4


Klek!

Pintu terbuka dan terlihat wajah Kara yang lebih tirus. Sejenak Kara dan Jaka saling menatap.

"Kok masuk? Sudah sembuh?"

"Bapak ini nyindir saya atau tulus nyuruh saya nggak masuk biar istirahat."

Jaka mendengkus dengan keras, lalu mengarahkan tatapannya lagi pada komputer yang ada di depannya.

"Repot ngomong sama kamu, nggak ada benernya aku, yang marah lah, kasar lah, eh diperhatiin malah dikatain nyindir, terserah dah."

Tak lama Kara mendekat ke arah Jaka menyerahkan agenda hari itu yang hanya ada satu meeting dengan salah satu rekanan perusahaan dan malamnya ada gala dinner yang diadakan oleh salah satu perusahaan yang sama besarnya dengan perusahaan milik Jaka.

"Ok, nanti malam kamu ikut aku, aku jemput kamu, kasi alamat kamu yang baru."

Wajah Kara betul-betul memperlihatkan keterkejutannya.

"Tidak Pak, selama ini kalau ada gala dinner Bapak selalu datang sendiri, tumben sekarang ngajak saya, lagian saya masih sakit dan perlu beristirahat."

"Nggak ada penolakan, aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus ikut, dan kamu berangkat sekarang juga dengan sopir kantor ke salah satu butiq terkenal untuk gaun nanti malam, pilih aja terserah kamu, sama heelsnya juga silakan."

Kara semakin bingung, ia benar-benar malas datang ke acara seperti itu tapi ia tak bisa menolak.

"Saya tidak suka datang ke acara seperti itu Pak."

"Kamu kira aku suka? Tidak Kara, nanti kita sebentar saja, yang penting datang, bersalaman dengan yang ngundang trus pulang jadi nggak akan sampai kamu pusing hanya gara-gara datang ke tempat kayak gitu."

Kara hanya mengangkat bahu dan segera berlalu dari hadapan Jaka.

"Karaa."

Kara berhenti di mulut pintu.

"Ini bawa kartu kreditku."

"Siapa yang mau beli baju? Saya punya baju layak untuk ke gala dinner, saya nggak katrok-katrok amat kok Pak tenang aja."

Dan Kara menghilang dari hadapan Jaka.

"Heh beneran janda oleng."

.
.
.

Jaka berhenti di sebuah rumah kecil sederhana namun asri, temaram lampu teras membuat Jaka agak ragu untuk turun dari mobilnya. Ia mengambil ponselnya dan tidak jadi menelepon saat pintu rumah terbuka dan ke luar wanita paruh baya yang ia tahu itu adalah ibunda Kara, Mariana, wanita yang ia kenal karena kadang diundang saat di rumahnya ada acara-acara tertentu. Jaka segera turun dari mobilnya dan berjalan pelan menuju pagar rumah berwarna putih itu

"Assalamualaikum ..."

Wanita paruh baya tersebut terkejut saat menoleh ke pagar.

"Wa Alaikum salam ..."

"Wah Pak Jaka, mari silakan masuk Pak, Kara sudah siap, ini saya ke luar khawatir Pak Jaka ragu untuk masuk karena tadi Kara sempat bercerita jika Bapak bingung arah jalan ke sini."

Jaka masuk setelah pintu pagar di buka dan bersalaman dengan ibunda Kara, sebelum Jaka sempat masuk ke dalam rumah, Kara muncul dan segera pamit pada ibundanya setelah mencium punggung tangannya.

"Aku berangkat Bu, mari Pak biar nggak telat dan kita cepat pulang."

"Karaaa, Pak Jaka loh belum sempat duduk."

"Tidak apa-apa Bu karena memang khawatir lama di jalan, biar cepat sampai di tempat acara, saya berangkat dulu Bu."

"Iya Pak Jaka silakan."

.
.
.

Awalnya sepanjang perjalanan Jaka diam saja tapi lama-lama ia tak tahan juga untuk tidak berkomentar.

"Bisa juga kamu wanita."

Kara hanya mendengus pelan.

"Yang dilihat Bapak tiap hari apa wanita jadi-jadian?"

Jaka terkekeh dan Kara menoleh seketika, ia heran mendengar Jaka terkekeh, lama sekali ia tak mendengar Jaka tertawa sejak istrinya meninggal.

"Nggak salah dengar saya Pak? Bapak bisa tertawa?"

Jaka sedikit tersenyum lalu kembali ke mode awal, tanpa ekspresi.

"Aku manusia normal Kara, hanya karena ada suatu hal aku jadi malas tertawa."

"Ya sama Pak saya juga manusia normal yang sewaktu-waktu bisa dandan paripurna."

"Kamu, aku lihat berbeda malam ini, bukan Kara yang terlihat kaku dengan dandanan konservatif dan wajah tegas tanpa senyum."

"Berbeda bagaimana Pak?"

"Yah lebih bisa dilihat lah."

"Cantik, gitu aja lah Pak, saya nggak akan ge-er juga kalo Bapak bilang saya cantik, saya bukan wanita baperan."

"Ibumu sudah lama nemamin kamu?" Jaka mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Sejak saya sakit, ibu akhirnya tahu dan sejak itu ibu jadi nungguin saya di rumah baru, takut saya kenapa-napa lagi."

"Hmmm yah betul sepertinya kamu memang butuh orang untuk nemani agar nggak depresi."

"Sorry lah Pak kalo saya depresi, kehilangan dan kecewa pasti apalagi saya masih mencintai suami saya."

"Deuh rugi."

"Sekarang nggak lagi kok Pak."

"Baguslah."

.
.
.

"Kayaknya saya salah masuk ini Pak."

Kara berjalan di samping Jaka, ia lebih mendekatkan badannya ke arah Jaka karena di ruangan besar itu ia melihat begitu banyak orang-orang kalangan kelas atas yang ia tahu, rasanya Kara merasa tak pantas berada di sana.

"Ck, nggak usah punya pikiran aneh-aneh, ayo kita menyapa yang mengundang kita lalu kita pulang."

"Kita? Nggak deh kayaknya hanya ngundangnya Bapak saya kan hanya ngikut."

"Udaaah nggak usah banyak ngomong."

Dan dari arah yang berlawanan Jaka melihat Hendra bersama dengan wanita yang diakui akan dinikahi, wanita yang beberapa hari lalu datang ke kantornya dengan baju kantor sesak membungkus tubuhnya. Wanita itu tampak memeluk erat lengan Hendra, dandanan wanita itu pun terlihat mengerikan bagi Jaka karena lagi-lagi memperlihatkan kemolekan tubuhnya dengan dress panjang namun belahannya hampir ke pangkal paha, sejenak Jaka melirik Kara. Ia melihat wajah pias Kara, gugup dan berusaha menenangkan dirinya.

"Peluk lenganku!" Jaka berbisik pelan ke arah Kara.

"Tidak Pak, saya tidak terbiasa seperti itu di depan orang banyak apalagi Bapak bukan apa-apa saya."

"Nggak usah banyak bacot, kamu akan terlihat mengenaskan karena wanita itu akan merasa menang telah merebut milikmu, kau tak rugi memeluk lengan laki-laki yang melebihi segalanya dari laki-laki brengsek yang meninggalkanmu dengan sahabatmu, cepat! Mumpung mereka berdua belum menyadari jika kita ada di sini, bego kamu kalo terlihat mengenaskan di depan mereka!"

"Bapak dong yang meluk lengan saya."

"Ck, kamu ini bego apa buta, lihat di sekitar kamu, di mana-mana wanita yang memeluk lengan laki-laki."

Dengan ragu-ragu Kara memeluk lengan Jaka, keduanya sempat terlihat kaku namun saat melangkah berjalan keduanya berusaha berjalan dengan santai seolah memang benar-benar pasangan yang sewajarnya datang pada acara megah malam itu, dari ekor matanya, Jaka melihat keterkejutan di mata mantan suami Kara, hingga sempat berhenti berjalan dan wanita di sampingnya yang dadanya hampir melompat ke luar menariknya untuk berjalan.

Hendra berusaha berjalan mendekati Jaka dan Kara tapi Jaka tak kekurangan akal, dia berusaha menjauh dari keduanya.

"Tetap berjalan dengan santai, ikuti langkahku, mereka terkejut melihat kita, biar mantanmu dan wanitanya tahu jika kau tak terpuruk dalam kesedihan bahkan dapat tangkapan besar."

Lagi-lagi Jaka berbisik pelan pada Kara.

"Terima kasih." Kara membalas bisikan Jaka.

"Untuk."

"Telah melindungi saya."

"Nggak juga."

"Jadi ... Ini ada bayarannya?"

"Nanti aja kita bahas, yang penting misi ini harus selesai dulu setelah itu kita bicarakan apa bayaran kamu karena malam ini kamu terlihat lebih keren dari mereka berdua yang hanya mewakili bosnya, mereka bukan benar-benar orang yang layak di sini."

🌸🌸🌸

24 November 2022 (04.51)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top