Sebuah Rumah dan Pohon Apel


"Aku acap berpikir dapat tinggal di tempat terpencil, tanpa seorang pun, hanya aku dan keegoisanku. Kupikir yang seperti itu lebih baik."


#JandaKemboja


Rumah Oma berada di tengah-tengah kebun luas, bangunan tunggal dengan undakan kayu dan teras yang lebih lapang dari bagian dalam rumah itu sendiri. Oma selalu berharap bisa panjang umur untuk melihat cicit-cicitnya bermain di teras itu. Cicit-cicit. Aku tersenyum getir. Cucu Oma cuma Ersang, yang berarti Beliau berharap aku melahirkan banyak anak hingga terasnya ramai.

Sebuah becak berhenti di depan, Oma membuka pagar tanaman rambat, masuk diikuti penarik becak yang membawakan belanjaannya. Oma tersenyum lebar mendapatiku duduk menunggunya di teras. "Ya, Allah, Ara!"

Aku mengulum bibir, melihat wanita tua itu dengan pandangan memburam. Banyak sekali yang ingin kuceritakan padamu, Oma, batinku.

"Suwun, nggih." Oma menyerahkan sejumlah uang kepada Si Bapak Penarik Becak yang telah menaruh barang-barang belanjaan Oma ke depan pintu Sambil menutup dompetnya, Oma tersenyum lagi. Aku tertawa.

-oOo-

Aku menyingkir dari sekumpulan orang, para tetangga Oma yang tengah menyiapkan acara sunatan. Bukan apa, aku hanya tidak nyaman bersama banyak mata yang melirik diam-diam lantas bibirnya mengejek.

"Kabur lagi?' Faris, teman semasa kecilku di sini, berjalan menyusul menuju hutan belakang permukiman. Aku mendesih melihat tubuh tingginya yang semakin cokelat. Pekerjaan di pertambangan agaknya membuat ia semakin laki. "Merasa diejek lagi?"

Aku tersenyum kecut, melesakkan tangan ke saku jaket. "Bukan cuma perasaan. Memang mereka mengejekku."

Kuceritakan sedikit tentangku. Benar, ayahku seorang narapidana, seperti yang telah kuberi tahu sebelumnya. Pembunuh gila itu menggantung ibuku telanjang bulat di sebuah pohon beringin di belakang rumah kami dulu. Bahkan, ia sempat kabur dari penjara hanya demi membongkar makam ibuku lantas memotong-motong tubuhnya seolah bangkai tikus.

Lalu, Oma merawatku karena aku menjadi sebatang kara. Karena itu, aku besar bersama Ersang. Tumbuh bersama kemudian diam-diam berciuman di belakang pohon jambu ketika SMA. Setelah itu, Ersang kuliah di Amerika. Delapan tahun kemudian ia pulang. Saat aku membentangkan spanduk di bandara, tiba-tiba saja semua orang tersenyum ke arahku. Spanduk yang seharusnya tertulis ucapan selamat datang, entah bagaimana seseorang sempat menggantinya menjadi sebuah lamaran. Tertulis besar-besar di spanduk, "Araminta, aku rindu padamu. Tapi, tidak cukup hanya mencium. Aku harus menikahimu."

Orang-orang kemudian menganggap aku terlalu beruntung. Amat sangat mudah untuk ukuran anak pembunuh sepertiku. Jadi, mereka mengejekku dengan tatapan dengki. Mereka hanya tersenyum jika Oma bersamaku. Sejengkal saja Oma jauh, aku merasakan tatapan-tatapan itu. Anak pembunuh yang meminta terlalu banyak, kurang lebih seperti itu arti wajah jijik mereka.

"Mau memanjat?" Faris menunjuk pohon apel. Kami telah sampai di tepi sungai deras dan pohon apel yang Faris maksud ada di seberang sana, hutan pedalaman tempat serigala dan beruang berkeliaran bebas. Sewaktu kecil, kami sering ke sana. Menyeberangi sungai, memanjat kawat pembatas kemudian memetik apel-apel. Padahal katanya, ada buaya putih di sungai. Aku dan Faris tidak percaya karena tidak pernah melihatnya.

"Gila!" Aku menyikutnya.

Sayang sekali, Faris benar-benar gila. Tubuhku didorongnya, namun, ia ikut bersamaku karena aku sempat memegangnya. Kami jatuh bersama, tertawa-tawa. Waktu kecil, sungai ini dalam sehingga kami harus berenang. Sekarang hanya setinggi perut.

Faris terus menciprat air hingga rambut dan tubuhku basah. Ada masanya, ia terdiam. Memandang bra yang tercetak jelas karena air membuat kemeja putihku transparan. Segera aku berpaling, berjalan ke arah pohon apel. Sempat kulihat, jakun Faris naik-turun.

-oOo-

"Kamu masih sering melakukannya? Makan apel saat gelisah." Faris mendongak, bertanya kepadaku yang duduk di batang pohon.

Aku tersenyum pahit. Kebiasaan itu masih ada sampai sekarang. Aku akan menggerogoti apel seperti rayap kepada kayu ketika merasa sebal dan gelisah. Malam hari setelah kutahu Elegi anak Ersang, aku mengunyah apel terus-menerus. Besoknya, Ersang menemukan sampah-sampah apel berserakan di kamar kami. Ia hanya kesal karena aku jorok. Tidak ada pertanyaan mengapa aku makan sebanyak itu karena selama ini hanya tahu aku sangat suka apel.

"Rumah itu masih ada? Hebat sekali." Aku menunjuk agak ke dalam hutan, sebuah rumah kayu tak berpenghuni. Dulu kami percaya itu rumah penyihir. Padahal hanya rumah bekas seorang tukang kayu yang meninggalkannya begitu tahu ada beruang berkeliaran.

"Kenapa? Masih ingin tinggal di sana?"

"Ya. Aku masih menginginkannya."

Faris tertawa. Aku mengabaikannya. Kutatap rumah itu lama, sebelum kami pulang. Bagiku, rumah itu mirip denganku. Kesepian. Aku acap berpikir dapat tinggal di tempat terpencil, tanpa seorang pun, hanya aku dan keegoisanku. Kupikir yang seperti itu lebih baik.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top