Part 1
[Alohaaa! Untuk kamu yang baru menemukan lapak ini. Sebenarnya ini kisah kakaknya Shazira (Rahasia Dibalik Celana Mas Bentot). Kisah ini ada karena melihat antusiasme pembaca di lapak adiknya Shanira. Bisa dibaca terpisah, tapi boleh juga baca kisah adiknya Shanira. Jangan lupa follow Instagram freelancerauthor untuk dapat info update terbaru aku, ya. Happy reading semuanya 💕.]
"Berikan aku anak, Nira."
Varaz membisikkan kalimat tersebut di telinga Nira tepat setelah mereka selesai melakukan percintaan.
Wanita itu mengusap bibir Varaz hingga rahangnya. Lalu, pertanyaan muncul dari bibir Nira. "Kamu, tuh, sebenernya cinta nggak, sih sama aku, Raz?"
"Pertanyaan macam apa itu? Aku cinta kamu. Nggak perlu dipertanyakan."
"Tapi kenapa kamu sibuk banget untuk ingetin aku untuk kasih kamu anak?"
Varaz menarik napasnya dan merapatkan tubuh mereka dalam posisi miring.
"Orangtuaku, Nira. Mereka menginginkan cucu."
Nira menghela napasnya dengan begitu lelah. "Cinta kamu untukku nggak bisa membantu supaya aku nggak terus menerus yang disudutkan untuk bisa punya anak, ya?"
Varaz terdiam. Shanira biasanya akan menanggapi dengan candaan. Istrinya memang suka bercanda, mudah melupakan sesuatu yang membuatnya sakit hati. Namun, kali ini Shanira tidak terlihat seperti biasanya. Mendadak, Varaz menjadi tidak tenang. Pria itu pun langsung memasang senyuman dan mengecup pipi Shanira berulang kali untuk membuat wanita itu terkikik geli seperti biasanya. Varaz berusaha untuk mengalihkan pembahasan ini, karena reaksi tidak nyaman Shanira sudah diambang batas sabar sepertinya.
"Varaz, stop."
Varaz tidak berhenti. Dia terus berusaha dan memastikan bahwa ucapannya tadi yang begitu bodoh sudah dilupakan sang istri. Menghadapi Shanira yang dikenal karena periang dan tidak mudah terbawa perasaan, nyatanya membuat Varaz lebih takut. Sebab dibalik semua sifat tersebut, Shanira lebih mengerikan ketika kecewa.
"Berhenti, Varaz! Aku nggak lagi pengen bercanda."
Dada Varaz didorong oleh Shanira hingga pria itu tidak bisa melakukan apa-apa. Sorot mata Shanira juga mengatakan bahwa wanita itu sedang sangat serius.
"Maaf ucapanku tadi, ya? Aku terlalu sering ditanyain sama Mami, jadi bodoh banget sampe nuntut kamu—"
"Terserahlah. Aku udah capek juga minta sama kamu supaya nggak tinggal bareng orangtua. Itu resiko kamu sendiri, diocehin mami kamu. Aku mau turun, mau bersih-bersih, minggir dulu."
Varaz tahu bahwa dia sudah membuat Shanira kecewa. Dia hanya bisa melihat sang istri yang tubuhnya makin berisi dan tidak kunjung hamil. Lalu, dia mendapati satu hal yang sudah tidak pernah Shanira lakukan lagi semenjak mereka sibuk melakukan program jenis apa pun untuk membuat wanita itu hamil, yaitu, Shanira tidak pernah mau menggunakan standing mirror yang awal-awal pernikahan selalu digunakan wanita itu untuk selalu memantau penampilannya.
Sepertinya, semakin lama Shanira semakin kehilangan dirinya sendiri. Dan Varaz tahu semua itu karena Shanira melakukan pengorbanan agar bisa hamil. Dan dalam keadaan seperti itu, Varaz malah masih saja membisikkan permintaan agar Shanira memberikannya anak. Padahal istrinya itu sudah berusaha keras, bahkan lebih keras dibanding Varaz sendiri.
"Stupid! Apa yang udah gue lakuin ke wanita yang gue cinta?"
***
Shanira sudah sibuk digeret untuk berada di butik kesayangan mami mertuanya. Mereka mendapatkan undangan pesta, dan para istri harus ikut tentu saja. Shanira, sedang dipaksa menggunakan kemben yang benar-benar harus mengikat perut. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Apalagi sekarang berat badan dan bentuk tubuhnya sudah jauh dari kata singset seperti dia sebelum menikah dulu. Efek suntik hormon dan segala macamnya untuk memiliki momongan membuat Shanira kehilangan bentuk tubuhnya.
Bukan berarti Shanira tidak melakukan apa-apa untuk bisa mengimbangi berat dan bentuk badannya. Dia tetap olahraga, tetap mengatur pola makannya, tapi percuma. Dia terus melar, dan semakin melar akibat semua prosedur kehamilan yang dia jalani tiga tahun ini.
"Ya, ampun. Lingkar perut kamu tambah lagi, Shanira?"
Shanira tidak pernah ambil pusing dengan komentar yang dilemparkan oleh mami mertuanya, Hazmara. Sudah tiga tahun, dan dia tidak heran dengan reaksi mencemooh itu. Namun, entah kenapa kali ini dia terusik. Setelah semalam suaminya membisikkan kalimat minta anak lagi, Shanira rasanya muak. Kenapa harus diminta terus? Padahal Shanira juga tidak membatasi diri dengan KB atau apa pun. Dia rela melakukan seluruh prosedur, tapi apalah daya? Tidak ada hasil yang keluar dan menunjukkan garis dua. Apa itu salah Shanira juga?
"Lihat, gara-gara kamu, kembennya jadi susah buat ditarik sampe belakang. Coba kalo kamu ini tirakat sedikit. Nggak semua-muanya dimakan. Pasti nggak melar begini. Kamu lihat suamimu, meskipun udah nikah dan sering habisin makananmu, dia nggak buncit. Itu karena dia bisa jaga badan. Masa suaminya penampilan dijaga, rapi istrinya amburadul begini? Apa kata orang nanti kalo di acara? Bukan anak orang ternama, seenggaknya jaga penampilan biar kayak anak orang berada."
Kalau boleh Shanira memilih, dia juga tidak mau hatinya tertambat pada Varaz yang ternyata anak orang kaya. Meskipun Shanira tidak miskin, tapi dia tidak hidup di dunia yang Varaz miliki. Padahal dulu Shanira adalah player ulung. Tidak pernah termakan perasaan cinta. Pacaran sana sini, kenalan sesuka hati, dan tidak jarang mencoba berhubungan seksual dengan beberapa yang memiliki kesan. Tapi begitu bertemu Varaz, Shanira merasa seperti bertemu pawang. Dia tidak lagi menginginkan pria lain. Semua kriteria yang Shanira mau ada dalam diri Varaz. Semua risiko dia terjang, bahkan wejangan ayahnya sekaligus yang memberi teguran bahwa dunia mereka berbeda dari Varaz. Bukan hanya itu, ayahnya sulit untuk akrab dengan Varaz yang gaya bicara dan pembawaannya jelas mendominasi karena Varaz terbiasa dihormati oleh orang yang statusnya berada di bawahnya.
Kalau hatinya tidak tertambat pada Varaz, tidak akan mau dirinya berada di lingkungan keluarga bak Ratu Inggris ini. Semuanya serba dikomentari. Semuanya serba harus sempurna. Mentang-mentang masih ada keturunan darah birunya.
Shanira bisa melihat tatapan dari pegawai yang berusaha memasang kemben di tubuh Shanira. Ada raut kasihan yang diperuntukkan untuknya. Biasanya Shanira masih bisa menyengir dan tertawa mengabaikan ucapan demi ucapan siapa pun anggota keluarga suaminya. Namun, belakangan ini dia semakin memikirkan ulang apa yang ingin digapainya selama menjadi pasangan Varaz. Empat tahun, dan Shanira seperti abu yang tergerus di dalam rumah mewah itu.
Memang, ya, terkadang orang yang ceria dan tampak tidak memiliki masalah dari luar malah lebih pelik menjalani kehidupan.
"Kamu ini dengerin Mami, nggak, sih, Shanira?"
Shanira merasakan dadanya semakin sesak. Dia tidak fokus mendengarkan mertuanya. Saat melihat wajahnya di cermin, dia tahu wajahnya sudah memucat.
"Mas Varaz dimana, Mami?" tanya Shanira keluar topik mertuanya.
"Astaga kamu ini. Diajak ngomong apa, malah nanyainnya Varaz."
Hazmara meninggalkan tempat ganti untuk memanggil Varaz. Disaat seperti itu, Shanira merasa kepalanya makin pusing.
"Bu? Ibu nggak apa-apa?" tanya pegawai butik tersebut.
Entah yang mana yang sedang ditanyakan. Kondisi fisik Shanira? Atau mengenai ucapan-ucapan bernada bully yang dilakukan Hazmara tadi. Maka dari itu Shanira tidak tahu mana yang harus dijawab tidak apa-apa.
Sebelum jawaban Shanira berikan, dia melihat Varaz datang dan masuk ke ruang ganti.
"Belum selesai? Aku pikir kamu—"
"Aku mau pulang, Raz."
Shanira tidak bisa menahannya lagi.
"Pulang? O-oke. Kita pulang ke rumah, ya. Kamu keliatan pucet."
Shanira menggeleng. "Nggak rumah itu. Rumahku ... rumah ayahku ..."
"Nira!"
Shanira tidak kuat lagi, dia terjatuh dan langsung Varaz tangkap. Dia tidak tahu dan tidak peduli dengan kemben yang sibuk sekali tadinya dipasang di tubuhnya. Yang pasti, saat dia membuka matanya, dia tahu dirawat di rumah sakit.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top