01. Petaka di Januari

🏫🏫🏫

"Orang gila mana, hari pertama masuk sekolah langsung main basket!"

Mengencangkan genggaman pada tali tasnya, siswi dengan seragam putih abu-abu itu mendelik tajam pada seorang siswa di bawah ring basket. Bola yang tadi dilempar si pemuda, menghantam papan ring dan memantul ke arah lain, hampir saja mengenai kepalanya.

"Kenapa lo? Kena bola, ya?" tanya remaja putra itu. Ia berjongkok mengambil bola yang tak jauh dari kaki si gadis.

Arunika Syabira, gadis manis berkulit kuning langsat itu menoleh ke arah si pelaku. Tangannya terkepal kuat saat cowok itu berdiri di hadapannya, bola yang ia pungut tadi sudah diapit di pinggang sebelah kanannya.

"Lo, kurang kerjaan? Saran gue, sih, minimal lo lihat papan pengumuman dulu, deh. Bukannya main bola nggak jelas!"

"Lo halu apa masih ngantuk? Pulang, gih, sana. Nggak usah masuk sekolah dulu," ujarnya si cowok.

Ia berbalik, memutar-mutar bola basket di tangannya. Sudah bersalah, jangankan minta maaf, anak laki-laki itu justru mengatai Syabira halu. Dan sekarang, ia malah pergi begitu saja, benar-benar menyebalkan.

"Woi, Januari! Urusan kita belum selesai, ya."

Siswa itu celingukan, kedua alisnya hampir menyatu. Ia berhenti dan kembali menghampiri Syabira. Kepalanya mendongak ke langit, kemudian kembali menatap Syabira yang berdiri di hadapannya.

"Lo manggil gue?" Telunjuknya mengarah ke wajah tampannya.

"Siapa lagi kalo bukan lo, Janu—"

"Janari! Bukan Januari," potongnya mengoreksi ucapan Syabira.

Janari Manggala Bumi, anak pemilik yayasan SMA Cendana Bakti. Rasanya seantero sekolah pasti mengetahui nama lengkap siswa tersebut, kecuali Syabira. Ia hanya sebatas tahu, jika putra pemilik yayasan ada di kelas XI MIPA 1. Selebihnya, Syabira tidak peduli. Termasuk dengan topik betapa sosok Janari dielu-elukan di kalangan para siswi di kelasnya, bahkan kelas lain.

"Sumpah demi apa pun, semoga ini pertama dan terakhir gue berinteraksi dengan cowok songong modelan dia. Amit-amit, najis!" Syabira berbalik meninggalkan lapangan basket.

Berapa kali kakinya mengentak kesal, ia melanjutkan langkah menuju gedung kelasnya. Setelah tiga minggu libur sekolah semester ganjil, harusnya di tahun ajaran baru ini Syabira senang. Seharusnya!

Namun, nyatanya tidak demikian, Syabira benci bulan Januari. Ia benci harus kembali mengingat bulan di mana ia kehilangan ayahnya. Dalam hidup gadis itu, ada saja momen buruk yang dilalui di bulan Januari setiap tahunnya. Syabira selalu berdoa setiap pergantian tahun, semoga Januari bisa diajak kerjasama. Tidak ada lagi kejadian atau kehilangan di bulan tersebut. Bukannya didengar, Tuhan justru mengirimkan sosok Janari di minggu kedua bulan Januari tahun ini.

Januari ... Janari! Semua sama saja, sama-sama menyebalkan bagi Syabira.

"Syabira!" Suara lain terdengar memanggilnya. "Aaakh, Syabira ... gue kangen banget sama lo. Dua minggu kita nggak ketemu, tahu!"

Suasana hati Syabira kadung rusak perkara bola basket dan Janari. Gadis itu masih tak berekspresi banyak, bahkan pelukan dari temannya pun tak ia balas.

Gadis berambut lurus panjang itu mencebik, bibir bawahnya turun. "Lo nggak kangen gue, Sya? Gue excited sendirian, nih?"

Buru-buru kedua tangan Syabira bergerak heboh, memberi tahu dengan gestur tubuh jika ia tidak bermaksud demikian. Syabira pun merindukan temannya itu. Arumi Nassa, teman baik Syabira sejak hari pertama MPLS.

"Hmm, sorry ... sorry, Rum. Gue juga kangen lo, kok. Gue lagi nggak mood aja tadi."

Menjentikkan jarinya di depan wajah Syabira, Arumi berseru, "Gue tahu! Pasti gara-gara bulan Januari, ya?" Arumi merangkul bahu Syabira, "tenang, ada gue, Sya. Percaya nggak akan terjadi apa-apa, kok. Percaya sama gue."

Tadinya gue mau percaya, Rum. Cuma ... lagi-lagi bulan Januari berulah. Semua gara-gara cowok songong itu! Kesel banget gue.

Kedua gadis itu melanjutkan langkahnya hingga berhenti di depan kelas. Seorang siswi menghadang langkah keduanya di ambang pintu. Keduanya bingung dengan ekspresi yang temannya tunjukkan.

"Kenapa lo? Baru juga hari pertama, Sal. Masa iya udah nagih uang kas aja," ujar Arumi melewati si bendahara kelas di ambang pintu.

Semua penghuni kelas XI MIPA 3 sudah hapal betul, jika temannya bernama Salsabila itu sering menunggu di depan kelas untuk menagih uang kas, tapi benar kata Arumi, tidak di hari pertama masuk sekolah juga.

"Kok, lo masih ke kelas sini, Sya?" Salsabila masih dengan ekspresi terkejutnya.

"Lah, kocak! Kalo bukan ke kelas ini, terus gue di mana, Salsabila?" jawabnya tak habis pikir.

Syabira menertawakan Salsabila, gadis itu menarik satu kursi ke meja Syabira. Baru ada beberapa siswa saja yang datang, itupun sibuk dengan obrolan masing-masing.

"Lo yang kocak, anjir! Lo belum lihat papan pengumuman?" Salsabila menelisik wajah Syabira, dia menggeleng samar.  "Dari muka loh, sih. Gue yakin lo belum lihat, sih, ini."

"Emangnya ada apa? Terus hubungannya sama gue apa?"

Gelak tawa Salsabila semakin kencang, menarik perhatian siswa yang lain. Serupa Syabira, Arumi pun turut kebingungan dengan apa yang dimaksud Salsabila.

"Sabtu kemarin, kita anggota OSIS datang ke sekolah buat rapat." Salsabila mengibaskan tangannya di depan wajah. "Halah, nggak penting itu! Intinya setelah rapat gue lihat Ibu Suratmi, wakil kesiswaan, nempel pengumuman nama siswa yang bakal pindah kelas. Dan di sana ada nama lo, pindah ke XI MIPA—"

"Rum, buruan kita lihat."

Belum juga rampung informasi dari Salsabila, gadis berambut sebahu itu sudah menarik tangan teman sebangkunya, meninggalkan Salsabila dengan wajah cengonya.

Syabira tergesa menuruni anak tangga menuju timur gedung kelasnya. Papan hijau berukuran 180 x 240 cm itu sudah dipenuhi siswa-siswi yang mungkin memiliki tujuan yang sama dengan Syabira.

Setelah sampai di depan papan pengumuman, Syabira bersyukur dengan tinggi badannya yang mencapai 164 cm. Setidaknya, dia tidak perlu berjinjit untuk melihat pengumuman di depannya, meski terhalang oleh kepala siswa yang lainnya.

Netra gadis itu menelisik setiap barisan nama yang dimuat pada kertas HVS tersebut, sampai di lembar kedua barisan paling tengah, pupil matanya membesar.

Arunika Syabira dari kelas XI MIPA 3 pindah ke kelas XI MIPA 1.

"Rum ...," panggil Syabira pada teman di sampingnya. "Gue pindah kelas, Rum."

"Ya, Sya? Gimana? Ada nama gue nggak? Gue pindah juga nggak?" Arumi masih celingukan mencari namanya di papan pengumuman, sesekali kakinya yang pendek melompat-lompat kecil agar pandangannya sampai pada apa yang dicari. "Ya, elaah! Woi, yang paling depan gantian, dong! Gue juga mau lihat pengumuman. Kepala lo ngehalangi, anjir!" teriak Arumi pada siswa paling depan papan pengumuman.

Siswa yang diteriaki itu berbalik badan, netranya bersirobok dengan milik Syabira. Tentu saja menimbulkan desisan kesal dari si gadis, teringat bagaimana menyebalkannya cowok itu di lapangan basket tadi.

Siswa lainnya membuka jalan saat Janari mengayunkan tungkainya beberapa langkah ke depan. Arumi tak menyiakan kesempatan, dia bergegas menerobos ke depan papan pengumuman.

"Hai, Arunika Syabira. Kita jadi teman sekelas," bisiknya tepat setelah posisinya berdiri sejajar dengan Syabira. "Selanjutnya, kita akan lebih sering berinteraksi."

"Dih, ogah banget. Amit-amit! Gue nggak akan berinteraksi dengan lo lagi, ya!"

Mimpi apa gue semalam. Gila, petaka di bulan Januari masih bermain ternyata.

Tanjung Enim, 01 Januari 2025
Rinbee

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top