Epilog
Akhirnya hari bahagia itu tiba, di hotel mewah dengan acara gemerlap, hidangan tumpah ruah dan tamu yang mengular serta acara yang berjalan dengan lancar, penuh haru saat akad dan penuh keakraban saat pesta pernikahan. Bagi Jaka dan Kara ini adalah pernikahan kedua hanya rasa pada kedua mempelai ini berbeda, Jaka dengan wajah bahagia yang tak dapat disembunyikan sementara Kara yang canggung karena merasa sungkan ia merasa dirinya baru saja bercerai namun sudah menikah lagi. Terlihat beberapa kali Jaka menggenggam tangan Kara berusaha menenangkan istrinya. Sementara Sarita dan Mariana lebih banyak duduk karena kesehatan keduanya yang tak memungkinkan menerima tamu dalam keadaan berdiri hingga tak lama keduanya bahkan pulang lebih dulu diantar oleh kerabat mereka, hingga akhirnya seluruh rangkaian acara selesai dan keduanya terlihat masuk ke kamar masing-masing di hotel itu, Jaka yang langsung memasuki kamar yang akan digunakan oleh keduanya sebagai hadiah pernikahan dari teman Jaka pemilik hotel yang mereka tempati untuk acara pernikahan dan Kara yang masih dibantu oleh perias untuk melepaskan seluruh pernak-pernik yang ia gunakan karena menggunakan riasan pengantin khas Jawa.
.
.
.
Klek! Kara hati-hati membuka pintu kamar dan ia terpaku saat melihat laki-laki yang kini jadi suaminya duduk di kasur membelakanginya dengan hanya menggunakan bathrobe. Seketika Kara menjadi canggung. Lebih-lebih saat Jaka menoleh dan tersenyum padanya.
"Mandilah, agar lebih segar."
Kara hanya mengangguk dan melewati Jaka tanpa berkata-kata. Di dalam kamar ia memegang dadanya yang tak henti berdetak.
"Kenapa aku jadi gugup gini?, Kayak perawan aja wong sudah pernah gituan hanya badan tuh orang gede banget duh, udah ah aku mau mandi aja."
Hingga lewat setengah jam dan pintu diketuk.
"Sayaaang, kamu nggak papa kan?"
"Nggak papa, ini udah kok!"
Tak lama Kara ke luar dari kamar mandi berjalan pelan dan lagi-lagi ia tertegun melihat Jaka yang tetap menggunakan bathrobenya membelakanginya lagi hanya kali ini asik dengan ponselnya sambil tersenyum sendiri.
"Ngapain liatin aku dari situ."
Kara kaget dan Jaka meletakkan ponselnya di meja yang ada di kamar itu, suite room yang luas dan nyaman. Ia melangkah pelan ke arah Kara dan memeluk wanita yang kini sah menjadi istrinya. Kara hanya bisa diam dan perlahan meski ragu ia pun memeluk Jaka.
"Kamu kayak takut, kenapa sih? Ini bukan yang pertama bagi kita jadi kita nggak akan canggung lagi jadi ..."
"Tetap aja malu, kan dulu aku jarang kayak gituan, kamu yang sering bikin aku sibuk di kantor, sampe rumah aku lelah, dan dia juga sibuk kadang datang lebih malam dari aku lembur terus jadi ya sebulan sekali aja untung gituan."
Jaka melepas pelukannya dan menatap Kara tak percaya, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu perlahan mengusap pipi Kara.
"Kasihan kamu Sayang, dibohongi beneran, dia jadi apa sampe selalu lembur sampe malam, ya jelas lembur sama sahabat kamu itu yang kini sama-sama jadi tersangka."
Wajah Kara terlihat kaget.
"Dia juga jadi tersangka?"
"Mantan kamu itu bodoh, otaknya ya sahabat kamu itu! Lalu semalaman kita mau bahas mantan kamu?"
"Kan kamu yang ngomongin dia duluan, lah kamu bilangnya hanya gituan tiap bulan itu pun kalo ingat beneran aneh, kalo sama aku kamu siap-siap kapan saja dan di mana saja."
"Hah!? Iiiih."
Dan Jaka terkekeh lalu memeluk erat Kara, menciumi kening dan pipi Kara berulang hingga akhirnya Jaka berhenti, menatap Kara yang lagi-lagi terlihat malu-malu.
"Aku nggak bisa janji macam-macam Kara, semoga bisa membahagiakan kamu lahir dan batin itu aja, karena harta yang banyak kadang nggak jaminan bikin kita bahagia."
Kara hanya mengangguk, ia semakin bingung saat Jaka mendekatkan wajahnya dan meraup bibirnya dengan pelan, Kara hanya diam saja awalnya namun saat ciuman Jaka semakin dalam ia pun membalasnya meski masih malu-malu.
Dan ... suara ponsel Kara berbunyi berulang. Jaka dan Kara saling melepas ciuman, tersenyum dengan wajah sama-sama memerah dan balas yang sama-sama memburu.
"Jawablah dulu, aku khawatir ibumu yang menelepon."
Kara hanya mengangguk sedang Jaka melangkah ke kasur dan merebahkan diri di sana.
Kara mengambil ponsel dari dalam tasnya dan melihat nama saudara sepupunya. Ia dekatkan benda pipih itu ke telinganya.
"Iya Indri, ada apa?"
....
"Hah? Lalu? Lalu ibu di mana sekarang?"
....
"Iya, iya aku ke sana."
Kara berbalik dan menemukan Jaka sudah berada di depannya dengan wajah khawatir.
"Ada apa? Kenapa kamu nangis?" Jaka menyentuh pipi Kara.
"Ibu, Mas." Kara terisak
"Ibu kenapa!?" Jaka jadi panik
"Ibu terjatuh di kamar mandi, tadi sepupu aku yang nelepon."
"Lalu?"
"Masih di rumah, tapi ibu diam saja katanya, lemes dan nggak gerak-gerak lagi."
"Ya Allah, ayo kita ke sana, kita bawa ke rumah sakit."
.
.
.
Kara masih saja diam memandangi gundukan tanah merah yang masih basah, rasanya tak percaya dalam waktu bersamaan ia mengalami dua hal besar dalam hidupnya. Dirinya yang memulai hidup baru dan ibunya yang meninggal tak lama kemudian.
"Ayo Sayang, kita pulang, besok kita ke sini lagi, aku antar kamu."
Jaka mengangkat bahu Kara yang bangkit perlahan dengan gerakan pelan. Lalu merebahkan kepalanya di bahu Jaka.
"Aku tahu kamu sedih, tapi kalo kamu nggak ikhlas, kasihan ibu, ibu pasti bahagia lihat kita berdua kayak gini."
Kara hanya mengangguk, lalu mengikuti langkah Jaka yang perlahan membawanya menuju mobil.
.
.
.
"Gimana Kara, Jaka?" Sarita bertanya karena telah memasuki hari ketiga sejak ibunya meninggal namun Kara masih tak ingin makan apa-apa jika tidak dipaksa atau disuapi oleh Jaka.
"Nggak papa Ma, hal wajar aku pikir karena ini betul-betul mengejutkan."
"Mama ingin menemui Kara, boleh kan?"
"Silakan Ma."
Sarita berjalan pelan menuju kamar Jaka, Jaka mengikuti di belakangnya, ia membuka pintu kamar Jaka dan Kara dan melihat Kara yang terbaring, terlihat lemah dan memejamkan mata. Sarita duduk di kursi yang ada di kamar itu, setelah oleh Jaka didekatkan ke arah kasur. Jaka duduk di dekat Kara berbaring dan mata Kara perlahan terbuka, kaget karena ada ibu mertuanya lalu berusaha duduk. Jaka membantunya.
"Gak papa sandaran sama aku."
Kara menggeleng pelan dan berusaha duduk dengan tegak meski akhirnya Jaka menariknya untuk bersandar pada Jaka.
"Maafkan saya Bu, jika saya ..."
"Nggak papa, aku mengerti kesedihanmu, ini terlalu mengejutkan hanya ingat jaga kesehatanmu, jangan malah kamu sakit, memang secara logika sakit ibumu tak seberapa, malah lebih parah aku, tapi kita tak pernah tahu janji kita pada sang pencipta, kita hanya bisa pasrah Kara, bersedih berlebihan pun tak akan membuat keadaan menjadi lebih baik, jadi jaga makanmu, tidurmu dan satu hal lagi, ingat bahwa Jaka sudah jadi suamimu, ia butuh perhatian juga dari kamu, aku bukannya egois tak mengerti kesedihanmu hanya Jaka juga ingin kamu sayang, setelah sekian lama ia sendiri, dan aku yakin kalian belum sempat apa-apa kan? Karena kejadian ini tak lama setelah pesta pernikahan kalian."
"Bisa kapan-kapan itu Ma, yang penting Kara sehat dulu, perlu tubuh yang sehat kalau mau ngapa-ngapain sama aku."
Sarita menahan senyumnya, ia tahu Jaka sebenarnya sangat ingin, ia lihat dari tatapan anaknya pada istrinya yang malam itu hanya menggunakan baju tidur tanpa lengan dan dari tadi ia lihat Jaka terus mengusap lengan Kara.
"Saya minta maaf Bu, belum bisa jadi istri yang baik bagi Mas Jaka, betul kata Ibu jika ini terlalu mengejutkan bagi saya, saya tak pernah mengira ibu saya akan meninggalkan saya secepat ini, memang sebelum jatuh kata saudara sepupu, ibu sempat mengeluh pusing, akan diantar ke kamar mandi tapi tidak mau ternyata ya itu tadi, mungkin tekanan darah ibu sedang tinggi dan terjatuh di kamar mandi, benturan di kepala juga yang memperparah kondisi ibu hingga akhirnya meninggal, saya akan berusaha ikhlas, dan menjalankan kehidupan saya secara normal lagi, saya hanya menyesali saya tidak ada di sisi ibu saat beliau di saat-saat terakhir."
Jaka merengkuh bahu Kara, mengusapnya berulang saat mendengar Kata mulai terisak.
"Kami mengerti Kara, tapi sekali lagi jangan sampai kamu sakit itu saja, udah ya mama tinggal dulu, mau istirahat karena ini sudah malam."
.
.
.
Kara merasakan pelukan Jaka di pinggangnya, ia berbalik dan menemukan mata Jaka yang terus menatapnya.
"Mas pingin ya?"
Jaka tersenyum lebar lalu mengangguk.
"Pingin tapi nggak sekarang, nggak asik nantinya, kamu belum sehat, bisa-bisa kamu pingsan."
Kara mengerutkan keningnya.
"Masa sampe gitu kan paling hanya bentar, lima, sepuluh menit sudah."
Dan Jaka terkekeh agak keras.
"Aki-aki apa gimana itu cuman lima menit, apa dulu mantan kamu kayak gitu? Kasihan amat kamu Sayang, udah jarang, begitu kayak gituan cuman lima menit." Lagi-lagi Jaka tertawa. Kara menatap Kara dengan tatapan ngeri.
"Emang Mas lama kalo gituan?"
Jaka merapatkan pelukannya hingga wajah Kara berada tepat di hadapannya.
"Aku nggak akan banyak bicara, sehatkan dulu badan kamu."
"Duh kok jadi ngeri." Samar-samar Kara mulai tersenyum.
Jaka tersenyum bahagia saat melihat Kara yang kembali bisa tersenyum.
"Nggak akan ngeri, lihat aja nanti."
"Besok aja."
"Jangan."
"Lalu kapan?"
"Nunggu kamu sehat."
"Aku sudah sehat."
"Belum!"
"Dih gituan aja pake acara harus sehat."
"Kamu kuat berjam-jam?"
"Hah!? Bisa mati aku!"
"Nggak akanlah, paling pingsan!"
🤣🤣🤣🤣
Terima kasih sudah mengikuti kisah janda dan duda oleng, tamat versi wp ya extrapart nanti in shaa Allah ada sepuluh bab di ebook dan cetak. Sampai bertemu di kisah yang lain 🙏🙏🙏🙏
8 Desember 2022 (04.41)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top