8
"Kamu kenapa sih? Jadi nggak konsen, selalu saja cepat selesai dan tidak bisa berlama-lama seperti biasanya? Aku tahu kamu sakit hati dan seolah tertampar melihat mantanmu yang sok lugu ternyata begitu bercerai sudah lengket kayak ada lemnya sama bosnya, pandai banget dia ngebohongin kita ternyata, udah sanaaa ah! Berat kamu!"
Cindy mendorong tubuh Hendra dari atas tubuhnya dan ia bangkit, duduk bersandar pada kepala ranjang, tubuhnya masih belum menggunakan apapun, ia raih sebatang rokok, menyelipkan diantara bibirnya dan menyulutnya dengan korek api yang berjejer tak jauh dengan bungkus rokok, ia menghisapnya dalam-dalam lalu menyemburkan asap rokoknya hingga berbentuk bulatan. Terdengar kekeh Cindy saat melihat Hendra yang masih terlentang, wajah murung dan tubuh yang sama dengan dirinya, sama-sama masih telanjang.
"Cerdas juga dia ya? Dapatnya tangkapan besar, kita loh masih sama-sama kere." Hendra menoleh pada Cindy dan tak suka Cindy menjelek-jelekkan Kara.
"Nggak usah menjelek-jelekkan dia, kita sudah terlalu lama membohongi dia, main belakang sejak awal aku pacaran sama dia, dia terlalu lugu hingga bertahun-tahun dia nggak sadar sudah kita kadalin, menghabiskan uang dia juga, jadi jika dia mendapatkan yang terbaik itu sudah sepantasnya karena dia pekerja keras, dia layak bahagia, nggak kayak kita yang hobi nyolong karena ingin hidup mewah."
Cindy melirik dengan tatapan tajam, ia tak suka Hendra membela Kara.
"Oh jadi kami nyesel sudah nyerein dia? Ingin balik sama dia! Ingat kamu sudah menikmati tubuhku bertahun-tahun tanpa bayaran, layak kan jika aku minta hidup mewah dari kamu sekarang?"
"Aku nggak nyalahkan kamu, aku yang tergoda saat kamu tiba-tiba melepas baju di depanku, di kontrakanmu saat kamu beralasan sakit dan minta antar aku untuk pulang, Kara yang baik segera menyuruh aku mengantarmu pulang, aku laki-laki normal Cindy, tak akan menolak jika disuguhi tubuh polos tanpa baju, lagi pula saat itu kamu sudah tidak perawan lagi, dan bodohnya aku menikmatinya berulang hingga aku menikah dan bahkan hingga saat ini, lalu apa yang aku dapatkan? Hidup juga nggak kaya-kaya amat, tenang juga tidak karena selalu takut ketahuan mencuri uang perusahaan, kadang aku nyesel sudah menuruti hawa napsu, napsu untuk selalu mengejar harta dan napsu yang selalu aku turuti sejak aku kenal kamu."
"Sok suci kamu, kamu juga menikmati tiap kali kita bersama, kamu juga nyaman hidup dengan uang yang kita dapat dengan cara seperti ini."
"Aku terlanjur tercebur, tak ada waktu untuk mundur lagi aku hanya sakit hati dan rasanya tidak rela saat tangan Kara memeluk lengan bosnya dan tadi malam aku lihat bosnya memeluk bahu Kara saat mereka menuju tempat parkir mobil."
"Dan kayaknya laki-laki dingin itu nggak bisa aku goda, baju sudah berkerah rendah, dan rok pendek banget eh dia lihat aku kayak jijik aja, brengsek, nggak tahu dia kayak apa aku di ranjang bisa muasin di sampe ke langit ke tujuh."
"Cobalah kalo kamu bisa, kali aja dia bisa menjauh dari Kara."
"Dua kali ketemu, dan dua kali juga dia menatap jijik sama aku, setan! Emang dia siapa? Bos banyak uang kayak gitu paling juga biasa tidur sama wanita-wanita nggak jelas."
.
.
.
"Pak." Kara tiba-tiba masuk ke ruang kerja Jaka, Jaka mengangkat wajahnya dari dokumen yang sedang ia pelajari. Ia melihat wajah tak nyaman Kara.
"Ada apa? Duduk, jangan ngomong sambil berdiri, ada masalah penting?"
Kara melangkah pelan, Jaka terus menatap Kara dan ingatannya kembali pada mimpi erotis yang membuatnya harus mandi jam satu dini hari. Jaka memejamkan mata dengan geraham yang ia katupkan dengan keras lalu mengembuskan napas dengan berat.
"Bapak sakit?"
Dan Jaka membuka mata karena kaget dengan saapan Kara yang ternyata telah duduk di seberang mejanya. Berusaha menghindari tatapan matanya dari bibir Kara, meski hanya bermimpi tapi seolah nyata bagi Jaka.
"Pak!"
"Iyaa! Ngomong aja!"
"Bapak kayak orang sakit sih, pake acara merem dan mengembuskan napas berat, Bapak baik-baik saja kan?"
"Kayaknya nggak."
"Sakit kan?"
"Yah bagian yang lain yang sakit, ok ada perlu apa?"
"Maaf Pak, kayaknya saya tidak bisa ikut Bapak ke Bali."
Wajah Jaka menegang.
"Ini pertemuan bisnis, akan ada deal-deal yang hanya kamu bisa dengan cepat bikin dokumennya, kalo cocok pada resor itu, aku akan menanamkan modalku di sana Kara, jangan Sheila, aku khawatir semua jadi kacau, dia mudah gugup, maklum aja bocil."
"Tapi kalau tidak dibiasakan ya terus gitu Pak."
"Ya biar kapan-kapan aja kamu ajarin pas sedang menghadapi deal yang nggak harus butuh mikir cepat, ada apa kamu sampe nggak bisa ikut?"
Sejenak Kara diam, ia menggigit bibirnya karena agak takut menyampaikannya pada Jaka, ia sebenarnya tak ada alasan hanya khawatir di Bali akan bertemu Hendra dan Cindy lagi.
Jaka memejamkan mata lagi, ia takut nanti malam bermimpi Kara lagi jika dia berlama-lama menatap bibir Kara.
"Pak! Bapak tidur?"
Jaka membuka matanya, ia terlihat kesal.
"Kamu lama amat cari alasan! Atau jangan-jangan kamu mau bohongi aku, nggak mau tahu pokoknya kamu harus ikut! Ini perintah!" Suara Jaka terdengar keras.
"Ibu saya Pak." Suara Kara lirih terdengar.
"Ibu kamu sakit lagi?" Suara Jaka kembali lebih rendah.
"Tidak saya hanya kepikiran, takut ada apa-apa saat saya berangkat ke Bali."
"Ini hanya tiga hari Kara, ok kalau kamu kepikiran aku akan nyuruh Sheila biar memani ibu kamu selama kamu ikut aku dan aku akan pamit secara langsung pada ibumu."
"Nggak usah Pak, kalo gitu saya akan minta tolong sepupu saya agar jaga ibu."
"Karaaa, Kara, kamu ini cari-cari alasan, apa sih yang bikin kamu nggak mau berangkat sebenarnya?"
Kara diam saja, dia menunduk dan matanya mulai berkaca-kaca.
"Kara!"
Kara mengangkat wajahnya menatap Jaka lagi.
"Saya ... tidak ingin bertemu mereka lagi Pak."
"Ya Tuhaaan, kamu bodoh banget, kamu tahu? Waktu terakhir aku ketemu mantanmu, dia lihaaat kamu terus makanya aku sengaja memegang bahu kamu saat kita berjalan ke arah mobilku, aku yakin dia nyesel pisah dari kamu, harusnya kamu bikin mereka stres dengan kemesraan kita, eh ini malah jadi mengharu-biru kayak gini, gimana sih."
"Wanita beda dengan laki-laki secara perasaan Pak, saya bisa berlagak tegar di depan dia tapi sampe di rumah saya menangis meraung-raung, bukan karena masih cinta dia tidak, tapi lebih pada sakit dan perih hati kok bisa saya tidak tahu kelicikan mereka selama bertahun-tahun."
"Makanya bangkit Kara, aku bantu kamu ngelupain dia, dan aku minta bantu aku juga Kara."
"Bapak minta saya bantu apa?"
"Bantu aku melupakan, Nadinda."
Kara kaget bukan main, tumben bosnya punya keinginan melupakan mendiang istrinya karena selama ini yang ia tahu selalu berulang Jaka mengatakan tak akan pernah melupakan mendiang istrinya untuk menebus kelalaiannya.
💗💗💗
27 November 2022 (09.12)
Double up 💓
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top