Part 2

[Buat yang belum kenalan sosok Shanira yang sebenarnya, bisa ke lapak adiknya yang judulnya Rahasia Dibalik Celana Mas Bentot. Yang udah nungguin cerita ini, mari senang-senang di cerita ini dan kasih komen dan vote yang banyak. Ini aku kasih cerita yang tamat di Wattpad, loh. Jangan sia-siakan. Kalo bisa promosikan, oke :) ]


"Mami ngomong apa aja ke Nira?" 

Shanira bisa mendengar perdebatan seorang anak dan ibunya di dalam ruangan yang diyakini adalah rumah sakit. Shanira sengaja masih berlagak tertidur, padahal dia sudah sadar penuh. 

"Ngomong apa? Mami memangnya ngomong apa, sih, Varaz? Mami nggak aneh-aneh." 

"Kalo Mami nggak ngomong aneh-aneh, kondisi Nira nggak akan kayak gini. Dia tertekan, stres, sampai keguguran begini!" tekan Varaz kepada Hazmara. 

Meski keduanya saling berdebat, tapi tidak ada nada tinggi yang bisa membuat orang lain akan menyangka bahwa keduanya bertengkar. Ya, begitulah Varaz dan keluarganya. Mereka berada di level berbeda untuk segala persoalan. Bahkan pertengkaran bisa tampak biasa saja. Diluar hal itu, Shanira terpatri pada kata keguguran yang dirinya alami. 

"Kenapa jadi Mami yang salah? Istri kamu sendiri yang nggak bisa jaga kondisi fisik dan pikirannya. Dia harusnya aware bahwa besar kemungkinan dia akan hamil, karena kalian aktif program hamil." 

"Selamanya, Mami akan terus menyalahkan Shanira aja, kan. Shanira nggak pernah melakukan hal yang benar di mata Mami. Hanya karena dia nggak dari kalangan yang Mami inginkan." 

Shanira tidak bisa membentuk rasa percaya diri seperti dirinya dulu karena masuk ke dalam lingkungan keluarga Varaz. Meski Varaz mengaku mencintai sisi Shanira yang apa adanya, tapi saat pria itu tidak bersamanya, maka Shanira harus mengikuti segalanya yang persis seperti apa yang keluarga pria itu lakukan sejak lama. Shanira kesulitan, tapi dia tidak pernah menunjukkannya pada Varaz. Rasanya seperti Shanira selalu sendirian. 

"Nggak perlu kamu bahas yang begitu lagi. Bukan salah Mami karena kamu memilih pasangan yang nggak terbiasa dengan latar belakang kehidupan kita. Kamu membawa perempuan yang terbiasa hidup sederhana tanpa tuntutan untuk bisa mempertahankan nama baik keluarga. Dia kaget, Mami bisa tahu. Tapi Mami nggak pernah berbuat jahat ke istri kamu. Mami mengajarkannya untuk though, dan punya semangat menggebu untuk jadi bagian keluarga kita sepenuhnya." 

Satu hal yang mungkin tidak pernah orang lain tahu, bahwa Shanira bukan tergila-gila pada Varaz sampai mau masuk ke keluarga pria itu dengan tangan terbuka. Varaz menjebaknya, tidak mengatakan yang sebenarnya mengenai keluarga pria itu sejak mereka menjadi kekasih. Yang akhirnya membawa kejutan, setelah pria itu melamar kepada orangtua Shanira, barulah Varaz mengatakan siapa Papi dan Maminya. Sudah kepalang tanggung, kan? Dan agak parahnya, orangtua Varaz tidak mau datang ke rumah orangtuanya. Kalau dipikirkan lagi oleh Shanira, memang kisahnya dan Varaz sangat pelik. 

Kok, bisa gue sesantai ini jatuh ke jurang kemewahan yang ternyata berat banget buat gue jalanin? 

Baru sekarang ini Shanira bisa menanyakan kebodohannya akan cinta. Dulu? Dia memang lebih berat untuk meninggalkan Varaz. Sekarang? Sepertinya Shanira sudah gila jika meninggalkan dirinya sendiri lebih jauh lagi. Sudah cukup rasanya mencintai Varaz melebihi diri Shanira sendiri. 

*** 

"Kapan saya boleh pulang, Dokter?" tanya Shanira. 

"Sudah boleh dari kemarin, Ibu Nira. Sebenarnya setelah tindakan kuretase, tidak perlu rawat inap seperti tindakan caesar atau melahirkan normal, Bu." 

Dokter menjelaskan dengan sangat baik, tapi Varaz langsung menyeletuk tidak terima. "Nggak semua pasien setelah kuret bisa pulang. Dokter sendiri yang menjelaskan ke saya kalo untuk beberapa kasus, ada pasien yang harus rawat inap untuk mengawasi kondisinya, kan?"

Dokter tersebut tidak kesal meski Varaz merasa sok tahu dengan bidang yang memang bukan ranah ahlinya itu. Justru dokter tersebut menjelaskan dengan penuh kesabaran pada Varaz seolah suami Shanira itu adalah anak kecil yang harus terus menerus diberikan pengertian agar paham. 

"Ya, betul, Pak Varaz. Itu untuk beberapa kasus yang perlu tindakan lanjutan. Untuk istri Bapak, tentu saya menyampaikan bahwa kondisinya bagus dan tidak perlu rawat inap sejak kemarin. Saya datang kesini sebenarnya bukan jadwal visit yang terjadwal. Ini diluar jam saya karena saya sudah menyampaikan pada perawat bahwa Ibu Shanira kondisinya oke untuk pulang setelah tindakan kuretase." 

"Dokter disini juga bukan secara gratis, saya membayar supaya istri saya bisa dipastikan kondisinya lebih baik lagi. Saya bukan pasien bpjs—" 

"Varaz, kamu terlalu berisik. Stop bersikap segalanya bisa kamu beli dengan uang." Shanira menghentikan ucapan suaminya yang terlalu angkuh itu dan kembali menatap sang dokter yang menanganinya. "Terima kasih, Dokter. Maaf sudah menambah tugas yang Dokter yang harusnya nggak perlu. Saya minta maaf atas sikap suami saya." 

"Sama-sama Ibu Shanira. Sehat selalu, ya. Saya permisi." 

Setelah dokter tersebut pergi Shanira menurunkan kedua kakinya dan bersiap untuk pulang. 

"Nira? Kamu mau kemana?" 

"Pulang. Aku udah nggak perlu disini. Kamu aja yang terlalu sinting nambah-nambahin hari untuk nginep disini." 

"Sinting? Shanira, kamu bilang aku sinting? Aku mengkhawatirkan kamu. Dan kamu bilang aku sinting?" 

Shanira menegakkan tubuh untuk berhadapan dengan suaminya. Dia mengeluarkan kalimat yang tidak pernah Varaz sangka. 

"Iya. Kamu dan keluargamu memang sinting. Semua orang di keluargamu selalu mengedepankan uang ketimbang hal lain. Karena uang, kalian jadi nggak menghargai orang lain dan menganggap orang lain lebih rendah dari kalian. Sekalipun itu dokter, kalian menganggap mereka nggak lebih baik dari uang yang kalian punya. Kamu pikir itu bukan hal yang sinting?" 

Shanira menghela napasnya sebelum kembali menambahkan. "Aku udah muak, Varaz. Aku muak karena nggak diperlakukan seperti manusia di keluargamu. Aku capek karena aku lupa mencintai diriku sendiri, akibat aku terlalu sibuk mencintai kamu, yang kayaknya nggak memberikan seratus persen cintamu seperti yang aku lakukan." 

"Nira, aku yakin ini efek kamu yang kehilangan anak kita. Nggak apa-apa. Aku akan terima ini. Tapi kamu harus dengar, aku mencintai kamu nggak pernah berkurang dari dulu. I love you 200 percent." 

Jika biasanya Shanira akan tersanjung dan memeluk Varaz dengan pengakuan cinta seperti itu, maka sekarang Shanira sudah tidak bisa bereaksi. Dia terlalu lelah untuk mengikuti laju hidup Varaz dan keluarganya. 

"Kalo gitu, 200 persen kamu bukanlah 100 persenku yang sebenarnya, Varaz. Karena aku nggak merasakan perjuangan kamu sama sekali. Mami kamu bilang aku nggak bisa mengimbangi kamu, penampilanku jauh dari kata ideal sebagai istri kamu. Mami kamu mengatakan badanku melar dan nggak pantes pakai baju apa pun untuk bersanding di acara-acara penting yang mengundang keluargamu. Aku dinilai nggak bisa menjaga tubuh. Nggak seperti kamu." 

"Jangan ambil hati ucapan Mami. Kamu tahu sendiri Mami memang nggak bisa berkata manis—" 

"Mami kamu nggak pernah mikir, aku berusaha menahan sakit dari berbagai suntikan hormon. Aku minum obat yang mengacaukan bentuk tubuhku. Demi apa? Demi bisa kasih kamu anak. Aku makan sembarangan? Nggak. Aku tetap menjaga fisikku. Tapi akibat semua program kehamilan tolol itu, sedikit aja air yang masuk ke tubuhku, semuanya bikin aku gendut! Aku belum hamil, belum melahirkan, tapi badanku rusak seperti ibu-ibu setelah melahirkan dua anak! Demi siapa? Demi kamu, supaya kamu punya anak dan demi keluargamu yang menginginkan keturunan." 

Shanira tidak menangis. Dia benci menjadi cengeng. Sekarang ini dia hanya ingin kembali menjadi dirinya sendiri. Yang tidak diperbudak dengan rasa ingin mewujudkan mimpi orang lain tanpa memikirkan efek pada dirinya sendiri. 

"That's my fault, Nira. Maafkan aku. Aku nggak tahu kalo kamu menderita sejauh ini." 

Varaz berusaha untuk memeluk Shanira, tapi wanita itu langsung menyingkir. Dia tidak ingin dipeluk. Dia hanya ingin diberikan waktu untuk bisa sendiri dan menjadi diri sendiri kembali. 

"Nira?" 

"Aku mau pulang, Raz." 

"Iya. Ayo, kita pulang. Aku akan larang Mami untuk ngomong sama kamu begitu sampai di—" 

"Bukan rumah kamu dan keluargamu. Tapi rumah orangtuaku. Aku serius minta pulang seperti yang aku bilang sebelum aku keguguran. Aku udah capek. Mari kita selesai dan cari hidup masing-masing, Varaz." 


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top