XXXV. Biar Aku yang Berjuang [FIN]
Alif merasa kosong. Tidak pernah masuk dalam kamusnya sekali pun bahwa pernikahannya akan berakhir seperti ini. Semua orang terkejut bukan main, bahkan Alif mengurung diri ketika ijab qabulnya selesai. Dia mengabaikan keributan adu mulut di bawah, juga gedoran pintu kamarnya.
Sekarang, jam menunjukkan waktu setengah dua dini hari. Perut Alif terasa lapar, dia belum makan apa pun hari ini. Dia beringsut, membuka pintu dan langsung mendapati Zulfikar tidur di lantai tanpa alas tepat di depan pintu kamarnya. Meringkuk dengan selimut tebal yang menutupi tubuh. Alif memandangi wajah meneduhkan Zulfikar, mata sembab dan cekung, pipi tirus, dan bibir biru itu ....
Alif yang menyadarinya langsung berjongkok, tubuh Zulfikar menggigil. Disentuhnya kening lelaki yang kini resmi menjadi suaminya. Panas. “Mas ....” Alif mengguncang pelan tubuh Zulfikar.
Zulfikar membuat sedikit pergerakan, perlahan matanya mengerjap. Mendapati Alif di sana, dia berusaha duduk. “Alif ...,” panggilnya yang nyaris terdengar seperti bisikan lalu tersenyum tipis. “Akhirnya kamu mau melihatku ... akhirnya kamu mau memanggil dan bicara padaku.” Detik berikutnya Zulfikar terbatuk cukup lama.
Alif panik. Semua orang sedang terlelap saat ini. Melihat keadaan Zulfikar, nurani Alif tergerak atau lebih tepatnya terasa sakit. Sampai-sampai matanya berembun. Tanpa menunggu lagi, dipapahnya Zulfikar ke kamar Alif. Kamar yang seharusnya menjadi milik dirinya dan Husain, tetapi mendadak jadi miliknya dan Zulfikar.
Begitu membaringkan tubuh Zulfikar dan hendak ke dapur mengambil air hangat, Zulfikar menahan tangan Alif. “Alif ... tolong, jangan pergi.”
Alif menggigit bibir bawahnya, dia sangat bingung dengan situasi sekarang. “Tolong jangan membuatku semakin membencimu, Mas!” Alif menepis kasar tangan itu dan berlalu. Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan nampan berisi baskom dan segelas air. “Minumlah.” Alif menyerahkan sebutir parasetamol dan segelas air yang dibawanya.
Zulfikar menurut, langsung meminumnya. Kemudian, Alif mengambil tempat di samping Zulfikar dan mengompres keningnya.
“Tolong tetaplah di sini.” Lagi, Zulfikar menggenggam erat tangan Alif.
“Aku akan pindah ke kamar lain,” balas Alif seraya berusaha melepas tangannya, tetapi tak berhasil. “Lepas!” Alif memberontak. Namun, Zulfikar tak melepasnya. Mau sesakit apa pun lelaki itu, tenaganya jauh lebih besar dari Alif.
“Aku tidak akan melepasmu lagi, Alif. Tidak akan pernah.”
“Kenapa?” sergah Alif. “Kenapa kamu sangat egois?”
“Ya, aku memang egois! Jadi tetaplah di sini!” Zulfikar tak mau lagi melepasnya. Dia tetap menggenggam erat tangan dingin Alif. Sisi egoisnya berteriak, bahwa dia berhak atas Alif sekarang. Dia suaminya sekarang.
“Aku membencimu!”
Zulfikar pilih memejamkan mata, entah benar-benar tidur atau hanya ingin Alif menyerah. Hingga jam menunjukkan pukul empat pagi, Zulfikar mengerjap dan sadar, Alif tidur di sampingnya dalam keadaan kepala berbantal kasur dan duduk di ambal lantai kamar. Tangannya masih dia genggam.
Tangan lainnyanya yang bergetar lemah itu diletakkannya ke ubun-ubun Alif. Selembut mungkin agar Alif tak terusik. “Allahumma inni as-aluka min khairihaa wa khairi maa jabaltahaa ‘alaihi. Wa’audzubika min syarrihaa, wa syarri maa jabaltaha ‘alaihi.”
Zulfikar membacakan doa itu seperti berbisik, kemudian mengecup puncak kepala Alif yang masih tertutup jilbab. Meski mereka memang belum melakukan salat dua rakaat pasca akad, tetapi minta keberkahan lewat doa tak masalah, bukan?
“Alif ... ana uhibbuki fillah.”
* * *
“Jangan menatapku seperti itu, Alif, atau kamu akan menahanku untuk berdiri di bandara selamanya,” seloroh Husain yang masih tak bisa mencairkan suasana. Dulu dia yang mengatarkan kepergian Alif, sekarang giliran Alif yang mengantar kepergiannya. Sedikit lucu rasanya.
Ya, Husain memilih pergi, membawa hatinya ke udara dan mendaratkannya di tempat lain. Mungkin. Alif akan selalu menjadi kisah hidupnya yang indah. Meski dia tak pernah bisa menyentuh hatinya juga tak bisa bersama, dia akan tetap mencintainya. Di balik kacamata hitam itu, matanya tak sedikit pun lepas dari wajah itu. Sekali saja, sebelum dia pergi dan tidak tahu kapan akan kembali.
Alif menyerahkan paper bag di tangannya pada Husain. “Anggaplah ini sebagai permintaan maafku.”
Husain menerimanya. “Terima kasih. Berbahagialah Alif, aku mengikhlaskanmu bukan untuk melihat air matamu. Semoga ada kabar baik setelah ini, seperti ... memberikanku keponakan yang lucu misalnya?” Walau itu bukan milikku, tapi aku akan menerimanya seperti aku menerimamu.
Alif hanya membuang muka, bingung harus membalas apa. Jika saja Husain tahu bagaimana malam pertama yang Alif lewatkan.
Husain hanya tersenyum tipis, lalu beralih ke Zulfikar. “Kalau sampai kamu membuatnya menangis, maka jangan salahkan aku, jika aku membawanya pergi jauh darimu sampai kamu tidak bisa menemukannya lagi.”
“Aku akan menjaganya. Kamu bisa memegang kata-kataku.”
Husain kembali tersenyum. “Kalau begitu aku pergi, assalamu’alaikum.” Setelah salamnya dijawab, Husain beranjak dan menggeret kopernya.
Zulfikar memandang kepergian saudaranya itu. Husain ... dia adalah Salman, yang mengikhlaskan cintanya sendiri demi orang lain. Jika Salman Al-Farisi mengikhlaskan cintanya untuk Abu Darda sang sahabat, maka Husain adalah Salman lain yang mengikhlaskan cintanya untuk Zulfikar saudaranya sendiri.
Maafkan aku, Husain. Semoga Allah menggantikan lukamu dengan hal yang lebih indah dan lebih baik. Aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu.
Sementara Alif, dia masih mematung di tempat meski Maryam sudah coba menenangkannya kalau ini adalah putusan Husain. Gadis itu masih memandang arah kepergian Husain, meski lelaki itu sudah tak dapat dijangkau mata.
Menyisakan tanya di hati Zulfikar. Sudah cintakah kamu padanya, Alif? Untuk menepis itu, Zulfikar meminta izin pada ibu dan abinya Husain. Zulfikar ingin mengajak Alif ke suatu tempat dan bicara empat mata.
* * *
Sejak di perjalanan, dari bandara ke dermaga Benteng Kuto Besak hingga kini mereka duduk menghadap sungai Musi, tepat di bawah sebuah pohon dekat pagoda sembilan lantai di pulau Kemaro, wanita itu hanya diam. Suasana pulau ini tidak terlalu ramai, mungkin karena bukan akhir pekan jadi tidak banyak wisatawan yang kemari. Dan Zulfikar memilih spot yang sepi agar bisa berbicara leluasa dengan Alif.
“Kamu tau, aku merasa jadi orang paling jahat di dunia ini,” kata Alif tiba-tiba membuka pembicaraan. “Husain ... dia lelaki yang baik dan tulus, tapi aku malah menyakitinya. Aku mematahkan hatinya. Aku ... benar-benar seorang penjahat.” Air mata itu kembali turun.
“Ya, aku mengerti itu, Alif. Sebab aku juga merasakan yang sama.”
“Dan aku membencimu!”
Ucapan Alif berikutnya membuat Zulfikar mengatupkan bibir. Alif memang berhak membencinya. Apa yang bisa Zulfikar harapkan dari hati yang terluka karenanya? “Maaf ....” Hanya itu yang bisa Zulfikar utarakan tanpa melepas tatapan berembunnya dari wajah Alif. “Maafkan aku, Alif.”
“Kenapa kamu harus kembali?” Alif menatap Zulfikar yang terkesiap begitu mendengarnya. Sebegitu tidak inginnya kah Alif bertemu dengannya? “Kenapa kamu tidak tinggal dengan wanita itu dan calon anakmu, hah? Bukankah kamu bilang mencintainya?”
“Karena aku ... terlalu takut melihatmu bersanding dengan orang lain, meski itu juga saudaraku sendiri.” Persetan dengan ucapannya waktu itu. “Galuh dan bayinya sudah tiada. Dan soal cinta ... bagaimana aku bisa mencintai yang lain, jika setelah Tuhanku hanya ada namamu di sana?”
“Bohong! Jika kamu tidak mencintainya, kenapa ... kenapa kamu sampai membuatnya hamil?”
“Lalu aku harus bagaimana ketika seorang istri meminta haknya?” balas Zulfikar dengan pertanyaan.
Alif tertawa meremehkan. “Jika memang kamu mencintaiku, harusnya kamu tidak melakukannya.” Suara Alif semakin memelan.
“Dan memikul dosa yang lebih banyak lagi? Apa kamu tau bagaimana perasaanku waktu itu? Apa kamu tau bagaimana bebanku waktu itu? Dan apa kamu tau aku telah melakukan dosa yang ... mungkin tidak akan Allah maafkan?” Ya, Zulfikar mengingat ritual pernikahan itu. Tanpa sadar, dia telah melakukan kesyirikan.
Alif bungkam. Dia sangat ingin pergi dari sana mendengar nada tinggi Zulfikar untuk yang kesekian kali. Alif pun bangkit dan berusaha menjauh, tapi lagi-lagi Zulfikar menahannya.
“Maaf, karena membentakmu, Alif.”
“Ini bukan yang pertama kali, bukan?”
Zulfikar tertunduk lesu, perasaannya semakin tak karuan. “Aku hanya ingin kamu tau Alif, kalau aku tidak pernah berbohong soal perasaan yang kumiliki untukmu. Waktu itu aku sengaja melepasmu, karena aku masih punya tanggung jawab di Jamanika. Menjaga adik Galuh yang sebatang kara, membangun masjid, membangun TPA, melakukan penyuluhan, dan masih banyak hal lain yang kulakukan di sana.” Zulfikar menarik napasnya dalam-dalam.
“Dan ... bukannya aku tidak ingin bersanding denganmu saat itu, hanya saja ... aku punya beban lain, Alif. Rasa bersalah yang mungkin akan menghantuiku seumur hidup. Bagaimana aku akan menghadapimu jika masalahku saja belum selesai, Alif?”
“Lalu jika Galuh masih hidup, apakah akhirnya kamu akan menetap di sana?”
“Aku bisa bertanggung jawab, tapi dengan cara lain.”
“Cara lain?” Nada Alif naik satu oktaf. “Apakah itu akan mengembalikan yang sudah terjadi? Mas, aku juga perempuan dan aku juga tau seandainya di posisi wanita itu. Bagaimana bisa kamu meninggalkannya dengan seorang anak jika memang dia masih hidup? Lelaki macam apa kamu?”
Gemuruh di dada Zulfikar sungguh ingin meledak. Tapi dia tidak ingin membentak Alif lagi. Dia menarik dan mengembuskan napasnya. “Maaf, aku memang berengsek.” Kemudian, ditatapnya manik Alif yang masih berkilat seraya tersenyum getir. “Ya ... harusnya aku tidak melupakan filosofi kaca, yang jika retak, tak lagi bisa sempurna sekeras apa pun coba menyatukannya.”
“Bagus kalau kamu mengerti.”
“Maaf ....” Lagi-lagi hanya itu yang bisa Zulfikar utarakan.
“Jujur, kamu membuat rasa lelah yang berhasil kuobati kembali lagi. Aku lelah ... lelah karena pernah berjuang mencintaimu sendirian. Aku lelah karena dengan bodohnya masih mencintaimu sekalipun kamu melukaiku begitu dalam! Aku ... le ... lah ....” Tangis Alif kembali pecah.
Apakah Alif juga tidak tahu bagaimana Zulfikar memperjuangkan cintanya? Ketika dia harus memilih antara misi dan cinta? Tapi dia tidak ingin memperpanjang perdebatan. “Maaf ....” Untuk yang kesekian kalinya Zulfikar berucap. Entah mendapat keberanian dari mana, Zulfikar langsung menarik Alif dalam pelukannya. Menyandarkan kepala Alif di dada bidangnya. Membiarkan indra pendengaran wanita itu mendengar detak jantungnya yang memburu, detak yang selalu begitu kala berdekatan dengan Alif.
Sampai sikap Alif memberinya kesimpulan, kalau Alif sedang cemburu dan itu artinya dia masih mencintai dirinya. “Maafkan aku.”
“Aku membencimu!” Alif masih memukul keras-keras dada Zulfikar. Berusah melepas pelukan itu, tetapi sia-sia. Dia terlalu dan akan selalu lemah di hadapan pria ini. Hanya tangisnya yang bisa terus menyuarakan hatinya.
“Aku lebih suka kamu memakiku seperti ini daripada mendiamkanku, Alif. Marahlah sampai kamu lelah, bencilah sampai kamu lelah. Aku tetap tidak akan pergi sekalipun kamu mengusirku.” Zulfikar menarik napasnya dalam-dalam. “Terima kasih karena pernah memperjuangkan lelaki sepertiku. Dan mulai sekarang, biar aku yang gantian berjuang memenangkan hatimu lagi. Biar aku yang berjuang ... walau mungkin butuh waktu seumur hidup.”
Zulfikar mengecup puncak kepala Alif, kemudian menjatuhkan dagunya di sana. Alif memang mungil, sangat mudah bagi Zulfikar membawa dan menahannya dalam pelukan. “Ana uhibbuki fillah, Alif.”
Nb: Ikonik Pulau Kemaro
* * *
Raganya memang sudah mengudara, tetapi hatinya seperti tertinggal di bandara. Pandangannya tertuju pada paper bag di tangan. Husain membukanya, mendapati sebuah kotak bekal juga sebuah sajadah. Di bagian paling bawah paper bag itu, ada secarik kertas. Husain mengambilnya, dan itu adalah surat yang ditulis tangan oleh Alif.
Aku tidak tahu harus apa dan bagaimana menghadapi kenyataan. Sadar, kalau aku adalah penjahat yang telah memanfaatkan kebaikan hatimu. Aku terus memaki diriku dengan ‘kenapa’, tapi jawabnya selalu sama. Aku juga marah pada diriku, kenapa aku harus menjadi penyebab luka orang lain? Kenapa harus aku yang hadir di antara kamu dan saudaramu itu?
Mas Husain, maafkan aku yang telah jahat. Maafkan aku yang tidak tahu diri. Maafkan aku karena hanya bisa menorehkan luka untukmu. Aku tahu, maafku tidak akan berefek apa pun pada lukamu. Aku hanya bisa menyelipkan namamu dalam doa, agar kamu lebih bahagia di tempat yang baru.
Mas Husain, terima kasih untuk segalanya. Terima kasih juga sudah mencintaiku dengan tulus. Sekali lagi maafkan aku. Semoga kamu menemukan kebahagiaan dengan wanita yang lebih baik dariku, yang juga mencintaimu sedalam cintamu.
Sampai jumpa lagi.
Alifia Nousha
Husain mengusap bagian tetesan air yang diukir dengan tinta. Di sana ada tulisan. ‘Maaf, tapi ini adalah kertas yang kesekian. Sekeras apa pun aku berusaha, air mataku tetap jatuh di atas setiap kertas yang kutulis. Maaf’.
Husain tersenyum simpul. “Kamu menangis untukku, Alif?” Dibawanya surat itu dalam pelukan seraya memejamkan mata. “Jangan meminta maaf, karena ini keputusanku. Kamu bukan penyebab luka, kamu adalah cahaya cinta. Aku akan baik-baik saja, Alif, terima kasih sudah membawaku dalam doamu. Semoga kamu juga bahagia.” Husain menjawab ucapan-ucapan di surat itu dalam hatinya, seraya membayangkan Alif ada di dekatnya. “Maafkan aku juga, Alif, karena membawa cinta ini tanpa berniat menguranginya sedikit pun.”
Husain membuka matanya, melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam dompet. Kemudian beralih pada sajadah yang ada catatannya ‘Aku tidak tahu harus memberimu apa sebagai kenang-kenangan, jadi kubelikan sajadah warna kesukaanmu. Jika kamu tidak menginginkannya, kamu bsia membuangnya’. Husain tersenyum. Aku selalu menginginkan setiap pemberianmu, Alif.
Husain pun beralih ke kotak makanan. Juga ada catatan kecil di sana. ‘Ini cokelat kurma. Rasanya sudah pasti manis, sesuai seleramu. Semoga hatimu bisa lebih baik setelah memakannya’.
Husain tersenyum, lalu membuka kotak itu. Diambilnya satu dan dimakannya seraya memandang gumpalan awan. Kamu bahkan lebih manis dari cokelat ini, Alif. Dan aku tidak menyesal karena mencintaimu.
* * *
Setelah mengurus pernikahan mereka di KUA, Zulfikar dan Alif pun bertolak dari Bumi Sriwijaya menuju Bumi Mataram. Masih dengan Alif yang dingin dan Zulfikar yang akan terus berjuang. Tadinya orang tua Alif ingin ikut campur, tapi kedua kakak Alif melarangnya. Takut hanya akan memperkeruh suasana. Untuk itu, mereka melepaskan, membiarkan Zulfikar dan Alif menyelesaikan masalahnya sendiri.
Kini, Zulfikar sedang berada di penjara, menjenguk anak lain abinya.
“Selamat atas pernikahanmu,” kata Mirza seraya tersenyum.
Zulfikar tersenyum tipis. “Mas tau, sebenarnya pernikahan ini―”
“Milik Husain dan Alif?”
Zulfikar mematung. “M-mas tau?”
“Husain pernah ragu tentang itu ketika mengunjungiku. Akhirnya dia memutuskan melakukannya, dan mengirim undangan itu agar kamu tau.” Mirza menarik napasnya. “Jangan menyalahkan dirimu sendiri, karena itu sudah jadi keputusannya sebelum kamu datang kembali.”
“Dia orang yang baik, sangat baik. Meski sikapnya kadang sangat menyebalkan.” Pandangan Zulfikar menerawang. “Sekarang, aku sedang memperjuangkan Alif. Dia membenciku. Itu wajar, setelah apa yang kulakukan padanya.”
“Maaf,” kata Mirza. “Jika bukan karena―”
“Sudahlah, Mas. Yang sudah terjadi tidak akan kembali. Aku juga sedang coba berdamai dengan diriku sendiri.”
Suasana mendadak hening.
“Aku juga menantikan kepulanganmu, Mas.” Zulfikar coba memecah keheningan. “Jangan berpikir negatif untuk kemungkinan-kemungkinan pasca kamu bebas. Selain masih ada kami, keluargamu, juga ada tanggung jawab besar yang sudah menantimu.”
Mirza mengernyit. “Tanggung jawab apa?”
Zulfikar tersenyum. “Belum saatnya Mas tau. Ah, iya, ada yang ingin menemuimu. Biar kupanggil sebentar.” Zulfikar beranjak, meninggalkan Mirza dengan raut bingungnya. Hingga orang yang mungkin dimaksud Zulfikar masuk ke sana, membuat Mirza mematung cukup lama.
“Kamu?”
____________ujung pena____________
Bismillah ...
Selamat malam para pengunjung SWP Express. Setelah postingan terakhir ini, Jamanika akan tiba di tujuan akhirnya. Author mengingatkan Anda agar tetap dalam hati yang legowo dan santuy sampai cerita ini berakhir di sini.
Author juga meminta maaf untuk segala salah dan belum bisa memuaskan semua orang dengan cerita ini.
Terima kasih bagi yang sudah sabar berkunjung dan memberi dukungan di cerita ini. Sampai jumpa di karya berikutnya dari anggota SWP generasi yang akan datang. Dan selamat menanti GA dari SWP Gen IV.
Wasalam ...
Ada yang mau disampaikan? Ke siapa pun? Author atau pun tokoh-tokoh dalam cerita ini?
Sok atuh, waktu dan tempat dipersilakan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top