XXX. Aku Tetap Tinggal

Pria paruh baya yang selalu berbusana hitam itu terbelalak ketika salah seorang bawahannya membisikkan sesuatu. "Kita harus segera pergi dari sini." Baru saja berbalik, mata pria itu terbuka lebar begitu mendapati seseorang sudah berdiri di sana dengan tatapan nanar. "Sukma?"

"Mau pergi ke mana kamu?"

Ki Aji mengedarkan pandangannya. Tempat itu sudah dikepung oleh warga tanpa mereka sadari. Bukan hanya yang laki-laki, tetapi juga para perempuan. Berhasil membuatnya ketar-ketir. Keberanian warga yang semula terkuci rapat, kini mendadak menjadi percikan yang mengikis keberaniannya.

"Hari pembalasanmu sudah tiba, Ki."

Warga yang laki-laki langsung bergerak maju, sementara yang perempuan di arahkan menuju gua untuk membebaskan yang terpenjara. Alhasil, tempat itu seketika berubah menjadi medan pertempuran. Yang satu berdiri dalam gelapnya bayangan, yang satu mendobrak paksa untuk mengembalikan cahaya.

Di sudut lain tempat yang sama, Zulfikar berhasil meraih kerah Mirza. Sebuah pukulan langsung dilayangkan ke pemilik mata sendu yang wajahnya sudah lebam.

"Berengsek kamu, Mas!" Zulfikar mengambil kerahnya lagi dan memukulnya lagi hingga Mirza tersungkur. Pemuda itu mengeratkan cengkeraman di kerah Mirza. "Kenapa kamu harus jadi pembunuh, Mas! Kenapa?" teriaknya menyahuti bunyi guntur yang menggerung di langit gelap. Sakit. Satu rasa yang membunuhnya malam ini. Melihat bagaimana orang lain lagi-lagi mengorbankan diri untuknya.

"Kenapa katamu? Bukankah sudah jelas itu karenamu!" Mirza membalas pukulan di wajah Zulfikar dan membalik keadaan. "Karenamu, orang tuaku mati! Dan aku membencimu!"

Sudut bibir Zulfikar tertarik. "Apa masih pantas kamu menjadi anak mereka?"

"Apa katamu?" Mirza memekik, melayangkan pukulan lagi di pelipis Zulfikar yang pasti sukses membuat telinganya berdenging. "Orang asing sepertimu tidak berhak memberikan penilaian!"

Zulfikar menggeleng, berusaha memulihkan penglihatan dan pendengarannya, lalu ditatapnya lagi Mirza. "Kamu berusaha membunuh saudaramu sendiri dengan berlandaskan kematian orang tuamu. Dan sekarang, kamu menodai tanganmu sendiri dengan darah orang lain. Apa masih pantas?"

"Bukankah kamu melihatnya dengan jelas, kalau wanita bodoh itu mati karenamu?" Mirza mendekatkan mulutnya ke telinga Zulfikar. "Sekalinya pembawa sial, tetap saja pembawa sial!"

Ucapan itu semakin menarik gemuruh dalam hati Zulfikar. "Jangan sebut dia wanita bodoh! Dia hanyalah korban yang dimanfaatkan oleh penjahat sepertimu!"

Mirza menyeringai tipis. "Ternyata, kamu sudah mengakuinya sebagai istri. Atau, jangan-jangan kamu sudah jatuh cinta padanya?" Mirza merasa menang. "Bahkan, aku menyebutnya saja, kamu langsung marah." Mirza pun tertawa yang sulit di artikan Zulfikar. "Tapi ... tidak apa. Yang penting, aku berhasil membuat Alif membencimu. Dia, tidak akan pernah menerima pengkhianat sepertimu!"

Gigi Zulfikar bergemeletuk. "Jangan sebut namanya dengan mulut kotormu, keparat! Umimu pasti menyesal karena sudah melahirkanmu!"

"Diaaaam!" Mendadak dada Mirza naik turun. Rahangnya mengeras, kerutan di antara alisnya semakin dalam. "Jangan sok mengerti! Aku yang anak mereka, bukan kamu!" teriaknya tepat di depan wajah Zulfikar.

"Jangan sok mengerti?" Zulfikar memukul sudut bibir Mirza, membuat pemuda itu limbung ke samping. Kembali dicengkeram erat kerahnya. Uap beku di langit yang menutupi candra pun tak tinggal diam dan mulai terkondensasi, seakan mengerti situasi yang sedang panas di bumi.

"Kamu yang tidak mengerti, Mas! Apakah tidak cukup aku berbagi orang tua denganmu? Apakah tidak cukup selama ini aku yang seperti anak tiri? Bahkan, mereka baru sadar keberadaanku, kalau aku yang mendatangi mereka dulu. Padahal aku anak mereka sendiri."

Dada Zulfikar sesak seketika. "Saat aku baru saja beranjak dan masih ada di sana pun, mereka melanjutkan pembahasanmu, lagi dan lagi! Di saat aku sakit, apakah mereka ada di sisiku? Tidak! Lalu, di saat aku wisuda, apakah mereka datang? Tidak! Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku masih punya orang tua setelah kealpaan mereka?"

Zulfikar memberi jeda, mengatur pernapasannya karena terpaksa membuka kitab masa lalu. "Tapi apa ... pikiran sempitmu hanya peduli pada lukamu sendiri. Bahkan kasih sayang mereka padamu masih tidak kamu anggap dan malah membidikku sebagai musuhmu? Padahal aku mengagumimu, menganggapmu sebagai sosok kakak yang ideal, tapi kamu ... kamu selalu menciptakan jarak saat aku ingin dekat dan menghancurkan hubungan ini dengan pengkhianatanmu!"

"Berhentilah mengoceh! Siapa ya―" Zulfikar melayangkan tinjunya sekali lagi, memaksa Mirza bungkam dalam kuasanya. Mirza sekali lagi meringis, menahan perihnya pukulan itu.

"Sampai akhirnya aku merasa lelah. Aku mencari kebahagiaanku sendiri dengan melupakan bahwa orang tuaku masih hidup. Mengingat mereka yang hanya peduli padamu, dibanding aku―anak kandung mereka sendiri hanya membuatku merasa sakit. Kamu kehilangan orang tuamu karena kematian, dan aku ... juga kehilangan orang tuaku dengan kehidupan dan itu lebih menyiksa. Tidakkah kamu berpikir kalau kita ini sama?" Zulfikar melanjutkan dengan lirihan tertahan.

"Aku bahkan mencari figur ayah dalam diri orang lain hanya demi memenuhi egoku. Ketika abiku sendiri tidak menemani tumbuhku. Buya ... dia yang selalu ada. Dia selalu memberi hal yang sudah tidak aku dapatkan dari orang tuaku sendiri. Tapi sekarang, dia sudah pergi untuk selamanya." Ditatapnya manik Mirza dalam-dalam. "Dan sekarang, kamu merasa yang paling kehilangan, huh?"

Zulfikar tertawa hambar, tetapi embun hangatnya masih turun. "Kamu mengaku anak orang tuamu, bahkan membalaskan dendam yang mungkin tidak pernah mereka inginkan. Apakah itu yang mereka ajarkan?" Zulfikar mendengkus. "Aku rasa hal yang kamu lakukan sejauh ini hanya membuat mereka berat setelah kematiannya. Bukankah mereka harus mempertanggungjawabkan diri, kerena telah melahirkan dan membesarkan seorang pembunuh?"

Mata Mirza terbuka lebar, seakan mendapat daya kejut secara tiba-tiba. Sorotan itu tidak Zulfikar mengerti. Entahlah, apakah pemuda itu sadar sekarang? Atau lagi-lagi hanya kamuflase?

"Jika kamu mengaku anak berbakti, mencintai dan menyayangi orang tuamu, tidak seharusnya, 'kan, membuat mereka semakin jauh dari surga? Terlebih, kamu anak laki-laki semata wayang."

Tubuh Mirza melemas setelah ucapan itu selesai, pun dengan Zulfikar yang melepas cengkeraman di kerahnya. Hingga, bunyi letupan pistol menginterupsi keributan di sana.

* * *

Arunika pasca gulita telah membawa angin harapan di Jamanika. Tabir-tabir gelap yang menutupi perlahan tersingkap, menghadirkan cahaya di ujung sesak.

Mereka yang sudah lama terpisah dari keluarganya karena dibui dengan alasan konyol bisa bersama kembali, berikut kebebasan lainnya. Sementara dalang konspirasi: Mirza, Ki Aji dan orang-orangnya diringkus oleh aparat berseragam saat fajar. Skenarionya telah berakhir. Antagonisnya terjebak alur yang diciptakan sendiri.

Eyang Danar yang memang mengetahui rencana malam itu, mengutus Sapta pergi untuk melapor di sektor terdekat secara diam-diam. Meski sempat meragukan, tetapi Danar telah membuktikan, kalau dirinya juga masih menginginkan kebebasan. Termasuk keluarga anaknya.

Lalu Zulfikar, dia sendiri yang turun tangan menguburkan jasad Galuh. Dia suaminya, penyebab kematian istri dan calon anaknya sendiri. Di sisa kekuatannya, Zulfikar masih berusaha menenangkan Sakha. Anak itu menggerung begitu keluar dari bui, mendapati kakaknya terbaring kaku bersimbah darah. Bahkan sepanjang hari pasca pemakamannya, Sakha terus memanggil nama kakak perempuan yang mungkin tak akan lagi bisa menyahuti panggilannya. Biar bagaimanapun, anak itu hanya punya Galuh di sini. Dan sekarang, Sakha akan menjadi tanggung jawabnya.

Tentang Mirza, Zulfikar tidak tau harus bagaimana. Marah? Sudah pasti dirinya marah. Saudaranya telah berhasil melabeli dirinya sendiri sebagai pembunuh. Atau, harus membencinya agar impas? Tidak. Itu bukan solusi. Kebencian yang di balas kebencian hanya akan menjadi rantai yang tak berujung. Tidak akan ada akhir yang bahagia darinya. Kalau memaafkan?

"Ayo, Zul. Kita udah ditunggu," ajak Husain yang sudah rapi, berhasil membuat Zulfikar tersentak. Semua sudah selesai, bukan? Ini saatnya bagi mereka kembali. Untuk mengurus persidangan Mirza mendatang. Husain masih tidak menyangka kalau orang yang dihormatinya akan bertindak sejauh ini, termasuk dengan kejutan-kejutan selanjutnya. Titik-titik cahaya yang dikira bala bantuan Ki Aji, ternyata ada di pihak mereka.

"Aku tetap tinggal, Hus," balas Zulfikar yang berhasil membuat Husain tersentak.

Husain mengernyit. Sampai pikirannya tertuju pada satu spekulasi. "Jangan bilang kalau ini karena―"

"Benar," potong Zulfikar. "Ini karenanya."

"Zul, dia mengorbankan diri karena keinginannya sendiri."

"Dan aku adalah alasannya." Tatapan Zulfikar berubah sengit. "Tolong hargai keputusanku untuk tetap tinggal, Hus."

"Sampai kapan?" Zulfikar hanya menggeleng. Sekali lagi Husain tersentil. "Apa kamu mulai jatuh cinta padanya?" Ragu, tetapi akhirnya diucapkan juga.

"Entah." Zulfikar menyandarkan kepalanya di dinding rumah Eyang Danar. Memandang langit-langit teras joglo yang selalu sama. Suasana rumah itu tidak lagi sepi, karena Aryo―anak Eyang Danar beserta keluarganya telah kembali. Hanya saja kesunyian lain kini sedang senang membercandai Zulfikar. "Aku tidak tau dengan perasaanku sendiri, Hus. Ada Sakha yang membutuhkanku. Jadi pulanglah duluan."

"Lalu ... Alif? Apa yang harus kukatakan padanya? Dia pasti menunggumu, Zul!" Husain masih penasaran. Sudut hatinya seperti tidak terima jika Zulfikar akhirnya berpaling dari nama itu dan mengalah pada keadaan.

"Katakan padanya, jangan menunggu atau mencariku. Sidang Mas Mirza nanti aku akan datang, tapi tolong, jangan beritahukan padanya kalau aku akan datang."

Husain semakin tegak berdiri. "A-apa maksudmu?"

Zulfikar tersenyum miring, menatap wajah Husain yang bingung. Detik berikutnya senyuman itu surut. "Apa maksudmu? Iya. Harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, 'kan?"

Husain bergeming dengan kernyitan dalam di keningnya.

"Apa maksudmu menyembunyikan kehamilan Galuh, Husain?" Suara Zulfikar meninggi. Raga Galuh mungkin sudah bersemayam di bawah tanah, tapi menghilangkan rasa bersalahnya pada gadis itu tidak semudah mengedipkan mata. Terlebih, fakta bahwa Husain tau dan dengan sengaja menyembunyikan sebuah kebenaran.

"Pada akhirnya kamu menyalahkanku?" ucap Husain tak terima. "Dengar, Zul, aku melakukannya demi dirimu. Kondisimu yang gila itu, yang membuatku tidak memberitahukannya. Karena aku tau, kamu pasti tidak menginginkannya dan aku takut kalau kabar itu akan membuatmu semakin kehilangan akal."

Mata Zulfikar menyipit tajam. "Demi diriku? Heh, dari mana kamu menyimpulkan seperti itu?"

Husain mencelus. Dia tidak menyangka jawaban Zulfikar akan menjurus pada persetujuan. "Jadi ... kalau aku memberitahu kehamilan Galuh, kamu akan tinggal di sini bersamanya dan membuang Alif?"

"Biar bagaimanapun janin itu darah dagingku, Husain! Lihatlah, dengan menyembunyikannya kamu berhasil membuatku benar-benar menjadi seorang bajingan. Tidakkah kamu juga menyesal?"

Husain tertawa hambar. Lalu menggeleng. "Aku tidak menyesali keputusanku. Yang aku sesalkan adalah pengkhianatanmu sendiri, Zulfikar! Kamu bilang kamu mencintai Alif, tapi kamu malah membuat gadis tidak tau malu itu mengandung anakmu! Kamu memang pantas menjadi bajingan, Zul!"

"Kamu sendiri tau kalau Galuh hanya diperalat. Dia melakukannya demi melindungi Sakha, Hus!"

"Oh, jadi sekarang kamu membelanya? Bukankah awalnya kamu menolak hingga nyaris gila?" Husain tidak bisa mengerti jalan pikiran Zulfikar. Di awal menolak, tapi kenapa bisa berujung seperti itu. "Jika dia memang wanita yang bermartabat dan berpikir ...," kata Husain dengan emosi tertahan. "Tidak seharusnya menuruti ancaman itu dengan merendahkan dirinya."

"Dan membiarkan Sakha mati?"

"Jadi akhirnya kamu menerima perlakuannya malam itu?" balas Husain dengan pertanyaan menohok. Zulfikar diam, lalu membuang muka. "Bahkan kamu membelanya dan memilih berdebat denganku, Zul?" Husain sampai pada titik lelahnya. Dia lelah dengan jalan pikiran Zulfikar. Dia lelah berdebat dengan saudaranya. Dia lelah dengan segala yang terjadi di tempat ini. Apa pun yang dilakukannya selama ini seakan tak bernilai sama sekali.

"Baiklah. Aku akan pulang sendirian!" Husain pilih mengalah. Pemuda itu lantas angkat kaki dan pulang hari ini. Rasanya muak terus berdebat dengan Zulfikar.

"Arghh!" Frustrasi, Zulfikar hanya mengerang dan menjambak rambutnya sendiri ketika Husain menjauh. Wajahnya merah padam, segara bening telah menganak di pipi biru keunguannya. Dia bingung dengan perasaannya sendiri. Di satu sisi merasa begitu bersalah pada Galuh dan janin tak berdosa yang dia hadirkan sendiri. Di sisi lain, hatinya masih berharap bisa kembali pada Alif.

Harusnya dia sekarang bisa pulang, dan berjumpa lagi dengan gadis itu setelah semuanya selesai tanpa ada rasa lain yang mengganjal. Namun, nyatanya semua tidak sesederhana itu. Sesak kembali memenuhi dada.

Haruskah aku benar-benar melepasmu, Alif?

* * *

Langit sudah sangat pekat. Embusan angin malam menggelenyar di sepanjang kulit. Sunyi. Para penduduk bumi pasti sedang mengarung alam mimpi. Namun, masih ada yang tetap terjaga dan berdiri kokoh di belahan bumi lainnya, lengkap dengan beban yang juga dia bawa.

Pemuda dengan carrier di pundaknya itu baru masuk area pesantren dan disambut oleh orang tua, juga yang lainnya. Termasuk salah seorang yang namanya masih tersemat di sudut hati, meski harus dikubur rapat-rapat. Orang itu berdiri di seberangnya, tetapi tak memandangnya. Hanya celingukan seakan mencari sesuatu yang tak ada dalam jangkauan netra, dan sudah Husain tau, siapa gerangan yang dicarinya.

"Mas Husain, Mas Zulfikar ke mana?" Akhirnya pertanyaan itu muncul, meski tersirat keraguan. Ada sedikit kekecewaan di hati Husain, tidakkah dia ingin menanyai kondisinya juga?

Husain akhirnya gamang. Apa yang harus dikatakannya sekarang? Dia hanya takut membuat gadis ini menangis. Terlebih mata sembabnya yang Husain tidak tau karena menangisi apa.

"Zulfikar ...." Husain juga ragu-ragu. Tapi manik perempuan di hadapannya terus menuntut jawaban segera. "Dia tidak akan kembali, Alif." Berat hati Husain mengatakannya. Rasa bersalah semakin menerjang kala melihat raut keterkejutan komunikannya. Pun dengan beberapa orang, terlebih orang tua Zulfikar di sana yang seakan bertanya dengan ekspresi wajah.

Benar. Mereka semua orang di pesantren belum tau apa yang terjadi. Setelah ini, Husain akan menceritakan semuanya. Tidak terbayang, apa yang akan terjadi setelahnya. Apakah mereka akan mengutuk? Marah? Atau bahkan balas membenci?

"T-tapi kenapa?" Alif tergugu, berhasil menarik Husain dari lamunannya.

"Aku juga tidak tau." Bohong! Husain berbohong. Dia tau alasannya. Tapi tidak mungkin dia mengatakan kalau Galuh adalah alasan di balik tidak kembalinya Zulfikar. Dia takut, sangat takut membuat Alif terluka apalagi sampai menangis.

"Lalu ... apakah aku bis―"

"Jangan mengharapkannya lagi, Alif!" Perkataan bernada tinggi Husain membuat Alif berjengit dan mematung. "Maaf ...." Husain tertunduk dengan penyesalan kemudian. "Dia hanya bilang, kalau kamu jangan menunggu atau mencarinya lagi." Husain menaikkan pandangan untuk memastikan. Perubahan drastis wajah gadis itu bagai jarum yang menusuk hati.

Matanya berkaca. Kakinya mundur beberapa langkah dan kemudian berlari menjauhi tempat itu. Nuha memanggil nama dan mengejarnya. Tinggalah Husain dan beberapa orang yang masih menunjukkan keterkejutan.

"Alif ...."

__________bersambung__________

Maaf ya, kalau part ini kayak babaranjang :')

Tadinya mau up dobel pengganti hari selasa, tapi ternyata masih butuh riset yang agak setajam silet.

Sekian, wassalamu'alaikum 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top