XIV. Arti Bertahan

“Ya Allah, Ya Tuhanku ... atas dasar cinta aku memohon perlindungan atas segala kegundahan dan keresahan hati yang seharian ini kurasakan...."

_____[♢]_____

Selepas isya Mirza, Husain, dan Angger duduk melingkar. Namun, Zulfikar tidak bergabung di sana. Sejak tadi ia mondar-mandir keluar masuk ruang tengah, ruang tamu, dan kamar. Husain yang tak tahan bangkit dan menghentikan langkah Zulfikar yang akan masuk ke kamar. “Kamu ngapa sih dari tadi mondar-mandir? Capek aku lihatnya.” Zulfikar bungkam. Husain mengguncang lengannya. “Hei!”

“Aku juga enggak tau, Hus. Dari tadi jantungku berdebar enggak keruan, sampe sesak rasanya.”

“Kecapekan kalik?”

Zulfikar menggeleng. “Kita enggak ngapa-ngapain hari ini, Hus. Enggak mungkin kecapekan.” Ia menjedanya sejenak. “Entah kenapa aku kepikiran Alif. Semoga enggak terjadi sesuatu sama dia. Firasatku bener-bener enggak enak soalnya.”

Qiyamul lail dulu sana. Berdoa, biar dikasih ketenangan sama Allah.” Husain menyarankan. Zulfikar mengangguk, dan bergegas menuju kamar mandi yang memang letaknya terpisah dari rumah.

* * *

Samar, Alif bisa melihat Akbar yang sedang mengguncang kerah snelli dokter, sampai lamat-lamat suaranya menghilang. Alif merasakan kantuk yang luar biasa dan terpejam kemudian. Hanya itu yang dia ingat. Kini tidak tahu ada di mana dirinya. Kaki telanjangnya memijak rerumputan hijau. Di sisi kiri-kanan dan saujananya hanya ada perbukitan dengan hamparan putih, yang ia yakini seperti tanaman berbunga yang tengah mengapitnya sekarang―Edelweiss. Langit yang sebelumnya gelap karena malam, mendadak berwarna lazuardi tanpa awan. Terdengar juga gemericik air yang begitu menenangkan. Angin sepoi-sepoi menerbangkan gaun dan jilbab putih yang entah bagaimana bisa Alif kenakan sekarang.

Tak jauh dair posisinya berdiri, ada sebuah pohon besar berdaun rimbun di seberang sungai kecil, berair dangkal nan jernih. Ada sosok yang menarik atensinya di sana. Ia berjalan pelan. Merasakan ketenangan dan sensasi rerumputan yang menggelitik telapak kaki dan wangi rerumputan. Sosok wanita itu duduk di atas akar yang mencuat ke permukaan tanah. Sama sepertinya, ia mengenakan jilab dan gaun putih.

Hingga tersisa jarak lima meter, Alif megenali sosok itu. Matanya berkaca-kaca. “Oma ....” ucapnya dengan suara bergetar.

Wanita itu menoleh, dan memberikan senyuman hangat pada Alif. Alif langsung berlari mendekatinya, dan memeluknya. Air matanya luruh ketika ia mendapat kesempatan bertemu pada orang yang sangat dia rindukan.

“Alif, apa kabar?” Suara tua yang terdengar parau itu menghangatkan perasaan Alif. Gadis itu melepas pelukannya.

“Oma, Alif kangen sama Oma.”

Wanita tua itu menyeka air mata Alif, kemudian menangkupkan kedua tangan di pipinya. “Oma juga kangen sama Alif.”

* * *

“Ini, ‘kan, yang Ibu mau?” Suara Akbar terdengar bergetar. Ketiga orang yang masih satu keluarga itu menunggu di dekat ruang operasi dengan cemas. Selma terlihat sangat terpuruk. “Harusnya Ibu seneng dong? Bukan malah seperti bersalah gitu.” Lagi, perkataan Akbar seperti menusuk sanubarinya.

“Bang Akbar!” Amira menegurnya. “Sekarang bukan saatnya berdebat. Kita sholat dan berdoa biar Alif baik-baik aja.” Dengan amarah yang masih tertahan, Akbar melenggang pergi. Amira mengikutinya, dan kini, Selma sendirian di sana.

Sejak Alif masuk ke ruangan berpintu putih besar itu, Selma berulang kali memperhatikan ke arah sana. Dengan harap, kalau dokter akan keluar dan memberinya kabar baik. Ia tidak mengira, kalau insiden mengerikan itu menimpa anak yang selama ini ia abaikan. Selma berjalan mendekati pintu tempat Alif berada. Ia menyentuh permukaan kaca yang di dalamnya tertutup tirai dengan tangan yang bergetar. 

“Nak, kamu harus selamat. Ibu belum mengizinkanmu untuk pergi. Ibu ....” Air mata wanita itu luruh, mewakili suara yang tertahan. “Ibu ingin minta maaf. Tolong jangan hukum Ibu dengan perasaan bersalah seumur hidup, Nak.”

Baginya ini seperti terlambat. Lebih dari dua puluh tahun ia tak pernah memberi Alif cinta sebagaimana seharusnya. Lebih dari bertahun-tahun ia tak menemui anaknya, pun dengan pertemuan terakhir ketika seorang pemuda melamarnya dan juga hari ini. Dia tidak lain adalah tokoh antagonis dalam cerita kehidupan putrinya sendiri. 

Suaminya tengah terbaring tak sadarkan diri, lalu sekarang Alif. Sebenarnya ... siapa yang membawa kesialan dalam hidupnya? Apakah itu dirinya sendiri? Bukankah jika begitu dia sudah sangat bodoh karena melampiaskannya pada anak perempuan yang mungil itu?

“Ya Allah ... ampuni hamba-Mu. Berikanlah aku kesempatan untuk meminta maaf pada putriku.” 

“Alif juga enggak pernah minta dilahirkan dan bikin susah keluarga, Bu.” Kalimat Alif kembali menggema dalam pikiran dan semakin menyayat hatinya. Mengapa hatinya begitu dingin pada Alif? Mengapa sebagai Ibu dia tidak bisa memahami anaknya? Mengapa dia sangat egois dan angkuh? Selma terus merutuki dirinya dalam jurang penyesalan.

* * *

Alif tertawa dan terus tersenyum ketika bersama Oma yang paling ia kasihi. Ia menceritakan tentang perjalanan kehidupannya, termasuk Zulfikar―seorang pemuda yang berhasil menawan hatinya.

“Apa kamu sungguh mencintai pemuda itu?” Oma Clara bertanya dengan wajah antusias.

Pipi Alif merona. Jika ditanya persoalan seperti ini, entah kenapa Alif merasa malu. Pelan, gadis itu mengangguk. “Dia pemuda yang baik, Oma. Dia setia kawan, kadang bisa bertindak lucu, dan ramah pada semua orang. Kata-katanya selalu bisa menyejukkan dan menenangkan hatiku.”

“Kalau begitu, kamu tidak bisa lama-lama di sini, bukan?”

Alif menggeleng. “Aku enggak mau pisah sama Oma. Walaupun ini cuma mimpi, Alif mau sama Oma selamanya.” Ia memeluk erat wanita tua itu. 

“Berarti, kamu mau membuat sedih orang-orang yang menyayangimu?”

Alif mendongakkan pandangannya, menatap mata tua yang sejak kecil selalu memperhatikan tumbuh kembangnya. Ia tertunduk kembali, kemudian menggeleng. “Tapi Alif nyaman di sini sama Oma.”

"Oma udah enggak bisa nemenin kamu lagi. Dan lagi, kenyamanan kadang melenakan, Alif." Oma Clara menyentuh puncak kepala Alif dengan lembut. “Oma memang sudah tidak ada sejak lama, Alif. Tapi cinta dan kasih sayang Oma akan selalu merestui ke mana pun langkahmu nanti. Bertahanlah. Pasti masih ada janji yang harus ditepati, bukan?”

Tiba-tiba saja Alif kepikiran Zulfikar. Apa yang sedang dilakukan pemuda itu? Apakah dia baik-baik saja ditempat tak ada sinyal? Apakah dia makan dengan baik? Apakah dia istirahat dengan cukup? Ada banyak pertanyaan yang mengganjal benak Alif. Begitu pun rindu yang selalu terjaga. “Sebentar lagi, Oma. Biarin Alif sebentar lagi di sini.”

* * *

Ruang operasi mendadak kacau. Baru saja selesai persoalan kekurangan stok darah, pasien yang masih tak sadarkan diri itu mengalami aritmia. Para pahlawan berjas putih masih berupaya menyelamatkannya dengan menyentuhkan defibrilator untuk mengembalikan detaknya.

Selma dan Akbar sama khawatirnya, menunggu di depan ruang operasi dengan doa yang tak hentinya mengalir dari bibir. Sementara Amira, ia bertugas menjaga ayahnya yang juga belum sadarkan diri.

“Ya Allah, tolong selamatkan Alif. Selamatkan adikku.” Akbar berdoa dengan suara yang bergetar. Dia juga sempat menangis karena setelah berjam-jam kecelakaan kondisi adiknya justru menurun.

Selma merasa semakin sesak. Ia tidak dapat membayangkan jika hal yang lebih buruk terjadi pada Alif. Ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.

* * *

Di atas sajadahnya, Zulfikar duduk bersila seraya menengadahkan tangan dan pandangan.

“Ya Allah, Ya Tuhanku ... atas dasar cinta aku memohon perlindungan atas segala kegundahan dan keresahan hati yang seharian ini kurasakan. Tiada tempat yang lebih menenangkan untuk mengadu selain kepada Engkau, Ya Allah. Tiada tempat yang layak untuk memohon dan bergantung selain kepada Engkau, Ya Allah.  Berteman dengan sunyi, kugantungkan segala harapku pada-Mu, Ya Rabb. Jika memang terjadi sesuatu pada Alif, maka tolong lindungi dia. Jauhkanlah dia dari segala mara bahaya. Jaukanlah dia dari segala rasa sakit. Jauhkanlah dia dari segala kesulitan. Atas izin-Mu, kami dipertemukan. Atas izin-Mu, cinta itu bersemi di antara kami. Atas izin-Mu, keberanian untuk meminangnya hadir. Maka atas izin-Mu juga, sirnalah segala kesulitan dan deritanya. Aamiin ... Aamiin ... Allahumma Aamiin ....”

Zulfikar memejamkan mata, air matanya mengalir dan langsung diseka dengan kedua tangan yang ia basuh ke wajahnya. Bayangan tentang Alif terlintas dalam setiap untaian doanya. Entah kenapa, ada sedikit penyesalan yang menyusup di hati. Kenapa dia tidak menikahinya terlebih dahulu agar bisa mengatakan kalau dia sungguh mencintai Alif dan merasa berat ketika harus melepasnya untuk menunaikan misi? Kenapa ia jadi begitu takut kehilangan?

Hatinya masih belum bisa tenang. Air matanya tak mau berhenti keluar, meski ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu sampai-sampai hatinya terasa sakit dan jiwanya tersiksa.

___________bersambung___________

Sampai jumpa di hari selasa.

Semoga ada kabar baik dari Alif :'(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top