Seorang Perempuan

"Katanya, hidup itu perjalanan. Bagiku, kita hanya diam di tempat. Bukan kita yang menemui orang-orang, merekalah yang datang kepada kita untuk membacakan cerita-cerita. Entah cerita panjang atau pendek, cerita sedih atau senang. Kita akan menangis ataukah tertawa, tergantung pada apa yang mereka bacakan. Kita hanya bisa diam—pasrah mendengarkan."

#JandaKemboja


-oOo-


Tak lama setelah melamarku, Ersang mendapat pekerjaan di Jakarta. Sebuah pekerjaan besar yang sepantasnya didapat oleh lulusan luar negeri. Aku ikut senang, namun, itu berarti kami mesti berhubungan jarak jauh sekali lagi.

Pernah, aku mengunjungi indekos Ersang di kawasan Blok M. Di sanalah aku melihatnya. Seorang perempuan bermata sipit dengan kulit kuning langsat yang tampak terawat. Ia mengetuk kamar Ersang, aku membukanya dan mendapati dua piring nasi goreng di depan mata.

"Oh, hai, pasti Araminta," tebaknya. "Mas sering cerita tentang kamu."

Aurum sudah menyiapkan sarapan di pagi pertamaku di Jakarta. Kusimpulkan mereka cukup dekat sehingga Ersang bisa cerita padanya bahwa aku akan datang.

"Aku ketemu Mas di Amerika. Dua orang Indonesia yang tersesat di Manhattan. Kami saling tukar nomor telepon, tapi, baru saling bertelepon malah beberapa bulan yang lalu. Lucu, ya? Mas tanya indekos yang bagus di Jakarta."

Aku tersenyum, sama sepertinya, berpikir bahwa semua itu kebetulan semata. Namun, ada sesuatu dari Aurum yang membuat perasaanku aneh.

"Rum," panggilku, suatu hari, masih di Jakarta. "Sepertinya kamu dan Ersang seumuran. Kenapa tidak panggil nama saja?"

Aurum terdiam. Aura ceria yang biasanya, meredup. Lalu, ia tersenyum sangat tipis, dan aku mengernyit karena melihat gurat tidak terima. "Begitukah? Oke. Kurasa aku harus membiasakan diri."

-oOo-

Aurum adalah teman yang menyenangkan sehingga tiap kali ingat Jakarta, pasti kuingat dirinya—yang kuandalkan tiap Ersang sulit dihubungi, yang kumintai tolong ketika Ersang sakit. Tambah-tambah, Aurum baik terhadap Oma.

Suatu hari Ersang pulang ke Jogja bersamanya. Aku yang mengundangnya dalam rangka ulang tahun Oma. Seperti dia yang membawaku keliling Jakarta, begitupun aku mengajaknya ke berbagai tempat—termasuk sungai, pohon apel dan rumah kayu tak berpenghuni di belakang permukiman.

Aurum adalah orang pertama yang tidak tertawa ketika mendengar keinginanku tinggal di rumah itu. Darinya aku terinspirasi untuk hanya makan apel dan daging rusa jika benar-benar tinggal di sana. Tidak masalah. Aku setuju. Lagipula sepertinya rusa itu enak.

"Kamu bertengkar?" tanyanya, sambil menatap kakinya yang berayun-ayun menyentuh rumput di bawah—kami sedang bertengger di batang pohon apel terendah—aku yang menantangnya memanjat.

"Kelihatan, ya?"

Aurum mengangkat bahu. Aku menghela napas, memandangi hubunganku dengan Ersang yang seolah terpampang di hadapan kami dan aku duduk meratapinya di sini.

"Ada yang beda, Rum. Aku rasa Ersang berubah."

"Perasaanmu saja, Ra," hibur Aurum.

Aku tersenyum pahit. Bagaimana bisa cuma perasaanku saja, jika tiap kutanya tentang pernikahan, Ersang selalu mengalihkannya. Saat itu aku tidak tahu bahwa pernikahanku dengan Ersang baru terlaksana enam tahun kemudian.

-oOo-

Jika ada yang mengatakan hidup adalah perjalanan, itu bohong. Nyatanya, kita ini hanya diam. Menunggu kabar bahagia datang, menanti berita duka datang, tanpa bisa melarikan diri ke mana pun juga. Bukan kita yang menemui orang-orang, merekalah yang datang kepada kita dan membacakan sebuah cerita. Entah apakah cerita itu pendek atau panjang, baru kita ketahui lama setelahnya. Apakah kau akan menangis atau tertawa karena kehadiran seseorang, itu tergantung apa yang dia ceritakan. Sekali lagi, kau tidak berjalan. Kau hanya diam dan pasrah.

Malam terakhir di Jogja, Aurum mengaku kepadaku, satu hal yang membuatku memeluknya sambil menangis. "Aku hamil, Ra," katanya.

Aku ingat, Aurum pernah bercerita, ada seseorang. Mantan pacarnya yang masih dia rindukan. Mungkin dia. Aku tidak pernah tega bertanya, siapa yang melakukannya. Yang terjadi setelah itu hanyalah, Aurum menghilang. Tiga tahun lamanya, barulah ia meneleponku. Janji bertemu di Pangandaran, kemudian itu adalah kali pertamanya aku jatuh cinta kepada Elegi, Si Jagoan yang menggelayut manja di pelukanku.

Kami berfoto dengan latar laut. Kukirimkan kepada Ersang. Tulisku, "Aurum bahagia sekarang. Dia bahkan punya cahaya dalam hidupnya."

Ersangmembalas. Ikut bahagia, katanya. Salam untuk suaminya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top