XXXI. Amar Putusan

Mirza telah duduk di tengah ruangan sidang. Di hadapannya, ketiga hakim sudah duduk gagah dengan toga kebesaran di tahtanya. Di sisi kanannya ada para jaksa penuntut umum duduk dengan pandangan tegak. Di sisi kirinya, ada penasihat hukum juga sudah duduk menanti. Dan di balik pagar kayu belakangnya, para penjaga tahanan dan yang menanti keadilan masih siaga mendengar. 

“Putusan, nomor ....”

Mirza memejamkan matanya kala amar putusan mulai terdengar. Pagi ini memang cerah, tetapi tidak bagi Mirza. Narapidana ... dihukum seumur hidup, atau mati? Adakah maaf dari dosanya yang sudah menghitam dan membatu?

“ ... yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut  dalam perkara terdakwa. Nama lengkap, Mirza Aidan Tsaqif alias Mirza bin Gauzan ....”

Abi .... Mirza tertunduk semakin dalam ketika nama Abinya tersebut. Bukan dalam acara kehormatan, tetapi meja hijau pengadilan. Sebegitu buruknya hingga dia menorehkan noda pada orang tuanya yang telah tiada. Ingatannya pun memutar balik reka di malam ketika Zulfikar menyadarkannya. Masih pantaskah dirinya disebut anak?

“Menyatakan terdakwa Mirza Aidan alias Mirza Aidan Tsaqif terbukti bersalah melakukan tindak pidana ....”

Vonis mati adalah yang terbaik. Setidaknya, dia akan bebas dari mulut-mulut jahat manusia, ‘kan? Setidaknya, dia akan lepas dari semua beban itu, ‘kan?

“ ... menjatuhkan pidana terhadap Mirza Aidan alias Mirza Aidan Tsaqif dengan pidana penjara selama dua puluh tahun, dikurangi selama terdakwa menjalani tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap di tahan ....”

Sesak di dada semakin bergemuruh. Harapnya tak tercapai. Kristal bening yang tak mengeras perlahan jatuh. Mulai detik putusan di bacakan dan tiga kali ketuk palu dibunyikan, Mirza harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. 

Ketika sidang berakhir, Mirza beserta mereka yang diputuskan dibawa keluar dari ruangan. Ketika baru beberapa meter, mata sendunya menangkap Zulfikar yang sama-sama diam.

“Maaf ....” Hanya itu yang terlontar dari bibirnya dengan wajah menunduk. Hingga tanpa disadarinya sebuah pelukan mengejutkannya.

Setelah memberi pelukan, Zulfikar memberi jarak dan memegangi kedua bahu Mirza. “Mas, aku akan menunggu hari kebebasanmu. Kita akan mulai dari awal lagi, oke?”

“Kamu tau, aku sebenarnya lebih setuju dihukum seumur hidup atau mati,” kata Mirza dengan ekspresi semakin sendu, sukses membuat netra Zulfikar melebar seketika.

“Aku hanya memikirkan bagaimana nanti kehidupanku setelah bebas. Putusan hakim memang terdengar mengerikan, tapi penghakiman orang-orang di luar sana jauh lebih mematikan. Berberkal lisan yang tajam, mereka coba membunuh perlahan dengan cara paling menyakitkan. Aku yang nanti masih bisa menjadi mantan narapida, apakah masih  punya tempat?” Matanya berkaca, mengaburkan fungsi netra.

“Jika dihukum seumur hidup, setidaknya sampai ajal menjemput aku tinggal di penjara, jauh dari kehidupan masyarakat. Kalau di hukum mati, setidaknya aku juga tidak merasakan kejamnya lisan orang. Kalau seperti ini, bukankah itu seperti membunuhku perlahan?”

“Harusnya kamu bersyukur, Mas. Allah masih memberimu kesempatan untuk bertaubat sebelum kembali. Setidaknya, kamu punya waktu untuk menebus kesalahanmu.” 

Mirza hanya tersenyum getir.

“Dan jangan lupakan, masih ada aku, abi, umi, Husain dan keluarga di pesantren. Mas jangan berpikir tidak punya rumah setelah bebas nanti. Mas juga tidak perlu takut penilaian orang lain, karena mereka yang hanya tau mencaci juga tidak bisa dibenarkan. Mas tau, lisan manusia bisa membuat mereka terangkat derajatnya, tapi juga bisa menjatuhkannya? Mereka yang berkata buruk, bukankah memang cerminan perilakunya?”

Mirza menggeleng. “Pesantren juga terkena imbas perbuatanku. Soal keluarga, bahkan Abimu―”

“Dia abimu juga,” potong Zulfikar yang membuat Mirza tersenyum masam.

“Dia tidak hadir di sini, Zul. Dia pasti sangat kecewa dan murka. Aku memang pantas dibenci.”

“Kata siapa kami tidak hadir.” Suara itu menginterupsi jeda di antara Mirza dan Zulfikar.

“Abi  Fikri? Umi Nuha?” kata Mirza lirih dan mata membola sempurna begitu mendapati dua sosok itu.

Lelaki yang kini menjadi ayah bagi dua putranya itu pun berjalan cepat mendekati Mirza. Hingga, wajah Mirza terpelanting bersamaan dengan rasa panas dan perih menjalar di pipi. Mirza segera menegakkan pandangannya, tetapi pria tua itu langsung membawanya ke pelukan.

“Jika marah, Abi memang marah. Jika kecewa, Abi juga kecewa.” Fikri menarik jarak, memegangi kedua bahu putra lainnya itu erat-erat. “Tapi itu tidak mengubah fakta, kalau kamu masih tanggung jawab Abi. Abi juga bersalah, karena masih tidak cukup memberikan kasih sayang untukmu.”

Mirza menggeleng, dengan air mata ketulusan yang sudah lama tak ia keluarkan. “Ini bukan salah Abi. Ini sepenuhnya salah Mirza. Maafin Mirza, Bi. Mirza belum bisa jadi anak yang baik. Bahkan untuk orang tua kandung Mirza sendiri.”

“Abi sudah memaafkanmu,” kata Fikri dengan suara parau. “Sekarang, jalani hukumanmu. Dan satu yang perlu kamu ingat, seberat apa pun kehidupan setelah bebas nanti, sekeras apa pun kehidupan menolakmu, kami dan pesantren tempatmu lahir akan selalu menyambutmu pulang.”

Mirza mengusap air matanya dengan punggung tangan yang sudah terborgol. “Terima kasih, karena masih mau memaafkan dan menerima, Mirza.”

Fikri kembali memeluk seraya mengusap punggung Mirza. 

Di sudut lain, ada hati seorang anak yang terasa sesak melihat pemandangan itu. Bahkan, dia pun tak pernah diperhatikan seperti itu oleh orang tuanya. Tak terasa buliran hangat itu kembali mengalir.

Tidak apa-apa. Sudah terbiasa, ‘kan? Selalu seperti itu, ‘kan? Ada yang lebih butuh kasih sayang mereka, dibanding dirimu, Zul. Mengalahlah! Hanya kalimat-kalimat itu yang selalu Zulfikar doktrin dalam pikirannya.

Pemuda itu sudah berbalik hendak beranjak, tetapi suara yang sama seperti yang memanggil Mirza menghentikan langkahnya.

“Zulfikar ....” Zulfikar menahan langkahnya. “Anak Abi yang paling bandel, cerewet, suka ngambek, suka bolos pejaran dan suka ngusilin saudaranya. Pulang ya, Nak ... ke rumah, sama Abi dan Umi.”

Air mata yang memang sudah banjir tak kuasa mengalir lagi. Zulfikar berbalik, dan mendapati kedua wajah tua yang selama ini selalu memantik kebencian. Kedua sosok itu justru semakin mengikis jarak.

“Pulang ya, Nak. Kami rindu. Rindu nakalmu, rindu suara cerewetmu, rindu keusilanmu, semuanya kami rindu, Nak.” Nuha mengusap air mata dengan tangannya. “Udah cukup ya, Nak, pergi dan ngambeknya. Nanti di rumah, Umi masakin nasi tiwul, umi buatkan tekwan, pempek sama es cincau kesukaanmu. Tapi tolong ... pulang ya, Na―”

Belum habis ucapan Nuha, Zulfikar langsung memeluknya erat-erat. “Zul juga kangen Umi. Kangen masakan Umi, kangen cerewet dan marahnya Umi. Zulfikar kangen, Mi. Maafin Zulfikar, Mi.” Zulfikar meraih tangan kanan Nuha, dan menggerakkan tangan itu membentuk pukulan di kepala Zulfikar. “Pukul Zulfikar, Mi, pukul! Zulfikar udah nakal banget, ‘kan, selama ini sama Umi.”

Nuha menarik tangannya, mengusap air mata Zulfikar dengan kedua tangan. “Anak Umi, ‘kan,  udah besar. Makin ganteng dan lebih tinggi dari Abi ternyata. Umi sampe harus jinjit buat pegang kepala kamu.” Padahal Nuha sudah melihat Zulfikar sebelum keberangkatannya, tapi setelah mendengar cerita dari Husain dia jadi semakin sakit. 

Wanita itu pun tersenyum tipis dengan air mata yang belum surut, pun dengan tangis Zulfikar yang makin pecah. Kemudian membawa putranya kembali, dalam peluk hangatnya. “Udah ya, jangan nangis lagi. Nanti diketawain Husain loh.”

Zulfikar tidak peduli, dengan saudaranya yang sedari tadi melihat mereka. Persetan Husain akan mengoloknya.

Fikri yang masih berjarak pun langsung memeluk dua orang itu, melepas rindu yang selama ini terhalang ego. Mungkin orang-orang di sana area pengadilan itu melihat mereka aneh. Tapi, Fikri yang biasanya menjaga wibawa tak lagi peduli. Selama keluarganya kembali, dia akan lakukan apa pun.

Kehangatan ini ... sudah berapa lama dia kehilangannya?

* * *

“Zulfikar belum bisa, Bi. Enggak tau kapan bisanya.”

Penolakan Zulfikar untuk pulang membuat Fikri dan Nuha lempar pandang.

“Tapi kenapa, Nak? Kami udah tau semua ceritanya dari Husain. Kami enggak ma―”

“Aku yang masalah, Mi,” ucap Zulfikar memotong kalimat Nuha. Pemuda itu menunduk, mengeratkan tautan jemarinya sendiri di atas meja. “Zulfikar merasa belum saatnya pergi dari sana. Jiwa Zulfikar terpanggil untuk menetap.” Ditatapnya Nuha dan Fikri bergiliran. “Masih ada tanggung jawab yang harus Zulfikar jaga. Kalau Zul pulang, rasa bersalah Zul jadi makin besar. Zulfikar harap Umi dan Abi mengerti.”

Nuha mengusap jemari Zulfikar, coba menyalurkan kekuatan semampunya. “Apa kamu yakin dengan keputusanmu?” Zulfikar langsung mengangguk yakin. “Kalau itu jadi keputusan akhirmu, Umi enggak bisa larang. Tapi, Nak ... gimana sama Alif? Gimana dengan hati yang menunggumu?”

Disebutkan namanya saja membuat darah dalam Zulfikar berdesir, membuat matanya kembali berair. “Zulfikar mencintainya, Mi. Tapi ... ketidakpastian Zulfikar kembali, juga Zulfikar yang tidak bisa menjaga kesucian cinta di antara kami ... Zulfikar akan melepasnya, Mi.”

Nuha dan Fikri sama-sama terkejut mendengar jawaban itu. “Nak―”

“Alif berhak mendapatkan yang lebih baik, Mi. Udah cukup Zul bikin Alif menunggu. Udah cukup juga Zul bikin Alif nangis, Mi.” Zulfikar menatap lekat manik ibundanya. “Cinta tidak harus bersama, ‘kan? Biar Zul yang simpan sendiri perasaan Zul untuk Alif, Mi.”

“Zul―”

“Zulfikar enggak apa-apa, Mi. Umi enggak usah khawatirin, Zul. Umi cukup percaya, kalau Zul bakalan baik-baik aja.” Zulfikar menarik napasnya dalam-dalam. “Kalau selama ini Zul pergi tanpa izin kalian, tolong ... kali ini ridhoi Zulfikar pergi.”

Hati Nuha sangat ingin mencegah putranya pergi, tetapi dia tahu, Zulfikar itu keras. Sekalinya mengambil keputusan tidak akan berubah. Terlebih kondisinya yang membuat Nuha ingin terus menahannya sebagai ibu. Bagaimana tidak, Zulfikar terlihat lebih kurus, matanya sembab, ada lingkar hitam menghiasi bawah matanya meski samar. Sudah pasti beban hati dan pikirannya begitu berat setelah semua ini.

Nuha bangkit dari duduknya, lantas memeluk dan mencium puncak kepala Zulfikar yang masih duduk. “Meski Umi melarang, kamu pasti tetap akan pergi, ‘kan? Kalau itu bisa mengobati luka hatimu, maka pergilah, Nak. Tapi jangan lupakan kami yang masih jadi rumahmu untuk pulang di dunia.”

Zulfikar yang masih dalam pelukan pun mengangguk. “Zul  enggak akan lupa, Mi. Nanti Zul rajin kirim kabar ke Umi sama Abi. Zul janji.”

* * *

Langkah Husain yang baru keluar dari masjid langsung terhenti ketika melihat sosok di depannya. Wajah putih, bibir pucat dengan mata sembabnya masih menghias wajah itu. Masihkah dia menangisi lelaki itu? Atau, masih ada cinta hingga menjadi musabab hujan di wajahnya?

“Alif ....” panggil Husain kemudian, selembut embusan angin yang menerpa dua insan itu.

Gadis itu mengangguk lemah, kemudian memberanikan diri menatap manik Husain. “Bisa minta waktunya sebentar?”

__________bersambung___________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top