9


Kara dan Jaka baru saja sampai di hotel tempat tujuan mereka di Bali dan Kara terkejut melihat Jaka tiba-tiba saja ada di belakangnya.

"Duh! Bapak masuk dari mana? Kaget saya!" Kara setengah berteriak dan segera berdiri dari tempat dia duduk di kasur. Dua tangannya saling menggenggam dengan wajah kaget dan menatap Jaka dengan wajah kesal.

"Ck, gitu aja histeris kamu! Ini kan ada pintu penghubung, aku yang minta kamar kayak gini pada perusahaan yang ngundang kita, nggak usah takut, aku bukan tipe laki-laki predator, aku hanya ingin memastikan kamar kamu bagus dan nyaman, ya udah aku kembali ke kamarku."

Jaka berbalik hendak menuju kamarnya lagi.

"Pak!"

"Apaaa!" Jaka melihat wajah Kara penuh kecemasan.

"Bapak jangan masuk lagi ya ke sini lewat pintu itu, saya jadi takut soalnya saya kalo tidur suka nggak pake ..."

Jaka terlihat kesal, ia berbalik menatap mata Kara.

"Heh! Meski aku normal dan masih punya nafsu tapi nggak akan masuk sembarangan, aku masuk ke sini karena tahu kamu baru masuk juga ke kamar ini, lagian siapa juga yang pingin ngapa-ngapain kamu? Aku ini laki-laki yang tahu menghargai wanita, mamaku wanita, adikku juga wanita!"

Dan Jaka melangkah lebar menuju pintu penghubung.

"Paaak!" Suara Kara terdengar memohon.

"Apa lagiii!" Jaka berhenti tapi tak menoleh.

"Maaf, saya ..."

Jaka sudah hilang dari pandangan mata Kara.

.
.
.

Jaka dan Kara juga ada beberapa pengusaha berada di salah satu ruang pertemuan yang ada di hotel yang ditempati mereka, tidak banyak hanya ada sekitar belasan orang dalam ruangan itu, memperhatikan dengan cermat apa yang dijelaskan oleh manajer pemasaran resor itu didampingi oleh sang empunya resor. Terlihat beberapa view yang menarik di resor yang sangat luas itu, ada hotel dengan bermacam tarif, kolam renang, lapangan golf, pusat kuliner, mall yang nyaman, tempat bersantai dengan keluarga yang semuanya tak jauh dari pantai, Jaka mengangguk-angguk dan ia terlihat tertarik pada paparan yang ada di depannya. Dan saat pemaparan selesai Jaka masih saja menatap layar, lagi-lagi mengangguk-angguk.

Kara menoleh saat melihat Jaka mengangguk.

"Bagus ya Pak, keren."

"Yah bagus banget, kalo ke sini sama anak dan istri semakin lengkap rasanya."

Tiba-tiba suara Jaka terdengar sedih, matanya masih menatap ke arah layar.

"Ya cepat nikah dong Pak."

"Maunya gitu."

"Wah ada kemajuan Bapak mau nikah lagi beberapa kali dulu kan Bapak selalu bilang nggak mau nikah lagi karena teringat almarhum Bu Dinda,  lebih baik memang gitu ada yang mendampingi Bapak, ada yang memperhatikan Bapak, melayani Bapak di rumah."

Jaka menoleh pada Kara, lagi-lagi bibir itu menggodanya, Jaka segera mengalihkan pandangannya.

"Sejak kapan kamu jadi penasihat pernikahan? Udah ayo kita nikmati kopi atau apalah itu Kara, ambilkan  aku secangkir kopi."

"Hmm dikasi tahu kok biar hidup Bapak tenang."

"Ambilkan kopi Kara!"

"Siap Pak!"

.
.
.

"Pak ini acara kita ke mana lagi? Saya sudah ngantuk Pak, lelah juga."

Jaka mengernyit keningnya, ia memang melihat wajah lelah Kara tapi ia tak peduli.

"Kamu sedang kerja ngerti! Bukan healing!"

"Iya saya tahu tapi setelah ini kan hanya muter-muter saja pakai club car, kalau Bapak tertarik karena view bagus dan bisnis ini menjanjikan kan Bapak tinggal mengiyakan saja sama yang punya resor, baru deh saya dampingi Bapak lagi untuk membuat kesepakatan kerja sama dan lain-lain."

"Nggak mau tahu pokoknya kamu ikut, titik!"

Kara menatap Jaka dari samping saat laki-laki itu asik melihat view yang menarik, sesekali tersenyum dan sepertinya Jaka akan menanamkan modalnya di tempat itu. Club  car yang dikemudian karyawan resor melaju dengan pelan.

"Nggak usah lihat aku kayak gitu, aku tahu kalo aku tampan, kamu bisa jatuh cinta beneran kalo lihat aku terlalu lama."

Dan Kara jadi terbatuk-batuk.

"Nggak usah lebai Kara, siapapun yang melihat aku pasti semua mengakui itu, bukannya aku sombong tapi memang kenyataannya kayak gitu."

"Pak nggak usah dilanjutkan aja saya makin pusing dengar Bapak ngomong terus! Mending kita balik ke kamar, karena nanti malam kan tinggal Bapak menentukan Bapak jadi atau tidaknya menanam modal di tempat ini, beneran saya butuh istirahat."

"Merem aja kamu, aku masih ingin lanjut sampai ke lapangan golfnya."

"Paaak!" Wajah Kara memelas.

"Tidur aja di bahuku."

Kara kaget, ia dekatkan wajahnya pada Jaka.

"Bapak baik-baik saja kan? Perasaan tadi tidak salah makan!"

"Aku hanya bercanda, bahuku hanya untuk wanita yang menjadi istriku."

"Ya cari Pak."

"Ini masih pendekatan."

"Wah boleh saya tahu?"

"Bukan urusan kamu!"

.
.
.

Ponsel Kara berbunyi berkali-kali.

"Ck kok pas di kamar mandi, siapa sih? Pasti bos galon."

Kara bangkit dari bathup sejenak dan meraih ponselnya.

"Lama amat!"

Suara Jaka terdengar keras.

"Mau apa Bapak nelepon saya?"

"Cepat bersiap-siap, ada jamuan makan malam, pake baju yang pantas."

"Iya iya Paaak."

"Ini kamu lagi apa?"

"Eemmm ... mandi Pak."

"Astaga."

Dan suara Jaka menghilang. Kara terkekeh lalu melanjutkan ritual mandinya.

.
.
.

"Kamu mandi apa tertidur di kamar mandi? Lama amat."

Jaka menggerutu setelah mereka sampai di ruangan yang telah ditentukan oleh perusahaan yang mengundang mereka.

"Mandi ya lama Pak, kalo sebentar pipis namanya, pipis saja kadang ada yang lama, udah deh Pak ini acara sudah dimulai, itu Pak Pramono sudah membuka acara."

"Ck lancang kamu nyuru aku brenti bicara."

Suara Jaka terdengar lirih dan bersamaan dengan itu duduk seorang laki-laki bersama seorang wanita, terlihat bersalaman dengan Jaka dan Kara, lalu terlibat pembicaraan serius dengan Jaka.

.
.
.

"Tadi itu kan Pak Alex Pak?"

Terdengar suara Kara saat mereka melangkah bersama menuju kamar masing-masing begitu acara selesai.

"Yah, bos mantan kamu, tadi aku nggak serta merta membuka kecurangan apa saja yang telah dilakukan mantan kamu, aku yakin Pak Alex lebih percaya pada mantan kamu karena dia orang kepercayaannya. Jadi ya pelan-pelan saja aku buka satu per satu, kapan-kapan lagi, jadi nggak sekaligus, kasihan juga dia, dia orang ulet dan rajin masa iya dikadalin orang-orangnya sendiri."

"Saya beneran tidak percaya Pak, sekali lagi, saya yakin mantan saya orang baik yang salah jalan."

"Dia punya otak, harusnya dia mikir gimana caranya biar nggak salah jalan, jadi sesat kan dia akhirnya, kamu kayak masih cinta? Ngapain? Jangan jadi orang bodoh!"

Tiba-tiba saja langkah Kara terhenti dan Jaka ikut berhenti.

"Ayo jalan, ngambek? Karena aku ngatain kamu bodoh? Kan emang bodoh kamu, udah dibohongin masih saja bilang baiiik, baiiiik, heh, bodoh kok dipiara!"

Kara meninggalkan Jaka dengan langkah lebar, Jaka hanya geleng-geleng kepala, ia mengikuti langkah Kara dari belakang.

"Karaaa! Kembaliii!"

Kara terus saja melangkah karena kesal dan marah pada Jaka yang ia anggap tidak peka, dirinya masih perlu penyesuaian dengan perasannya pada mantan suaminya.

Agak lama Jaka menunggu di depan pintu kamar Kara saat wanita itu muncul dengan wajah kesal dan lelah.

"Bapak sengaja ya membiarkan saya kesasar!"

"Loh kan aku sudah manggil kamu, kamu aja yang terus jalan! Kamu yang salah kok malah balik nyalahkan aku."

"Ya Bapak nggak bilang kalo saya salah jalan."

"Ck kan aku nyuruh kamu kembali!"

"Iyaaa tapi ..."

Dan jari telunjuk Jaka menutup bibir Kara.

"Kalo ada apa-apa pake otak kamu, jangan terbawa emosi apa lagi mulut yang terus terbuka, bahaya, ngerti!"

Kara memegang pergelangan lengan Jaka, memindahkan jari telunjuk Jaka dari bibirnya.

"Perasaan Bapak makin ke sini makin sering nyentuh saya, apa Bapak mulai suka sama saya?"

💗💗💗

28 November 2022 (06.54)







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top