Kau Dengannya

"Kita tidak akan pernah siap terluka. 

Tidak, ketika jantungmu dipenuhi cinta  menggebu-gebu."

-oOo-

#JandaKemboja

"Elegi anakmu, Sang!"

Aku membeku di depan tong sampah. Suara Aurum mencapai halaman belakang rumah, sebuah seruan mengubah niatku membuang sampah jadi menguping. Kutatap jendela kamar Elegi yang tertutup, berharap telinga mampu menembus gorden tebal di sana.

"Dia anakmu! Biar aku tidak pernah memberi tahu, tapi, naluri seorang anak tidak bisa bohong! Apalagi saat demam tinggi begini! Dia butuh seorang ayah dan sialnya kau tidak pernah sadar darah dagingmu sendiri!"

"Omong kosong! Kau gila, heh? Mana ada anakku!"

"Ada! Dia anakmu! Bagaimana bisa aku lupa apa yang terjadi malam itu? Enam tahun lalu, kamu tidak bisa menahan diri. Kita sudah sering melakukannya, tapi, malam itu kamu mabuk berat!"

Aurum ditampar. Suara keras itu terdengar sampai sini. Hening. Kebisuan itu lantas disusul isak tangis. Sementara di dalam sini, di dada ini, jantungku bergemuruh. Seperti ada yang mau meledak, tapi, tertekan dan tertahan.

"Kuperingatkan kamu," ancam Ersang. "Tak ada anakku. Tak ada apa pun antara kita. Elegi adalah anak lelaki lain, bukan anakku—Araminta harus percaya itu seumur hidupnya. Kamu akan tahu akibatnya jika bicara sembarangan."

Tanganku refleks menutup mulut demi mati-matian menahan tangis yang mungkin terdengar. Jadi, itu nyata. Ersang secara tidak langsung membenarkannya.

Aku menjatuhkan kantong sampah yang sejak tadi kugenggam, biar saja isinya berhamburan. Tidak tahan lagi ingin menjerit dan membanting apa saja. Aku berlari masuk rumah, mengunci pintu kamar. Tak bisa kubiarkan Ersang masuk. Bagaimana bisa aku tidur sekamar dengan suami sepertinya?

-oOo-

Baru tiga hari aku menikah dan belum ada 48 jam menempati rumah di sebelah Aurum ini. Kupikir menyenangkan bertetangga bersama sahabat apalagi dia punya Elegi yang manis. Siapa sangka? Aurum maupun Ersang sama sekali tak terlihat seperti dua orang yang pernah menjalin hubungan.

"Kamu yakin mau pergi sekarang?" Ersang berdiri di ambang pintu, memperhatikanku melesakkan pakaian ke dalam koper. "Aku bisa ikut denganmu jika pergi tiga hari lagi."

Jawaban atas pertanyaannya kutunda sebentar di kerongkongan. Jangankan tiga hari, sedetik pun rasanya ingin mati berada di sini. "Aku kangen Oma. Boleh, kan?"

Oma yang kumaksud adalah nenek Ersang, tinggal di Jogja. Beliau adalah satu-satunya yang bisa kuanggap orang tua dibanding ayahku yang berada di balik bui. Dan aku bersyukur dekat dengan Oma—Beliau bisa jadi alasan, kendati tak bisa dipungkiri aku memang rindu.

"Oke, terserah. Aku akan cepat menyelesaikan pekerjaan di sini lalu menyusulmu."

Bibirku memberinya senyum letih. Perih sekali. Sebelum semua ini melukai, aku dan Ersang berencana mendatangi Oma lebih dulu, barulah merayakan bulan madu di Maldives selama sebulan. Kini, aku ingin muntah membayangkannya.

"Bisa keluar sebentar? Aku mau ganti baju."

Ersang mengernyit. "Sayang, come on, aku sudah lihat tubuhmu."

"Sang?" Aku memohon.

"Oke, oke,"—Ersang tertawa kecil—"kamu masih malu, rupanya. Aku tunggu di bawah, hmm?"

Aku segera memutar kunci begitu dia pergi. Tubuh merosot di balik pintu, aku terduduk memeluk lutut. Tangisan diam-diam kembali memeras jantungku.

-oOo-

"Tante Araminta!" Elegi berlari dari rumahnya ke depan rumahku, memelukku yang terenyak ke belakang karena tidak siap. Darah berdesir mencapai ubun-ubun. Harus bagaimana aku memasang wajah di hadapan anak kecil ini?

"Tante mau pergi?" Elegi mendongak mencari mataku. "Tidak mau temani Egi lihat gajah? Kan, Tante sudah janji mau ikut ke Ragunan!"

Mata bocah ini amat bening dengan semburat cahaya kepolosan yang masih saja membuat terenyuh ingin membelai dan membalas dekapannya. "Memang Egi sudah sembuh? Tidak demam lagi?"

"Sembuh, dong! Kan, sudah makan sup buatan Tante!"

Ah, aku ingat sup itu. Hari itu aku meminta Ersang mengantarnya setelah tahu Elegi sakit. Hari di mana mataku terbuka selebar-lebarnya.

Menatap mata itu lagi, kubelai rambutnya, memberinya pengertian. "Egi pergi sama Bunda dulu, ya? Tante ada urusan. Nanti, Egi bisa video call kalau sudah sampai di kandang gajah, ya?"

"Urusan? Kayak Ayah, dong! Ayah juga banyak urusan, makanya nggak pulang-pulang!"

Acap kali, Elegi bertanya ke mana ayahnya, kenapa bunda yang menemaninya main bola padahal teman-teman lain bermain bersama ayah mereka. Aurum selalu menjawab penasaran itu dengan mengatakan bahwa ayahnya sibuk banyak urusan. Aku tahu betul itu hanya karangan, namun, kini aku sedikit berharap cerita itu nyata—Ayah Elegi adalah orang lain yang amat sibuk, bukan Ersang, bukan suamiku.

"Egi! Kamu gangguin Tante?" Aurum datang sembari menyeka tangannya menggunakan lap dapur. "Jangan, dong, Tante nanti ketinggalan pesawat!."

Egi melepas pelukannya, berlari memeluk Aurum. Aku tersenyum melihatnya—walau senyum palsu. "Berangkat sekarang, Ra?" tanya Aurum.

Aku menunjuk dengan dagu, mobil yang terparkir di ujung gang. Sopir yang mengantarku ke bandara setia menunggu sementara Ersang sudah pergi setelah mendapat telepon.

"Oke. Kabari kalau sampai, ya."

Aku mulai membencinya--senyuman Aurum. Mengapa selama ini disembunyikan jika akhirnya ia mengatakannya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top