XIII. Pulang

"Kamu sendiri juga tau, kalau perempuan itu apa-apa dibawa perasaan. Perhatian sekecil apa pun bisa dianggap cinta.”

_____[♢]_____

“Aku saranin kamu jangan deket-deket sama perempuan itu, Zul,” kata Husain yang duduk berseberangan dengan Zulfikar di ruang tamu. Zulfikar mengernyit bingung. “Takutnya kamu ngasih harapan ke dia. Inget ada hati yang harus kamu jaga,” pemuda jutek itu menambahkan.

“Harapan? Aku kan enggak pernah ngapa-ngapain, Hus? Bisa ngasih harapan dari mana coba?” Zulfikar berkata sedikit ngegas.

 Husain mengembuskan napas perlahan. “Perhatian yang kamu kasih itu ... itu bisa memunculkan harapan, Zul. Kamu sendiri juga tau, kalau perempuan itu apa-apa dibawa perasaan. Perhatian sekecil apa pun bisa dianggap cinta.”

Kening Zulfikar berkerut semakin dalam. “Kan aku cuma coba nolongin? Masih normal kok.”

“Masalahnya, aku ngeliat ada tatapan yang beda, Zul.”

“Kamu indigo?”

“Ck, bukanlah! Bukan itu yang aku maksud.”

“Terus?”

“Galuh kayaknya ada perasaan sama kamu.”

Zulfikar terbatuk karena tersedak salivanya sendiri. “Ngawur kamu! Mana ada. Udahlah, enggak usah ngaco.”

“Aku enggak ngaco. Kamu enggak bisa lihat, tapi orang lain bisa. Dan siapa orang lain itu? Aku! Coba bayangin, ngapain Galuh rela nganterin makanan buat sahur di pagi buta? Kamu alasannya! Dari waktu kamu ngajarin dia syahadat, pandangannya emang udah beda, Zul.”

“Eshh ... apaan sih. Dahlah, enggak logis omonganmu.”

“Memang sejak kapan cinta itu logis? Aku memang bukan spesialis bidang abstrak kayak gini, Zul, tapi mataku enggak buta buat liat fenomena .”

Zulfikar mendengus. “Oke. Asal kamu tahu, Hus, tanpa dingetin buat jaga hati, aku selalu jaga.”

“Aku cuma khawatir kalo kebaikan yang kamu tunjukin malah dimanfaatin buat ngejatuhin dirimu sendiri. Makanya aku cerewet,” sanggah Husain tak mau kalah. “Enggak pernah ada yang tau manusia, Zul. Bisa aja, kan, berubah di tengah jalan.” Pagi ini Husain sangat banyak bicara. Kuping Zulfikar sampai panas.

Pemuda itu terdiam beberapa detik. “Masalah kebaikan, aku cuma berusaha jadi manusia selayaknya. Lalu tentang rasa, sejauh apa pun aku pergi, perasaanku selalu sama dan cuma berlayar di satu hati, Hus.” Husain diam menyimak. “Aku memang belum halal buat bilang langsung ke orangnya, tapi selalu bawa namanya di doa enggak masalah, ‘kan? Ya, walaupun aku ngebebasin dia sebelum kita berangkat ke sini.”

Husain bisa melihat kesedihan dari perubahan ekspresi Zulfikar. Seperti itukah cinta? Tidak ada kepastian dalam jarak meski begitu dalam mencinta. Masing-masing menyimpan ketakutan akan kehilangan, meski lisannya sudah coba mengikhlaskan dan menyerahkannya pada Tuhan. Husain bukanlah orang yang paham masalah percintaan. Dia tidak bisa berkomentar apa pun jika Zulfikar sudah bicara soal hati.

“Kamu yang paling tahu prinsipku, Hus.” Pandangan dua bersaudara itu pun berserobok. 

Benar. Zulfikar memang punya prinsip yang keras. Jatuh cinta, mencintai, dan menikah sekali seumur hidup. Meski manusia itu bisa berkali-kali merasakannya, tetapi bagi Zulfikar, cinta itu abadi dan sakral, walau berbanding terbalik dengan fisik dan rupa yang bisa hilang. Dalam hal semacam ini, Husain kalah dalam pemahaman. Manusia yang mengesampingkan rasa dan lebih menjunjung tinggi logika mana mengerti soal cinta. 

“Kalau begitu, kamu harus memenuhi janji dari apa yang telah kamu ikat, Zul.”

Zulfikar tersenyum simpul. “Aku yang paling mengerti dalam hal ini, dan aku sedang berjuang.”

* * *

Alif berdiri di depan pintu sebuah kamar. Matanya mengintip pemandangan di kamar pasien melalui kaca di pintu. Tangannya pun mulai bergerak ke handle pintu. Namun, ia kembali mengurungkannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan segenap keberanian untuk masuk. “Bismillah ....” Alif memutar handle dan kini ia bisa melihat jelas orang-orang yang ada di dalam.

Abangnya, Ayuknya, Bapaknya, dan Ibunya. Semua sedang berkumpul di sana, sementara Alif masih mematung di bibir pintu.

“Alif ....” Suara yang tempo hari menelepon dengan lirih menyambutnya pertama.

“Ngapain kamu pulang?” Suara ketus yang sudah lama tak ia dengar kembali sampai di telinganya. “Keluarga kita jadi sial gara-gara kamu tau enggak?!”

Alif memejamkan matanya, mencoba meredam emosi. Inilah alasan Alif enggan pulang dan memilih menetap di pesantren. Kehadirannya tidak pernah diharapkan. Dirinya selalu disalahkan, meski itu bukanlah salahnya. Ia tidak pernah benar di mata ibunya meski selalu melakukan kebaikan dan berkata kejujuran.

“Bu, Bapak masih sakit. Jangan teriak-teriak di sini.” Amira―kakak perempuan Alif berusaha menenangkan ibunya.

“Iya, Bu. Alif juga baru sampe. Ibu bisa enggak sih, enggak marah-marah terus? Emosi Ibu cuma memperburuk keadaan tau, enggak?” Akbar―kakak laki-laki Alif menimpali. Ia yang duduk di sofa ruangan itu bangkit dan berjalan menghampiri Alif dan tersenyum lembut. “Kamu pasti capek, ‘kan? Ayo, duduk dulu.”

“Akbar! Siapa yang minta kamu buat bawa anak pembawa sial ini masuk?” Ibunda Alif, Selma, memprotes tindakan Akbar.

“Buk!” Akbar tak ingin tinggal diam. Selama ini adiknya sudah menderita karena jauh dari keluarga. Tidak bisakah ibunya itu melunak dan tidak menumpahkan amarahnya pada adik bungsunya? Ia kembali menatap Alif yang berekspresi datar dan dingin. “Dek, jangan dengerin omongan Ibu, ya?” Ia menarik lengan adiknya, tetapi Alif bergeming.

“Bang, aku balik aja ke pesantren.”

Pandangan Akbar semakin terbuka lebar. “Enggak! Kamu harus tetep di sini, Dek. Abang enggak ngizinin kamu pergi.” Akbar menatap tajam Ibunya yang masih dipenuhi amarah. “Bu, apa selama bertahun-tahun Ibu enggak bisa nerima Alif? Apa salahnya, Bu?”

“Salahnya?” Selma tertawa sinis. “Salahnya karena hadir di keluarga kita. Semenjak Ibu mengandungnya, kita kena musibah terus, Akbar! Apa kamu lupa, hah? Gimana Bapakmu kecelakaan di proyek, terus dipecat? Usaha yang Ibu rintis kebakaran dan bangkrut. Kamu enggak inget kita bahkan sampe harus utang ke tetangga dan makan nasi yang nyaris basi? Apa kamu lupa sama semua penderitaan dan rasa sakit itu, Akbar? Dan semua itu gara-gara kehadirannya Akbar!” Selma menunjuk Alif dengan tatapan kebencian.

Suasana ruang rawat itu memanas. Tak lagi ada ketenangan, selain tubuh berselang infus dan oksigen yang sedang terlelap. Alif bergetar menahan emosi yang bergemuruh di dada. Telinganya terasa sangat panas mendengar penuturan kebencian itu.

“Dunia, dunia, dunia terus! Apa Ibu enggak capek ngebahas dunia?” Emosi Akbar tak terbendung lagi. “Apa Ibu pikir semua itu dibawa mati? Udah selama ini apa enggak bisa berdamai, hah? Inget, Bu, ketika seseorang meninggal hanya ada tiga hal yang dibawa. Dan salah satunya adalah doa anak yang saleh. Kalau Ibu terus seperti ini, apakah akan ada surga buat Ibu?”

PLAK!

Baik Alif maupun Amira sama-sama tercekat ketika Selma melayangkan tamparan di pipi Akbar.

“Akbar ... Ibu enggak ....”

Akbar menatap nanar Ibunya. Ia mundur beberapa langkah, berbalik, dan keluar dari ruangan itu. Ini adalah kali pertama ibunya bermain tangan dan sungguh membuat hatinya sakit.

“Bang―” 

“Puas kamu?” Baru saja Alif hendak mengejar abangnya, suara Selma menghentikannya. Masih sama dengan sebelumnya, tatapan kebencian itu dilayangkan pada Alif dalam jarak begitu dekat hingga terasa begitu sakit. “Puas kamu membuat hubungan Ibu sama Akbar jadi rusak? Puas kamu anak sialan!” 

“Buk!” Amira tak bisa tinggal diam lagi. Ia berlari mendekati Ibunya dan Alif yang masih bersitegang. Sementara Alif, hatinya berdenyut nyeri. Ia tak bisa membendung tangisnya lagi. Dengan gontai, ia mundur. 

“Bu, asal Ibu tahu, aku sendiri pun enggak pernah minta dilahirin.” Pandangan Alif menjadi kabur. “Harusnya Ibu gugurin aja waktu Alif masih dikandungan. Harusnya Ibu bunuh aja Alif sewaktu masih jadi janin. Alif juga enggak pernah minta dilahirkan dan bikin susah keluarga, Bu. Alif enggak pernah minta.” Tangisnya pecah. Ia menarik napas dalam-dalam.

“Tapi Alif mau ngucapin terima kasih ke Ibu. Makasih udah ngizinin Alif tinggal di rahim Ibu selama sembilan bulan. Makasih udah ngebiarin  Alif lahir dan tetap hidup sampai sekarang.” Alif mengusap air matanya. “Mulai sekarang, Alif janji ... Alif akan pergi. Ibu enggak usah khawatir kalo Alif bakalan muncul lagi karena Alif enggak akan kembali.” Gadis itu mengangguk pelan. “Alif sadar diri, bahkan dari dulu.” Ia menatap manik Ibunya. “Alif pamit, Bu. Assalamu’alaikum ....”

“Lif ....” Suara Amira terdengar bergetar. 

Tanpa peduli panggilan Amira, Alif berbalik, dan berlari menjauh dari sana. Langkahnya menggema di lorong rumah sakit. Sekian tahun, hasilnya masih sama. Tidak ada tempat untuknya. Kenapa dia harus ngotot pulang? Kenapa dia harus dilahirkan? Drama keluarga ini membuatnya muak! Penderitaan masa lalu seorang ibu yang tengah mengandung, menjadi musabab penghapusan dirinya dalam daftar penerima cinta dan kasih keluarga. Terbuang, padahal ia adalah anak yang terlahir dari ikatan resmi yang sah di mata hukum dan agama. Apa maunya dunia ini?

Alif terus berlari hingga keluar area rumah sakit, tanpa ia tahu kalau Akbar mengejar dan memanggilnya dari arah belakang. Dada gadis itu terasa sesak, hingga memenuhi otak dan pandangannya kabur karena air mata sialan itu. Tak sadar kalau ia sudah berlari sampai ke tengah jalan raya, suara klakson mobil yang berbunyi nyaring mengejutkan dan menghentikan langkahnya secara mendadak.

BRAKK!

___________bersambung___________

Berat ya, kalau jadi Alif :'(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top