XXXII. Tirakat

Avicenna atau Ibnu Sina adalah seorang ilmuwan Islam berjuluk Father of Doctor dengan karyanya yang sangat termahsyur Al-Qanun Fi at-Tibb.  Nama tokoh itulah yang menjadi inspirasi Zulfikar untuk membangun tempat yang mungkin bisa menyembuhkan hatinya juga. 

TPA Avicenna, begitulah tempat itu lahir dari gagasan Zulfikar yang didukung oleh warga dan sudah berjalan selama sebulan ini.

Pemuda yang masih berdiri di depan papan tulis hitam seraya memegang kapur itu tak jengah menebar senyum pada anak-anak di depannya untuk menutup pertemuannya.“Salman Al-Farisi adalah anak seorang bangsawan dari Persia yang menjadi salah seorang dari sahabat nabi. Dia punya kekayaan, jabatan, dan kedudukan yang tinggi di tempat tinggalnya. Meski begitu, hatinya memberontak dengan ibadah kaumnya sendiri.” 

Zulfikar menarik napas dan mengembuskannya pelan. “Karena itu, Salman melakukan perjalanan, memilih meninggalkan keluarga, kekayaan, jabatan, tempat tinggal dan segala kemudahan hidup demi mencari kebenaran yang selalu dibisikkan hatinya. Salman pun belajar dari pendeta yang satu ke pendeta lainnya, hingga suatu ketika, Salman mendapat wasiat untuk menemui seorang nabi yang membawa ajaran Nabi Ibrahim. Apa kalian tau, yang  Salman lakukan selanjutnya?” tanya Zulfikar untuk menghidupkan suasana.

“Tetap tinggal di desa itu dan hidup dengan baik?” terka salah seorang anak. 

Zulfikar pun menggeleng dengan seulas senyum.

“Dia pasti tetap pergi untuk mencarinya,” sahut anak lainnya.

Zulfikar mengangguk, membenarkan ucapan. “Salman itu punya rasa ingin tau yang besar, sama seperti kalian,” ucapnya sembari tersenyum ramah. “Untuk bisa bertemu nabi dalam wasiat itu, Salman rela menukarkan sisa harta yang dia punya, berupa sapi dan kambing pada pedagang yang kebetulan melintas. Namun sayang, pedagang  itu malah menjahati Salman dengan menjualnya sebagai budak. Tapi dari sanalah, Salman akhirnya bisa bertemu dengan nabi itu untuk belajar tentang Tuhannya, yang tidak lain adalah Rasulullah ....”

“Shallallahu alaihi wasallam ....” Anak-anak itu membarengi ucapan Zulfikar.

“Nah, adik-adik, itulah kisah penutup hari ini. Salman Al-Farisi banyak mengajarkan kita tentang pengorbanan dan ketulusan , juga bagaimana seharusnya kita  menuntut ilmu dari orang yang memang benar-benar berilmu. Dari perjumpaan itu juga, Salman akhirnya menemukan kebenaran mengenai Allah, Tuhan yang sesungguhnya.” Zulfikar merapikan buku-buku di mejanya. “Karena sudah sore, Kakak tutup pertemuan hari ini. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” Anak-anak itu pun berkemas, satu per satu menyalami Zulfikar dan keluar dari area masjid. 

Zulfikar juga beranjak dari sana, hendak bertolak ke rumah Danar dan menjenguk Sakha yang masih murung meski Zulfikar selalu ada di sana. Hingga, sesuatu menghentikan langkah pemuda itu.

“Mas Zulfikar ....” 

Yang bersemayam di hatinya ada di sana, berdiri memaku tatapan dengan mata sembab. “Tidak, ini pasti mimpi,” gumamnya. Zulfikar pilih berbalik, dan menjauh. “Ini pasti mimpi,” ucapnya sekali lagi.

“Mas!”

Zulfikar tidak menggubris panggilan itu. Dia terus melangkah, membawa jauh hatinya yang sesak jika benar orang itu nyata. Sampai sebuah tangan meraih lengan dan membuatnya terhenti. Diliriknya tangan yang menempel di pergelangan tangan.

“Kenapa kamu menghindariku, Mas? Ini aku, Alif tunanganmu.”

Tunangan? Mengingat itu hati Zulfikar memanas. Masih pantaskah disebut tunangan?

“Mas, tolong jangan seperti ini. Aku ... aku sudah tau semua kebenarannya. Aku tidak keberatan sama sekali dengan semua itu.”

Tapi aku keberatan, Alif.

“Aku menerimamu apa adanya, sama seperti sebelum semua tragedi ini.”

Tapi aku tidak bisa, Alif.

“Mas ....”

Lirihan itu menggoyahkannya, membuat darah dalam tubuhnya berdesir hebat. Sudah berapa lama dia tidak mendengar suara lembut itu? Dan lagi sentuhan ini, kali pertamanya mereka bersentuhan.

Zulfikar lantas menoleh, memaku tatap mata sembab yang basah itu. Mata sembab dan tangis itu ... dirinya kah penyebabnya?

Dadanya sesak. Hatinya seakan diperas begitu kuat. Dia sangat ingin menghapus air mata itu dan menarik Alif dalam peluk. Dia merindukannya. Tapi dia juga sadar, jika melakukannya sekarang hanya akan menambah dosa. Dia juga sadar, bahwa dirinya adalah penyebab air mata gadis itu. Dia sadar, tidak lagi pantas untuk bersanding dengan Alif. 

Kedatangan Alif juga semakin mengingatkannya pada rasa bersalah. Entah itu pada Galuh, maupun pada gadis itu. Dia harus membuat keputusan sekarang, dan menjauhkan Alif darinya adalah yang terbaik. “Sejak kapan kamu menjadi sehina ini?” 

Suara tertahan itu membuat Alif mematung dengan netra melebar. Hingga sadar, kalau tangannya masih bergelantungan di tangan Zulfikar. Perlahan, Alif meregangkan pegangannya. “Mas, aku cu―”

Zulfikar menarik kasar tangannya dan melempar pandang ke sembarang arah. “Pergilah, aku tidak ingin melihatmu,” teriak Zulfikar dengan hati yang semakin sakit. Bagaimana bisa dia setega ini pada gadis berhati lembut seperti Alif? Tapi dia juga tidak bisa membuat Alif terus mengharapkannya, meski hati kecil Zulfikar juga masih mengharapkan Alif. Pergilah, Alif, kumohon ....

“Mas aku―”

“Pergi!” Zulfikar menatap sengit mata Alif, nadanya meninggi. “Apa kamu tidak paham ucapanku? Atau kamu tuli, hah?”

Alif bungkam. Baru kali ini Zulfikar berkata kasar dan nada tinggi. Zulfikarnya ... telah berubah.

Husain yang sedari tadi melihat keduanya bersama Ayu tak tinggal diam. Pemuda itu mengambil langkah panjang. “Apa yang kamu lakukan, Zul?” sentaknya.

Zulfikar menatap Husain dengan nyalang. “Apa yang aku lakukan? Apa kamu lupa kalau aku tidak pernah ingin bertemu dengan wanita ini lagi?” Terpaksa, lagi-lagi Zulfikar terpaksa berkata kasar. Sakit, hatinya sakit ketika mengucapnya.

Wanita ini? Bahkan Zulfikar menyebutnya wanita ini? Sebegitu hinakah dirinya hingga tak layak terucap dari bibir pemuda yang dicintainya? Lagi, satu isakan Alif lolos begitu saja.

“Sebaiknya kalian pergi, dan bawa wanita ini.” Zulfikar berbalik, berjalan menjauh secepat yang dia bisa.

“Apakah karena Galuh?” Alif akhirnya bersuara, berhasil menghentikan langkah Zulfikar. Gadis itu lantas memangkas jarak, tidak mengapa Zulfikar memunggunginya. “Apakah karena dia kamu seperti ini? Apakah ... kamu ... sudah jatuh cinta padanya?” 

Cinta itu selalu untukmu, Alif. Bukan dia.

“Kenapa kamu diam? Apakah semuanya benar, hah?” Suara Alif bergetar, dia masih menunggu Zulfikar berkata tidak. 

Zulfikar menarik napas. Dengan berat hati, dia harus mengatakannya meski bohong. “Ya, aku mencintainya. Jadi kuharap, kamu pergi dari kehidupanku!” jawabnya, sejurus kemudian berbalik. “Aku hanya akan menikah sekali, dan kamu sudah tau kalau aku sudah menjadi suami orang lain.” Zulfikar menekankan kata ‘suami’ akan Alif menyerah.

Alif semakin terisak. Berulang kali dia menggeleng untuk menepis ucapan Zulfikar. “Tapi dia sudah mening―”

“DIAAAM! Jaga mulutmu, Alif!” 

Alif mematung. Zulfikar membentaknya ... lagi, bahkan dengan nada lebih tinggi. Nama Alif yang biasanya terucap lembut dari bibir pria itu, kini terdengar mengerikan. Alif mati kutu. Pun dengan Ayu dan Husain yang masih menjadi saksi.

“Jika pertunangan itu yang membuatmu tidak pergi, maka biar kuputuskan sekarang juga!” 

Alif mengangkat pandangan, menatap tak percaya Zulfikar yang juga menatapnya sengit.

“Aku, Zulfikar Syahidan Maalik, dengan ini membebaskan Alifia Nousha dari tali pertunangan, serta mengizinkannya untuk menerima pinangan dari lelaki lain.” Zulfikar tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkannya. Sekali lagi dia mengutuk dirinya sendiri. Maafkan aku, Alif. Mengerti dan cepat pergilah, agar aku tak semakin menyakitimu.

Tiba-tiba Alif tertawa lirih, diiringi isakan. Membuat Zulfikar semakin tersiksa, meski harus menjaga wajahnya agar tetap sama―dalam amarah. 

“Kenapa aku begitu bodoh? Haa ... seharusnya aku sadar, kalau jarak bisa mengubah seseorang, termasuk hatinya.” Alif melangkah mundur. “Bodohnya aku karena jatuh cinta padamu bahkan menjaga perasaan itu! Ya ... kenapa aku harus menunggu lagi?” Alif berhenti, menatap lagi manik yang juga terbalalak menatapnya. “Aku akan pergi, menjauh dari hidupmu sejauh yang kubisa ... semoga kamu bahagia, Mas.” Alif berbalik, berlari membawa isakannya.

“Alif!” Ayu yang sedari tadi hanya melihat pun mengejarnya.

Zulfikar hanya bisa memandangi kepergian gadis itu. Terus terpaku pada arah kepergiannya, hingga  tiba-tiba tubuhnya terhuyung. Telinganya berdengung, rasa sakit menjalar di rahangnya. Ditatapnya Husain yang bermuka merah padam dengan tangan terkepal.

“Berengsek kamu, Zul!” Lagi, pemuda itu melayangkan pukulannya pada Zulfikar. “Kenapa kamu terus membuatnya menangis, hah? Tidak cukupkah membuatnya menunggu selama bertahun-tahun? Bahkan, setelah jauh-jauh berusaha kemari, inikah balasanmu?”

Zulfikar bergeming. Benar. Dia benar-benar berengsek. “Aku hanya ingin dia bahagia.”

“Bahagia? Hee ... bodoh! Kenapa kamu begitu bodoh, Zul! Kebahagiaannya bersamamu, tetapi balasanmu apa? Hanya penantian tak berujung dan tangis yang selalu kamu berikan, Zul!”

Amarah Husain menarik sudut tanya di hati Zulfikar. Kenapa Husain sangat membela Alif? Tidak mungkin, ‘kan, Husain .... 

“Baiklah,” kata Husain tiba-tiba. “Karena kamu sudah memutuskannya, maka biar aku yang mengambil alih tugasmu. Biar aku yang membahagiakan Alif!”

Pertanyaannya terjawab. Netra Zulfikar melebar begitu mendengar penuturan Husain. Katakan kalau itu bohong. “Hus, kamu―”

“Ya! Aku mencintai Alif. Apa kamu ingat pembicaraan kita di malam beberapa tahun yang lalu, saat aku ceritakan ada seorang wanita yang mengusik hidupku? Ya, wanita itu adalah Alif. Alifia Nousha. Dan ketika aku sadar kalau aku jatuh cinta padanya, aku terlambat. Kamu sudah lebih dulu mengikatnya.”

Zulfikar mencelus. Dia tidak pernah mengira kalau Husain selama ini memendam rasa untuk gadis yang juga dirinya cintai. Jadi perhatiannya pada Alif selama ini ....

“Sekarang, aku punya kesempatan untuk  memperjuangkannya.” Zulfikar terpaku tanpa berkedip. “Aku tidak akan melepaskannya, atau membuatnya menangis lagi seperti kelakuan orang berengsek yang baru saja membuangnya!” Husain menarik napas dalam-dalam. “Aku pergi.”

Baru beberapa langkah Husain berjalan, dia berhenti lagi, berbalik menatap Zulfikar. “Kalau kamu mau mendukungku, itu akan lebih baik. Aku pasti akan mengundangmu jika hari kemenanganku tiba. Jaga dirimu baik-baik, Saudaraku.” Pemuda itu berlalu, meninggalkan Zulfikar yang masih terduduk di atas tanah.

Tubuh Zulfikar semakin kehilangan daya. Husain ... dia mencintai Alif? Satu ketakutan di hati Zulfikar muncul. Jika Alif menerimanya .... Pikiran Zulfikar tidak sanggup menerawangnya. Tidak, Zul. Kamu tidak boleh egois. Biarkan Alif bahagia, sekalipun itu bersama Husain, saudaramu sendiri.

Tangan Zulfikar terkepal erat, tangisnya pecah. Bukankah keputusannya melepaskan Alif sudah benar? Lalu kenapa hatinya tak kunjung membaik dan malah semakin sakit? 

* * *

Husain tak pernah mengira, seminggu setelah Zulfikar memutuskannya, Alif memilih menjauh. Dia resign, dan ingin pulang ke Palembang dengan dalih menghabiskan waktu bersama orang tuanya. Bandara kota ini menjadi saksi, Husain yang juga turut mengantar ... cintanya yang mungkin tak pernah dilihat atau diketahui si empunya.

“Alif pergi dulu, Umi, Abi ....” Ditatapnya Husain yang juga menatapnya. “Mas Husain.”

“Apa kamu yakin dengan keputusanmu, Lif?” tanya Husain di detik berikutnya. Dia berharap kalau Alif akan kembali. Tidak perlu sejauh itu, ‘kan, untuk melupakan Zulfikar? Lagi pula, Zulfikar juga tidak akan kembali. Namun, harapan Husain harus kandas dengan anggukan wanita itu.

 “Saya tidak pernah seyakin ini, Mas. Ini yang terbaik untuk semua.”

Tapi tidak untukku, Alif.

“Sudah lama juga saya jauh dari keluarga, dan mungkin ini saatnya saya pulang.”

Sandiwara yang indah, Alif, tapi terdengar mengerikan bagiku.

Departure announcement menginterupsi mereka.

“Alif pamit. Assalamu’alaikum,” kata Alif seraya tersenyum kemudian menyalami Nuha. Beralih menatap dan sedikit mengedikkan kepala sebagai salam pada Fikri serta Husain yang memandangnya tak rela. Gadis itu pun berbalik, menjauh dengan menggeret kopernya.

Husain masih mematung di sana, hingga Fikri menepuk bahunya. “Ayo pulang, Le.”

“Abi Fikri, Husain mau di sini dulu. Kalian pulang duluan aja.”

Fikri dan Nuha saling lempar pandang penuh bingung, tetapi akhirnya mengangguk dan pergi terlebih dahulu.

Bukan apa-apa, Husain hanya ingin tinggal, setidaknya sampai pesawat yang ditumpangi Alif take off. Dari balik tabir kaca,  Husain melihat burung besi itu terbang ke langit biru, membawa salah satu hati cucu Adam yang retak. Menjauh, dari bumi yang menorehkan luka di hatinya. Begitu tak lagi tampak, Husain berbalik, menyandarkan punggungnya di kaca seraya memejamkan mata.

Pergilah, Alif, sembuhkan lukamu. Setelah kamu baik-baik saja, aku akan datang. Kamu akan membukakan hati untukku, ‘kan?

___________bersambung____________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top