di sini."

Syifa terdiam mendengar kalimat Aga. Ya, ia hanya mahasiswa magang, untuk apa seprotektif itu pada Aga yang notabene adalah atasannya yang belum lama ia kenal. Entah bagaimana ada dorongan di hatinya untuk melindungi Aga.

Syifa menurunkan tangannya yang tadi ia rentangkan.

"Lagi ngapain kalian?" Suara bass seorang pria menginterupsi. Aga dan Syifa menoleh ke arahnya.

Posisi Syifa dan Aga yang sangat dekat berhadap hadapan membuat pria itu memicingkan mata. "Aga, ini mahasiswi yang magang kan? Jangan kamu modusin!"

Seketika itu juga Aga mundur. "Eh, Om."

Syifa teringat foto yang dikirimkan Prilly semalam. Wajahnya sama dengan pria di foto itu. Dialah sang CEO PT BAS.

"Hati-hati sama Aga, Mbak. Playboy dia. Ceweknya di mana-mana." Pria berdasi itu memperingatkan Syifa.

"Aku gak pacaran loh, Om," kilah Aga.

"Tapi tiap malam ganti pasangan," sindir sang Om yang masih menjomblo hingga kini.

"Itu kan kebutuhan, Om."  Aga terkekeh.

Aga memang sering berganti pasangan sejak SMA, tetapi tidak pernah ada yang serius. Bagi Aga para perempuan yang ia tiduri itu sebatas untuk memenuhi nafsunya, tidak lebih. Tidak boleh ada perasaan yang bermain.

Mendengar percakapan mereka berdua, Syifa bergidik ngeri. Ternyata atasannya memiliki kebiasaan buruk, sering bergonta ganti pasangan.

"Mbak, kalau kamu diapa-apain sama si Aga lapor saya, biar disunat sampai habis." Pria itu terkikik geli hingga lesung pipinya terlihat jelas dan itu sukses membuat Syifa terpana.

"Om mau apa ke sini?" Aga berusaha mengalihkan perhatian omnya. Ia tak ingin semua aibnya dibongkar di hadapan Syifa.

"Ambil file yang Om minta tadi pagi. File investor kita."

"Sudah Aga cari tadi, tapi gak ketemu."

Syifa menyela, "File yang ada tulisannya Berlian Investama?" Dari semua file yang tadi Syifa rapikan hanya satu yang memiliki judul terkait investasi, Syifa menduga file itulah yang dicari.

"Iya, itu dia."

"Ada, Pak. Biar saya ambil dulu."

Syifa segera menuju lemari file yang baru saja ia rapikan. Lalu mengambil file yang diminta. "Ini filenya."

"Terima kasih ... siapa nama kamu?"

"Syifa."

"Terima kasih, Syifa." Senyum menghias wajah sang CEO, lesung pipi itu semakin jelas terlihat oleh Syifa karena posisi mereka yang sangat dekat.  Jantung Syifa terasa jungkir balik melihat senyum manisnya.

Syifa berusaha tetap tenang. "Sama-sama, Pak."

"Aga, awas kamu jangan modusin Syifa! Om balik dulu, mau lanjut meeting dengan investor."

"Iya, Om."

***

Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 saatnya seluruh karyawan meninggalkan kantor, termasuk Syifa.  Ia duduk di pos satpam menunggu Mbak Wening datang menjemput.

Sebuah BMW berwarna silver berhenti di depan pos satpam. Syifa sangat mengenali pemilik mobil itu, Ryan.
Untuk apa dia ke sini? Apa mau menjemputku?
tanya Syifa dalam hati.

"Ayo naik, aku antar pulang!" ujarnya sambil membuka pintu mobil bagian penumpang.

Ternyata dugaan Syifa benar, Ryan datang untuk menjemput. Syifa menggelengkan kepalanya. "Aku dijemput Mbak Wening."

"Ayolah, aku antar pulang. Telpon Mbak Wening bilang kamu diantar aku pulangnya."

"Nggak, ah. Aku lebih baik nunggu Mbak Wening aja." Syifa menolak. Ia sudah janji pada ibunya untuk pulang bersama Wening. Ibunya pasti akan kesal jika ia pulang bersama Ryan. N

Ryan mendekat dan memegang pergelangan tangan Syifa. "Pulang sama aku, aku antar sampai depan rumah kamu."

Syifa menepis tangan Ryan. "Aku tetep nunggu Mbak Wening."

"Bos, kalo cewek udah nolak, jangan dipaksa." Suara Aga menginterupsi.

"Kamu siapa ikut campur urusan kami?" tanya Ryan menatap tak suka.

Aga membuka kaca mata hitamnya. Di sampingnya ada Pak Doni, security perusahaan. "Gue atasan Syifa, dan ini masih di kantor. Apa pun yang terjadi di sini juga jadi urusan gue."

"Ck."

"Sekarang lu pergi, biarin Syifa nunggu jemputannya. Kalo lo masih di sini juga, security gue bakal nyeret lu pulang."

"Ok, kali ini gue gagal jemput lo. Besok gue ke sini lagi, jangan suruh Mbak Wening untuk jemput, biar gue aja." Katanya dengan lembut pada Syifa. Ryan mengalah, daripada ribut di depan umum ia memilih untuk masuk kembali ke mobilnya dan pergi.

"Terima kasih, Pak Sudirga atas bantuannya." Syifa berkata formal karena ada orang lain di dekat mereka.

"Hati-hati dengan dia, jangan sampai terjebak," pesan Aga.

"Maksudnya?" Syifa tidak mengerti dengan kalimat atasannya karena selama ini yang ia tahu Ryan mahasiswa yang baik, tidak pernah berkasus di kampus. Belakangan ini Ryan memang mendekati dirinya dan sempat mengungkapkan rasa suka, tetapi Syifa tidak melihat niat buruk.

"Suatu saat kamu akan tahu." Kata Aga.

Aga berlalu pergi, menyisakan rasa penasaran di benak Syifa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top