7

"Tunggu!"

Jaka sekali lagi menahan lengan Kara tapi segera ia lepaskan. Kara menoleh dengan tatapan lelah.

"Apa lagi Pak, saya sudah tidak menolak ajakan Bapak malam ini dan lagi-lagi saya ketemu mantan dengan gundiknya, saya masih mau Bapak apakan lagi? Saya lelah lahir batin." Suara Kara mengandung tangis.

"Maaf."

"Nggak papa, sudah kan Pak, maaf saja? Saya mau turun dan segera tidur."

"Kau mengusirku?" Baru kali ini Jaka merasa bersalah dan masih ingin berbicara pada Kara.

"Bukan begitu, saya hanya ingin segera beristirahat, ingin melupakan mata keduanya yang tadi menatap mengejek pada saya, mungkin mereka mengira saya sama seperti mereka, karena baru bercerai kok sudah dekat sama Bapak."

"Kamu masih peduli pada pikiran keduanya? Rugi amat hidup kamu, harusnya kamu masa bodoh, buktikan kalo kamu nggak terpuruk dan bisa melanjutkan hidup, minimal di depan mereka kamu nggak terlihat terluka."

Kara mengangguk, ia hanya berpikir tumben bosnya bisa berpikiran waras.

"Saya berusaha terlihat seperti itu, makanya meski enggan tadi saya peluk erat lengan Bapak."

Jaka mengembuskan napas, mengingatkan lagi moment bagaimana Kara mendekap erat lengannya dan tersenyum lembut padanya, ia harus sadar jika itu semua hanya drama dan ia harus segera bangun dari dunia halu agar hatinya baik-baik saja.

"Turunlah, akan aku antar kamu ..."

"Tidak usah Pak, ibu sudah tidur juga, nggak ada yang mau Bapak sapa juga."

"Nggak gitu, etikanya aku yang ngajak kamu, masa aku biarkan kamu turun sendiri, udahlah aku antar sampai pagar, kan dekat ini."

Keduanya turun lalu melangkah pelan menuju pagar, Kara membuka pagar lalu terdengar suara pintu terbuka. Muncul wajah ibunda Kara, Mariana.

"Terima kasih Pak Jaka."

"Iya Ibu, maaf mengganggu."

Jaka menatap wajah Kara sejenak.

"Aku pulang."

"Iya Pak, terima makasih."

"Aku yang makasih."

Lalu Kara melihat punggung lebar itu berjalan menjauh, masuk ke mobilnya dan mobil Jaka bergerak perlahan.

"Mengapa tak kau coba dekat dengan bosmu Kara."

Langkah Kara terhenti saat ia baru saja masuk dan ibunya sudah berbicara hal yang tidak ia inginkan, lalu menariknya pelan untuk duduk berdua di ruang tamu yang hanya terdapat tiga kursi, sebuah meja dan pajangan ukiran kayu.

"Aku masih terluka Ibu, tidak ingin menambah luka lagi."

"Pak Jaka bukan laki-laki tak setia setahu ibu, dia duda karena istrinya meninggal, dan selama ini yang ibu tahu dari kamu dia laki-laki baik meski ya kata kamu sering marah karena urusan kantor dan ibu pikir itu wajar karena dia pemilik perusahaan pasti ingin yang terbaik untuk perusahaannya, apalagi akhir-akhir ini kalian sering bersama, mungkin ia mendekatimu karena kamu sudah bercerai harusnya kamu peka."

Kara menggeleng, ia tak ingin ibunya tahu jika dirinya dan Jaka sedang terlibat dalam skenario yang telah direncanakan oleh Jaka.

"Tidak Ibu, dia hanya simpati padaku karena aku baru saja bercerai, lagi pula hal wajar jika aku mendapinginya kan aku sekretarisnya , tadi itu pertemuan bisnis yang dibalut pesta jadi meski tak terlalu nampak dari pembicaraan santai sudah ada deal-deal bisnis, jadi aku nggak mau terlalu berharap dan nggak mau sakit lagi Bu."

"Ibu tahu jika mungkin kamu masih sulit melupakan sakit hatimu, tapi dengan belajar menyukai laki-laki lain setidaknya kamu tidak terlalu berlarut-larut sakit hati."

"Pak Jaka bukan tipeku, dia terlalu apa adanya, aku lebih suka laki-laki yang lembut Ibu."

"Lembut? Sabar? Tapi tiba-tiba menikamnu dari belakang."

.
.
.

Jaka merebahkan tubuhnya di kasur setelah ia membuka baju yang ia pakai tadi, sempat ke kamar mandi bahkan memastikan mamanya tertidur dengan nyenyak. Entah mengapa pikirannya terlintas pada Kara.

"Apa selama ini aku bukan bos yang baik? Mengapa tadi ia menangis? Apa aku terlalu kasar dan menyakitinya? Ah kenapa juga aku mikir dia, bodo ah, aku mau tidur."

Tak lama Jaka tertidur tiba-tiba saja ia merasa ada yang menepuk pipinya berulang dengan pelan, mengusap pipinya berulang. Ia buka matanya dan kaget saat melihat Kara ada di dekatnya.

"Kau? Siapa yang nyuruh kamu masuk? Beraninya kamu ... mmmmpppphhh."

Dan Jaka kaget saat wanita yang selama ini ia kenal santun tapi agak oleng akhir-akhir ini sejak bercerai dengan suaminya tiba-tiba saja menciuminya membabi buta. Sebagai laki-laki normal yang telah lama tak menyentuh wanita ia segera membalas perlakuan Kara padanya, ia balik tubuh Kara hingga berada di bawahnya dan ia raup bibir basah Kara tanpa ampun, tangannya pun bergerak menuju dada Kara, meremas benda kenyal yang pas ditangannya hingga terdengar desah Kara yang membuat kepalanya semakin pusing, dan tubuhnya menegang saat tangan mungil itu mengusap pangkal pahanya naik turun dan ...

"Jakaaa, Jakaaa, bangun Naaak, banguuun!"

Jaka membuka mata dan ia lihat mamanya yang menatapnya dengan cemas.

"Kamu mimpi apa? Mengerang berkali-kali, mama kebetulan bangun karena ingin ke kamar mandi dan haus jadi mama ke ruang makan lalu mendengar suara kamu agak keras, untung pintu kamar kamu agak terbuka jadi mama langsung ke sini. Keringat kamu juga banyak Jaka, kamu sakit?"

Jaka mengusap wajahnya yang basah karena keringat.

"Nggak Ma, aku hanya bermimpi."

"Mimpi apa?"

"Entahlah."

"Sudah tidur lagi, itu karena kamu terlalu lelah, mama mau tidur juga, ini masih jam satu dini hari."

Jaka melihat mamanya ke luar dan ia mendesah keras.

"Kenapa juga aku mimpi janda oleng itu dan ya ampun kenapa juga ini jadi basah?" Jaka bangkit menuju kamar mandi sambil menggerutu begitu melihat pangkal pahanya yang basah.

"Sekalinya mimpi basah kok ya sama janda oleng."

.
.
.

"Terlambat lagi?"

Wajah Kara terlihat lelah, ia malas bertengkar dengan bosnya.

"Saya sudah menelpon Bapak tapi tidak diangkat, saya mengantar ibu ke dokter, hipertensinya kambuh."

"Naik apa?"

"Diantar mobil tetangga makanya agak lama karena menunggu juga tadi, maaf."

Jaka mendengus pelan.

"Aku belikan kamu mobil biar aman dan semua kerjaan kantor juga jadi beres, sejak kamu nggak punya mobil gerak kamu jadi lamban."

"Jangan Pak, saya tidak mau berhutang budi, atau gini saja, saya akan nyicil pada Bapak dari gaji saya."

"Nggak usah, dari aku buat ibumu, nanti ikut aku ke showroom mobil."

"Tidak Pak!"

"Ya sudah aku yang pilihkan."

"Jangan Pak."

"Ck dari tadi tidak pak, jangan pak, udah sana ke luar, kerjakan kerjaanmu yang terbengkalai!"

Kara masih mematung di tempatnya, ia menatap Jaka dengan tatapan lelah.

"Saya tidak ingin semakin sulit hidup saya Pak, saya ingin hidup seperti apa yang saya pikirkan, jika saya dikasi mobil, pasti saya jadi tidak enakan sama Bapak kan dan saya akan iya iya saja jika saya disuruh-suruh Bapak, tidak berani melawan Bapak lagi kalau ada hal yang tidak cocok, kan jadinya Bapak membuat saya jadi gimana gitu."

"Apa kamu merasa nggak mempersulit hidupku?"

"Saya mempersulit apa? Kan selama ini Bapak yang selalu mulai duluan."

"Kamu datang dalam mimpiku dan aku nggak mau itu!"

"Lah masa saya yang salah? Itu tandanya Bapak mikirin saya, dan alam bawah sadar Bapaklah yang membawanya menjadi mimpi, kok bisa nyalahkan saya, salahkan pikiran Bapak! Ada-ada aja, masa saya yang salah lagi, udah deh Pak nggak usah belikan saya mobil, saya nggak bisa melawan Bapak kayak gini lagi kalo saya dibelikan mobil."

"Nggak usah ge-er, itu mobil buat Ibu kamu!"

"Ibu saya tidak bisa nyetir!"

"Beliau punya anak perempuan yang cerewetnya minta ampun, jadi beliau bisa nyuruh itu anak agar berguna jadi sopir saat beliau sakit dan nggak cuman marah-marah aja bisanya! Titik! Nggak ada bantahan lagi!"

💗💗💗

27 November 2022 (05.22)






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top