XV. Rumah
Alif mengerjapkan mata ketika merasakan sentuhan hangat di tangannya. Dengan mata sayu, didapatinya sosok tak asing. Selma, dia tertidur seraya menggenggam tangan Alif. Entah itu sudah berlangsung lama sejak dia tertidur, atau memang baru saja terjadi. Sekujur tubuhnya terasa sakit ketika melakukan pergerakan.
“Alif ....” Suara bariton itu menyita perhatian Alif, sekaligus membuat Selma terbangun. “Kamu udah sadar?” Akbar menatap dengan penuh antusias. “Tunggu sebentar, abang panggilin dokter dulu.” Pria itu lantas berjalan menjauh.
“Alif ....” Wanita yang sedari tadi di sebelah Alif bersuara. Ia mencium punggung tangan Alif. “Maafkan ibu, Nak. Ibu salah. Ibu jahat sama kamu. Ibu enggak berharap kamu bisa memaafkan ibu dalam waktu dekat, biar ibu yang berusaha buat menangin hati kamu.”
Dia menangis. Namun, Alif masih bergeming. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir keringnya. Apakah ibunya ini benar-benar berubah? Atau hanya sebuah sandiwara untuk menenangkan kembali putra yang sempat bertengkar dengannya?
* * *
Husain menghela napasnya berulang kali di teras. Ia merasa bosan, suasana lebaran yang biasanya ramai kini mendadak sunyi. Padahal dia pecinta kesunyian, tetapi kali ini, dia sudah bosan dengan sunyi. Semuanya berbeda. Tidak ada tawa bahagia seperti seharusnya.
Mereka hanya menunaikan salat idul fitri bertiga di halaman masjid. Baik Eyang Danar maupun Pak Sapta tidak ikut, keduanya berkelit dengan berbagai alasan yang memuakkan. Kalau saja mereka bukan orang tua, Husain akan memberontak dan menyucikan kembali pikiran mereka dengan kata-kata mutiaranya. Persetan dengan orang-orang Pak Kades yang semakin intens mengawasi.
“Woy!” Tepukan bahu disertai suara menyebalkan itu mengagetkannya. Pemuda itu menatap Zulfikar yang sudah duduk anteng di sebelahnya.
Melihat tatapan membunuh Husain, Zulfikar mengalihkan pandangan pada jalanan desa. “Kenapa ngelamun aja? Kayak bukan Husain yang kukenal.”
“Bukan urusanmu!” Husain mengehempaskan punggungnya di sandaran kursi. Mukanya yang kecut jadi semakin kecut.
“Kangen nastar? Atau sedih lebaran tanpa orang tua?” Husain bergeming. Zulfikar hanya mengembuskan napasnya. “Dasar lemah.”
“Sekali lagi kamu ngomong sandalku melayang.”
“Eh, ini lagi lebaran, Hus! Dilarang marah-marah. Apalagi sampe berbuat kekerasan.” Zulfikar melipat kedua tangannya. “Lagian, kamu baru pertama, ‘kan, kayak gini? Aku dong, udah biasa. Kebal malahan.”
“Jangan samain orang lain kayak kamu. Itu kamu sendiri yang cari masalah. Enggak pulang-pulang kayak Bang Toyib sampe bikin anak gadis orang nungguin.”
Zulfikar menatap wajah Husain serius. “Diem-diem ternyata kamu merhatiin Alif?” tanyanya penuh telisik.
Husain gelagapan, tetapi bergegas ia mengalihkan perhatian. “Setiap aku pulang dia nanyain kamu. Lagian aku sama Alif ketemuan enggak sengaja.”
Zulfikar mengernyit, ia ingin bertanya banyak hal yang berkaitan dengan Alif. Namun, diurungkannya karena tak ingin berburuk sangka. Terlebih kedatangan Sapta yang kemudian mengalihkan perhatian mereka.
“Ini, ada surat untuk Husain,” kata pria berkumis tebal yang selalu mengenakan blangkon dan selalu Husain curigai sebagai antek-antek Pak Kades. Belum sempat Husain berterima kasih, Sapta melangkah masuk ke dalam rumah.
“Surat dari siapa, Hus?” tanya Zulfikar penasaran.
Husain mengedikkan bahunya juga tak paham dan langsung membuka amplop cokelat itu. Dibukanya lipatan kertas HVS itu perlahan. Bola matanya bergerak mengamati goresan yang tertuang di sana. “Ini dari Umi,” katanya singkat. “Abi masuk rumah sakit.”
Zulfikar yang mendengarnya langsung terkesiap. “Serius, Hus? Emang Abimu punya penyakit kronis?”
Husain menggeleng. “Setauku enggak ada, Zul. Tapi enggak tau juga kalau kelelahan atau semacamnya.” Ia menatap surat di tangannya. “Enggak ada penjelasan spesifik di surat. Umi cuma nyuruh aku pulang.”
Sesaat Zulfikar terdiam, ia lalu mengembuskan napas yang suaranya bisa Husain dengar jelas. “Kalau gitu pulanglah. Sekalian kamu laporin ke Buya apa-apa yang terjadi dan udah kita kerjain di sini.” Zulfikar berkata pelan-pelan. “Biar mereka enggak khawatir juga. Itu pun kalau dikhawatirin.”
Benar. Mereka belum memberi kabar apa pun ke kota. Zulfikar yang mendengar info dari Buya kalau tidak ada sinyal di tempat misi memilih meninggalkan ponselnya. Sementara Husain, dia hanya membawa HP jadul dengan harap akan menemukan sinyal dengannya. Meski harapan itu pun harus kandas karena tak sedikit pun sinyal tinggal dan menetap di ponselnya.
* * *
Sudah belasan hari Alif keluar rumah sakit. Kini ia ada di rumahnya, masih duduk di kursi roda dan butuh banyak istirahat karena operasi tulang rusuk yang ia jalani pasca kecelakaan. Akbar telah memintakan izin pada pihak pesantren terkait kesehatan adiknya itu. Lalu, ibunya juga banyak berubah setelahnya. Selma telah menerima Alif dan mencurahkan banyak perhatian yang tak pernah didapatkannya sejak kecil. Marvin, ayah Alif juga sudah pulang, meski juga harus memakai kursi roda. Pria itu mengutarakan kerinduan pada putrinya, dan meminta maaf sebagaimana Selma melakukannya.
Lebaran tahun ini terasa sangat spesial baginya. Hatinya tenang, sekaligus bahagia. Bisa berkumpul dengan keluarga dan pulang ke rumah yang dirindukan adalah nikmat berharga yang akhirnya bisa ia rasakan. Meski kadang ia berpikir mengenai apa yang terjadi. Apakah ketika ada yang terjadi barulah orang lain memahami kehadirannya? Sekali lagi gadis itu mengembuskan napasnya. Pandangannya tertuju pada bentangan langit malam yang tampak dari balkon kamar. Orang-orang di rumahnya pasti sudah tidur.
Sesaat, terlintas bayangan pemuda itu. “Zulfikar, bagaimana hari rayamu di sana?”
* * *
Lebaran hari berikutnya, Zulfikar dan Mirza mengantarkan kepergian Husain hingga ke dermaga tempat mereka sebelumnya berkumpul. Kali ini hanya Husain yang pergi, sisanya tetap tinggal sesuai kesepakatan bersama.
“Mas Mirza, sleding aja Zulfikar kalo nganeh-nganeh,” pesan Husain.
“Eh, sopan, ya, Anda? Btw, Nih ....” Zulfikar mengulurkan punggung tangan kanannya. Husain mengernyit bingung. “Sebagai penghormatan karena aku lebih tua dari kamu.” Maksud Zulfikar adalah Husain harus mencium punggung tangannya sebelum pergi, sebagaimana penghormatan yang biasa diberikan pada sesepuh di pesantren.
PLAK!
Husain menepisnya keras-keras. Zulfikar mengaduh dan mengelus tangan kanannya. “Enggak usah nyeleneh!” Husain berkata. “Udahlah, aku berangkat sekarang. Ngeladenin kamu enggak ada habisnya.” Pemuda jutek itu langsung masuk ke dalam mobil sedan yang sudah menuggu.
“Heh, bocah semprul! Bener-bener, ya!”
“Assalamu’alaikum!” kata Husain keras-keras, berusaha mengalahkan suara Zulfikar yang sedang mendumel.
“Wa’alaikumussalam,” balas Mirza dengan kalem. Mobil mulai berjalan menjauh, Mirza menatap Zulfikar di sebelahnya. “Salam itu dijawab atuh, Kang.”
Zulfikar bergeming karena memang dirinya salah. “Wa’alaikumussalam,” katanya dengan suara pelan. “Hm, enggak apa-apa, ‘kan, dia pulang sendiri?” Meski bertengkar sudah menjadi bagian jalan hidupnya, tetapi Zulfikar sebenarnya peduli. Biar bagaimana pun, Husain adalah saudara, sekaligus orang yang sering mengeremnya jika kebablasan.
“Enggak apa-apa. Berdoa aja, semoga abinya baik-baik aja.”
* * *
Di dalam mobil, Husain merogoh tasnya. Ponsel jadul yang semalam sempat ia charge dihidupkan. Sembari menunggu, pikirannya kembali mengawang pada apa yang ia tinggalkan.
“Enggak apa-apa, ‘kan, ninggalin Zulfikar sama Mas Mirza? Mas Mirza pasti lebih bisa ngendaliin itu bocah.” Ia kemudian mengalihkan kembali perhatiannya ke ponsel. “Ck, sinyalnya burik banget sih!”
Pemuda itu menggucang ponselnya, meski dia juga tau kalau itu percuma. Hanya saja hatinya sedang kesal sekarang. Menyerah tak mendapat apa yang dimau, Husain memutuskan untuk menyimpan kembali ponselnya, dan menikmati pemandangan di luar jendela yang seakan bergerak berlawanan dengan laju mobil seraya menerka, abinya itu sakit apa?
__________bersambung__________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top