1
"Jam sepuluh nanti jangan lupa Pak, kita ada meeting."
"Hmmm."
Jaka tak memedulikan Kara saat ia sedang asik dengan pekerjaannya. Melihat progres cabang baru dari perusahaannya yang baru saja dibuka, laporan-laporan ia lihat di komputer yang ada di mejanya.
"Buatkan aku kopi, Kara, sedikit gula dan ..."
"Creamer, saya sudah hafal tidak usah diulang tiap hari."
"Ck, diam sajalah, toh aku bosmu, aku mau ngomong apa saja ya kamu diam dan kerjakan!"
Kara mengembuskan napas sambil berlalu dari hadapan Jaka tak lama ia kembali dan entah mengapa Kara kurang fokus hingga kopi panas itu sedikit terpercik ke punggung tangan Jaka saat ia akan meletakkan cangkir di dekat tangan Jaka, Kara hampir saja jatuh, Jaka mendesis karena kepanasan. Ia langsung menatap tajam mata Kara yang memancarkan permintaan maaf.
Kara segera meraih tisu secara terburu-buru membersihkan punggung tangan Jaka yang memerah, lalu setengah berlari ke kotak obat memberikan salep pereda panas dengan efek dingin pada tempat yang terkena percikan tadi. Dalam jarak dekat, Jaka menatap Kara yang terlihat gugup dan takut, berusaha meredakan rasa panas yang menjalar di punggung tangan Jaka.
"Maaf, saya nggak fokus hari ini."
"Mending kamu ambil cuti gantikan pada Sheila yang selama ini membantumu menyiapkan ini itu, tapi aku juga nggak yakin dia bisa full gantikan kamu, apa dia bisa kerja sebagus kamu tapi selalu tidak fokus akhir-akhir ini? Kamu aja yang tahunan masih suka oleng apalagi itu si bocah, masih penyesuaian lagi dan khawatirnya ya takut telmi aja."
Kara berusaha menahan emosinya karena ia sadar dirinya yang salah kali ini.
"Mana kuenya?"
"Perasaan Bapak nggak minta tadi."
"Tapi kan kamu hafal, kebiasaan aku tiap hari, pastel, risol mayo dan ..."
"Lemper atau surabi."
"Nah itu kamu tahu, sana nyuru OB atau siapa, lama-lama aku bisa ikutan oleng kayak kamu, aku nggak tahu caranya balikin kamu ke kondisi semula tapi jujur sejak kamu bercerai sama suami kamu, kamu jadi berubah jadi orang bego! Kamu tuh diselingkuhin, harusnya kamu bersyukur karena mantanmu ketahuan belangnya nggak lama setelah kalian nikah, lah gimana misal kamu dah punya anak? Apa nggak kasihan bercerai saat kalian dah punya buntut?"
Mata Kara menatap tajam pada Jaka.
"Pak apa saya lebih baik resign? Dari pada saya selalu dicemooh oleh Bapak? Tapi masalahnya saya butuh duit untuk bertahan hidup, kalau saya nggak butuh duit nggak akan saya kerja di sini!"
"Tumben kamu kesel? Tiap hari juga biasa kan aku ngomong kayak gini?kalo kamu mau resign ya silakan resign saja."
Dan Kara benar-benar ke luar dari ruang kerja Jaka.
.
.
.
Malam hari, lepas isyak setelah semua pekerjaan telah selesai, Kara segara pamit pulang.
"Bareng aja, aku tahu mobilmu kamu jual kan?"
Kara yang berdiri di mulut pintu hanya mengangguk.
"Saya memilih ke luar dari rumah itu, saya tidak mau melihat jejak-jejak mereka, karena rumah itu adalah salah satu tempat mereka sesekali bertemu di belakang saya, jadi saya jual mobil dan perhiasan lalu saya membeli rumah di sebuah perumahan, kecil banget tipenya lagian kan saya hanya sendiri."
"Yaudah aku anter kali ini karena malam, aku yakin ini bisa ngirit ongkos pulang kamu, bisa buat kamu makan malam uangnya."
"Nggak usah Pak, nanti paling sepanjang perjalanan kita ribut lagi mending saya pulang sendiri aja, paling nggak kan nggak nguras emosi saya agar besok bisa lebih kuat kalo Bapak marah-marah lagi."
Pintu ruang kerja Jaka tertutup dan Kara tak peduli pada teriakan Jaka.
"Brengsek! Dikasihani malah nggak mau, dasar sekretaris janda oleng!"
.
.
.
Sesampainya di rumah, Jaka melangkah masuk, di ruang makan ia melihat mamanya yang belum tidur.
"Kok belum tidur Ma?"
"Ini masih jam berapa Jaka? Dan kamu juga tumben pulang agak awal?"
"Kebetulan pekerjaan selesai dan aku ingin segera pulang, ada pekerjaan lain yang harus aku kerjakan di rumah Ma."
Akhirnya Jaka duduk di ruang makan, mulai melihat-lihat menu makanan yang tersaji di meja dan mulai mencomot lauk yang ada di sana mengunyahnya pelan lalu mengambil satu lagi saat ia merasa apa yang ia makan pas di lidahnya.
"Menikahlah Jaka, Sudah tiga tahun Nadinda meninggal dengan membawa bayi kalian ke alam baka, aku yakin kamu sudah bisa melupakan mereka, usiamu juga semakin merangkak tua, usia 37 itu tidak muda lagi, aku yakin akan mudah mencari wanita dengan kedudukanmu dan ketampananmu anakku."
Jaka tersedak, ia raih air minum dan meminumnya. Lalu perlahan ia tatap mata wanita yang sejak istrinya meninggal tiga tahun lalu menemaninya di rumah besarnya meski ia tahu sebenarnya mamanya merasa lebih nyaman tinggal dengan adiknya.
"Mudah memang mencari wanita yang mau aku tiduri Ma, tapi tidak mudah mencari wanita baik-baik selembut Nadinda, itu yang belum aku temukan lagi, apalagi kenangan selama ia hamil, kemanjaannya, senyumnya, kulit lembutnya, nggak bakalan ada yang bisa menggantikan dia."
"Lalu sampai kapan kamu sendiri?"
"Sampai Tuhan mempertemukan aku dengan wanita yang tepat."
"Jangan diam saja Jaka, carilah wanita yang tepat itu!"
"Akan tiba waktunya jika memang jodoh, Ma."
"Masa di kantor kamu nggak ada? Wanita sebanyak itu?"
"Yang ada janda oleng, Ma."
"Loh!?"
.
.
.
Lagi-lagi pagi yang sungguh heboh karena Kara terlambat datang sementara meeting dengan pimpinan beberapa divisi dimulai jam 08.00 tepat, untungnya Sheila yang biasa membantu pekerjaan Kara menyiapkan hal-hal penting yang dibutuhkan meski Jaka tetap marah-marah jika ada sedikit kesalahan.
Rapat berakhir jam 09.30 dan Jaka langsung masuk ke ruangannya sebelum masuk ia melihat wajah Kara yang tanpa ekspresi di depan pintu ruang kerjanya.
"Maaf, saya ..."
Dan Jaka mengabaikan Kara, ia masuk tanpa berucap sepatah katapun lalu duduk di kursi kebesarannya.
"Sebentar lagi ada klien akan ke sini Pak, sudah saya siapkan di ruang meeting yang lebih kecil karena ..."
BRAK!!
Jaka menggebrak meja, ia tatap mata Kara dengan tajam.
"Kamu membuat mood kerjaku hilang hari ini, tadi Sheila masih seperti kambing congek, bingung, gugup, harus dibentak dulu, kalo kira-kira nggak niat kerja di perusahaan ini resign! Bikin surat pengunduran diri biar nggak kacau semaunya! NGERTI APA NGGAK KAMU!?"
Mata Kara menatap Jaka dengan tajam, ia merasa jika keterlambatannya ada alasan.
"Pak, saya akui saya salah tapi saya punya alasan keterlambatan saya, ojol yang saya tumpangi tadi nyerempet mobil dan kami jatuh di jalanan yang ramai, untung kami selamat, apa nggak lihat Bapak kalau ada beberapa luka di lengan dan siku saya? Bapak harusnya peka, lagi pula saya masih dalam suasana seperti ini, bagi laki-laki mungkin perceraian itu hal kecil atau kematian pasangan tak ada pengaruhnya tapi bagi wanita seperti saya ..."
"Stop! Jaga mulutmu! Aku kehilangan Nadinda dan sampai sekarang aku masih berkabung! Kau benar-benar bawahan yang nggak tahu sopan santun, ke luar dan jangan masuk ke ruang kerjaku lagi! Kau masih beruntung tidak aku pecat karena kelancangan mulutmu!"
"Baik, lakukan apa yang Bapak mau, tapi satu hal yang harusnya Bapak peka sebagai atasan, lihat dengan hati nurani tiap kali bawahan Bapak ada masalah, bukan hanya dengan mata dan logika Bapak agar tidak sesat dalam mengambil keputusan!"
Dan Kara berbalik, ia menuju pintu ke luar dengan langkah cepat. Jaka hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil meredakan emosinya.
"Heran aku sama makhluk satu itu, nggak ada takutnya, apa dia jadi gila sejak bercerai dan lupa kalo aku bosnya? Dia yang salah dan selalu aku yang dia marahi."
🔥🔥🔥
21 November 2022 (04.55)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top