Makin Akrab

"Syifa," panggil Aga. Pria yang sedang memegang map itu melihat ke arah Syifa yang serius di depan laptop.

"Syifa," panggil Aga sekali lagi.

"Iya, ada apa?" jawab Syifa tanpa menoleh pada Aga.

"Urusan ulang tahun perusahaan, gue serahin lu untuk nyiapin semua."

Terkejut dengan ucapan Aga, mata Syifa membulat sempurna. Ia menoleh pada lelaki yang usianya 1 tahun lebih muda darinya. "Loh kok saya? Saya kan masih baru, Pak. Belum banyak tau soal seluk beluk perusahaan."

"Lu bikin konsepnya terus bicarakan dengan EO, nanti kan EO yang ngelaksanain lu cuma kasi gambaran aja ke mereka. EO udah dapet?"

"Kenapa nggak Bapak aja yang konsep nanti kita undang EO nya ke sini. Terus bicarain deh."

"Kerjaan gue banyak, pokoknya lu yang konsep ya."

"Lah nanti saya juga yang tanggung jawab. Gak mau, Pak."

"Soal tanggung jawab itu urusan gue. Lu siapin aja yang terbaik, gue yakin lu bisa daripada si Reni Reni itu. Di CV lu aktif di organisasi kampus, pasti punya pengalaman bikin acara."

Syifa mendengkus, ingin ia mengelak dari tugas ini tapi sepertinya tidak mungkin. Si bos muda ini kalau sudah memerintah pantang untuk ditolak.

"Satu lagi, ngapain sih lu masih manggil gue bapak di sini. Kan gue bilang kalo kita cuma berdua gak usah terlalu formal lah."

"Iya."

"Iya apa?"

"Iya gak manggil bapak lagi... tapi om." Syifa terkekeh sendiri.

Puk!
Pena yang dilempar Aga mengenai kepala Syifa.

"Kekerasan terhadap karyawan, pelanggaran undang-undang perlindungan tenaga kerja tuh, bisa dituntut." Syifa berlagak seperti seorang pengacara.

Aga menaruh berkas yang tadi dibacanya lalu berdiri di depan mejanya. "Silakan lakukan visum dan ajukan tuntutan, saya tidak takut!" Aga menjawab candaan Syifa dengan muka yang ia buat seserius mungkin.

Syifa berdiri dan mendekati Aga. "Baiklah, Tuan Patria Sudirga yang terhormat, kita selesaikan semuanya di pengadilan!" Syifa berujar tak kalah garang berpura-pura menatap tajam pada Aga.

Aga tak kuasa menahan tawanya, ia tergelak melihat Syifa yang pura-pura garang, tetapi ekspresi wajah Syifa tidak berubah. Tiba-tiba Aga mencubit pipi Syifa.

"Aga!" Syifa terpekik kaget dengan tindakan Aga yang tak disangkanya itu.

"Lu lucu kalo garang gitu."

Kok gue biasa aja ya?
Syifa meraba hatinya, lelaki di hadapannya yang demikian tampan tidak membuat hatinya berdesir. Padahal menurut penuturan teman-temannya yang Aga lakukan sangat mungkin membuat seorang perempuan suka. Namun yang ia rasakan justru kesal dan ingin memukul kepala bosnya itu.

"Ehem, permisi. Maaf ganggu kemesraan kalian." Suara perempuan menginterupsi.

Aga menoleh ke asal suara. "Masuk ruangan biasakan ketuk pintu dulu, tidak sopan!" tegur Aga.

"Saya sudah mengetuk, tapi Pak GM dan asisten lagi asyik jadi gak kedengeran," sindir perempuan yang kini berdiri tak jauh dari Aga dan Syifa.

"Seharusnya kamu menunggu, bukan masuk begitu saja. Ini ruangan saya, atasan kamu!" Pedas Aga berucap pada perempuan yang memakai rok selutut dan kemeja yang dua kancing teratasnya dibuka. Sebagai cucu pemilik perusahaan tentu saja Aga punya kedudukan yang lebih tinggi.

"Ada perlu apa, Bu?" Syifa menyela. Ia khawatir akan terjadi keributan jika perdebatan mereka diteruskan.

"Ibu? Saya masih muda belum jadi ibu-ibu!" protes si perempuan yang usianya sekitar usia Ghaishan. Ia beralih melihat ke arah Aga. "Saya ke sini untuk menyerahkan ini, berkas-berkas persiapan acara ulang tahun perusahaan."

"Serahkan pada Syifa, dia yang akan meneruskan pekerjaan kamu yang nggak ada progresnya itu."

Bibir Reni mencebik, dengan terpaksa ia sorongkan map yang ia bawa ke arah Syifa.

"Sekarang kamu boleh pergi, Bu Reni." Aga meledek saat mengatakan kata 'Bu Reni'.

Menghentakkan kaki dengan kasar Reni keluar dari ruangan itu.

***
Syifa duduk di ruangan meeting bersama Aga, perwakilan EO, Ghaishan, Reni, dan beberapa orang lainnya. Ia menjelaskan konsep perayaan ulang tahun perusahaan yang mengusung konsep Pesta Rakyat.

Reni mengangkat tangan, tanda ingin melakukan interupsi. "Pesta rakyat? Duh yang bener aja. Kita ini perusahaan besar, kolega kita itu dari pejabat sampai petinggi perusahaan lain masa mau dicampur acaranya dengan seluruh staf dan anak yatim? Gak berkelas banget. Tiap tahun kita ngadain acara gala diner, bukan acara rendahan kayak gini!"

Mendengar penuturan Reni yang begitu menggebu-gebu dan terkesan menghina, darah Syifa berasa naik ke kepala. Ia berusaha menenangkan diri.

"Gak ada salahnya sekali sekali kita mengusung konsep yang berbeda, kalau tiap tahun sama terus, membosankan! Apalagi konsep Bu Reni kemarin yang hanya gala diner dan party," bela Aga. Dia tak rela jika konsep yang telah dipikirkan masak-masak itu direndahkan oleh salah satu direktur.

"Acara begini bakal bikin malu perusahaan, gak berkelas, norak!" hina Reni.

"Saya rasa patut kita coba konsep ini. Ini bukan tidak berkelas justru akan menaikkan pamor kita di mata masyarakat apalagi para yutuber dan selebgram juga akan diundang. Mereka akan membantu kita lebih dikenal oleh masyarakat." Ghaishan bicara, Reni pun terdiam.

"Bu Reni yang terhormat, konsep ini sudah dipikirkan masak-masak oleh kami dan EO, dan juga melihat trend saat ini dimana hal-hal yang berbau kerakyatan lebih populer dibanding kemewahan semata. Kepedulian perusahaan pada kondisi masyarakat juga menjadi lebih terlihat lewat santunan anak yatim dan donor darah. Lagi pula berbuat baik kepada sesama umat manusia adalah hal yang mulia dan diperintahkan dalam tiap agama. Tidak ada salahnya kita saling berbagi." Syifa menerangkan sambil menahan emosinya. Ada banyak sebenarnya yang ingin ia lontarkan, tetapi emosinya sedang naik sebagian kata-kata hanya ada di kepala dan tidak keluar dari mulutnya.

"Ini perusahaan bukan lembaga sosial!" Reni keras kepala.

"Perusahaan juga punya tanggung jawab sosial, ingat itu!" pungkas Ghaishan.

Setelah itu meeting berlanjut tanpa interupsi lagi dari Reni. Semua konsep sudah matang dan meeting pun selesai.

Syifa bangkit merapikan peralatannya lalu berdiri. Aga sudah pergi lebih dulu, sejak tadi ia memang kelihatan gelisah dan sering melihat gawainya.

"Shan, kita makan dulu yuk! Aku lapar." Reni mendekati Ghaishan yang sudah bersiap untuk keluar ruangan.

"Maaf, saya sudah ada janji, " tolak Ghaishan.

"Ayolah, Shan. Sudah lama kita nggak makan bareng." Reni menarik lengan Ghaishan, suaranya pun terdengar manja.

Ghaishan melihat Syifa yang melangkahkan kaki keluar ruangan. "Syifa, tunggu!" Ia kemudian menoleh ke arah Reni. "Sorry, Ren. Aga ajak aku makan bareng Syifa juga. Aga udah jalan duluan ke resto nya."

Syifa yang mendengar ucapan Ghaishan menjadi bingung, sejak kapan ia diajak makan oleh kedua bosnya itu.

"Kok malah bengong? Ayo, Aga udah nunggu!" Ghaishan menepuk bahu Syifa.

Tergagap sendiri, Syifa mengikuti arah langkah Ghaishan.

***

"Kita mau ke mana, Pak?" tanya Syifa begitu sampai di parkiran.

Ghaishan membuka pintu penumpang Audi R8 miliknya. "Makan."

"Tapi ke mana, Pak? Ketemu Aga? Di resto mana? Dari tadi saya coba hubungi ponselnya tapi tidak ada jawaban. Saya nggak tau dia di mana."

"Paling dia di apartemennya. Gak jauh dari sini. Masuk!" Ghaishan memerintahkan Syifa untuk masuk di bagian penumpang.

Syifa mengikuti saja apa kata bosnya. Menolak pun percuma. Ia duduk di samping Ghaisan yang serius mengendarai mobil. Syifa sesekali memperhatikan pria berusia tiga puluhan itu, rahang dan dagunya yang ditumbuhi bulu bulu halus membuatnya terlihat dewasa dan sejuk, seperti ubin masjid kalau kata Prilly sahabatnya.

Ghaisan menoleh ke arah Syifa. "Ada apa ngeliatin saya terus?"

Syifa menelan ludahnya, gugup menyerang karena tertangkap memperhatikan bosnya. "Oo, nggak itu. Bapak mirip artis ... eh, ustadz. Tapi ... saya lupa siapa, he.... "

"Oh." Ghaisan tersenyum tipis mendengar jawaban Syifa.

Syifa lega Ghaisan tidak bertanya lagi dan fokus menyetir. Ia memutuskan untuk melihat ke arah jalanan saja daripada kepergok lagi. Mobil berjalan dengan lambat di tengah keramaian. Lalu masuk ke dalam area apartemen yang dibawahnya ada supermarket.

"Turun! Kita belanja sebentar, baru ke tempatnya Aga."

"Iya, Pak Ghai." Syifa berpikir mungkin Ghaishan akan membeli makanan untuk disantap di apartemen Aga. Jadi ia iyakan saja ajakan bosnya untuk belanja.

"Apa kamu bilang tadi?"

"Yang mana Pak Ghai?"

"Itu barusan. Saya gak suka dipanggil Pak Ghai! Kamu pikir saya cowok melambai?! Enak aja!"

"Terus panggil apa dong, Pak?"

"Shan."

"Pak Shan?" Syifa memastikan.

Ghaishan mengangguk.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top