X. Syahadat Cinta
“Ngelamun aja, Neng! Tiati kesambet Nenek Gayung loh.”
Alif yang masih duduk termenung di tempat tidur seketika terlonjak. “Apa sih, Yu!”
Ayu Nirwasita―sahabat sekaligus petugas medis Poskestren bagian akhwat yang mengagetkan Alif.
“Ya kamu sih, ngelamun terus.” Ia mengambil tempat di sisi kiri Alif. “Kangen sama Mas Zulfikar, ya?” bisiknya penuh goda seraya mengedikkan kedua alis.
“Apa sih?” Alif membuang muka, berusaha menyanggah meski hatinya mengiakannya dengan ragu.
“Lagian kenapa kamu setuju-setuju aja sih mau ditinggal sebelum nikah? Kalo nikah dulu kan enak jadinya.”
“Biar dia fokus dulu sama syiarnya.”
“Hilih! Kayaknya malah makin menjadi nih, rindu sepasang anak manusia yang selalu terselip dalam doa. Hiyaa!”
Alif hanya menggelengkan kepalanya. Malas menanggapi Ayu yang begitu antusias pada hubungannya dengan Zulfikar. Dasar perempuan!
Sesaat kemudian, telepon Alif berdering. Ia merogoh saku gamisnya dan langsung melihat layar. Alif tampak malas untuk menanggapi, dan mendiamkan panggilan itu.
Ayu yang penasaran langsung melirik ke ponsel. Ia juga memperhatikan air muka Alif yang sepertinya selalu begitu―enggan ketika menerima panggilan dari rumah. “Kenapa enggak dijawab?” Akhirnya ia berkata.
“Enggak penting.”
Ayu mengembuskan napas seraya memijit pelipisnya, seolah dialah yang paling pusing sekarang. “Jangan jadi pengecut, Lif.”
Alif menatap Ayu penuh telisik.
“Kalau ada masalah, ya, dihadapi. Bukannya terus-terusan menghindar.”
“Kamu enggak ngerti apa-apa, Yu.” Wajah Alif menyendu. “Udah, ya, aku mau balik ke TU.” Alif pun beranjak, berusaha menyudahi pembicaraan yang selalu membuat emosinya tidak stabil.
“Masalah enggak akan selesai kalo kamu terus menghindar, Lif,” sergah Ayu. Ia risih ketika Alif selalu begitu. Padahal dia dipuji karena kinerjanya di pesantren, lantas kenapa urusan seperti ini ia begitu sukar menyelesaikannya?
Langkah Alif terhenti saat itu juga. “Aku bisa apa, Yu?” Alif berbalik dengan mata berkaca-kaca. “Lagi pula, tanpaku mereka udah bahagia.” Ia tersenyum getir. “Jadi, buat apa aku memikirkan mereka lagi? Itu cuma buang-buang waktu.”
Ayu bungkam. Ia berusaha mendengarnya.
“Orang tuaku menganggap aku sebagai anak yang lahir karena kecelakaan. Sebagai anak pembawa sial. Sebagai anak yang tidak diinginkan.” Alif menjeda ucapannya. “Diabaikan dan dikucilkan di antara saudara kandungmu sendiri ... bukankah itu menyakitkan? Mereka bebas mendapatkan apa yang mereka mau, sedangkan aku ... aku harus memohon seperti budak hanya untuk bisa sekolah, Yu.”
Ingatan Alif menerawang. “Waktu itu aku baru berumur lima tahun. Rasanya begitu iri ketika melihat kedua kakakku bisa bercengkerama sama Bapak dan Ibu. Ketika aku mendekat, Ibu langsung membentakku dengan kata-kata itu lagi. Sedangkan Bapak ... tidak ada tanggapan seakan membenarkan perlakuan Ibu.”
“Sejak kecil aku sudah didoktrin untuk menjauh dari mereka, Yu. Lalu sekarang ... aku menjalankan sesuai dengan keinginan mereka.” Pandangan Alif menjadi kosong. “Pergi jauh, bahkan menghilang dan tak kembali jika perlu.”
“Lif ....” Ayu prihatin. Hatinya juga berdenyit sakit. Selama ini Alif adalah orang yang tertutup, terlebih pasal keluarganya. Ia tidak pernah pulang kampung, kecuali saat Zulfikar mengkhitbahnya beberapa waktu lalu. Komunikasi dengan keluarganya―melalui kakaknya di Palembang hanya sesekali, pun jika dia sedang ingin―lebih tepatnya kasihan karena mengabaikan orang.
Ia menatap Ayu lagi dengan pandangan iba. “Padahal aku masih kecil, masih butuh banyak perhatian dan kasih sayang. Tapi apa?” Air matanya mengalir. “Apa yang aku dapetin ketika berusaha? Sekuat apa pun aku berjuang, hasilnya tetap sama, Yu! Itu kenyataannya.”
Alif semakin terisak. “Menjelang SMA, aku memutuskan pergi ke sini dengan perantara sorban milik Zulfikar. Tinggal di pesantren yang jauh dari rumah.” Ia mengusap air matanya. “Aku tau niatku salah, karena pergi ke penjara suci ini sebagai pelarian. Tapi sungguh, Yu, semakin lama aku bertahan di rumah, semakin sakit rasanya. Terserah kamu mau berpikir apa tentangku.”
Ayu masih saja diam. Jika dibandingkan, Ayu adalah anak yang beruntung. Ia selalu mendapat perhatian dan kasih sayang orang tuanya. Semua inginnya masih dituruti. Berbeda dengan Alif. Ia tidak bisa membayangkan ketika ada di posisinya. Hal yang sangat menyakitkan ketika ada, dekat, dan nyata, tapi tak dianggap layaknya embusan angin sesaat yang langsung hilang. Berhubungan darah, tapi seperti orang asing.
“Lif ...” Ayu memanggilnya. “Kamu enggak mau coba minta maaf dulu?”
Alif langsung menatap tajam Ayu. “Minta maaf?” Ia tertawa sarkas. “Apa salahku, Yu? Mereka yang salah, bukan aku! Kenapa aku yang harus minta maaf duluan?”
“Aku cuma enggak mau kalau kamu nanti membawa penyesalan seumur hidup, Lif.”
“Jadi kamu ngebelain mereka yang udah ngebuang aku dibanding aku sahabatmu, Yu? Di sini aku yang paling tersakiti, Yu!”
“Aku bukan mau ngebelain mereka, Lif.” Ayu masih tak mau kalah. Ia menghela napas. “Kalau memang minta maaf susah banget, coba mulai memaafkan mereka.”
“Udahlah, Yu. Aku capek. Bad mood ngebahas mereka terus.” Alif berbalik dan hendak melangkah, tapi Ayu lagi-lagi menghentikannya.
“Berdamailah dengan dirimu sendiri, lalu maafkan mereka,” ucap Ayu sedikit keras.
Alif bergeming.
“Kamu tau, ‘kan, ridho Allah bersama ridho orang tua? Ketika kamu menikah nanti pun, ayahmu yang akan menjadi walimu. Jadi tolong, Lif, turunin egomu. Kalau semua mau menang sendiri, masalah ini enggak akan selesai, dan―”
“Biar aku menyelesaikan masalahku sendiri, Yu,” potong Alif. Semua yang dikatakan Ayu benar, tapi hatinya masih belum mampu untuk memulai. Luka tak berdarah itu masih terpatri jelas di hatinya dan selalu menyisakan rasa sakit saat dipicu.
Ayu menghela napas. “Allah yang menciptakan kita saja pemaaf, Lif. Sedangkan kita ... yang hanya ciptaan-Nya kenapa sangat sulit untuk memaafkan orang lain? Bukankah itu seperti bagian dari kesombongan diri kita sebagai manusia? Padahal, yang berhak sombong itu hanyalah Allah, bukan?”
Alif masih diam, di posisi yang memunggungi Ayu.
“Jika meminta maaf, atau memaafkan masih terasa begitu sulit ... coba istigfar dan taubat nasuha. Barang kali ada yang bermasalah dengan dirimu sendiri, Lif.” Ayu menyandarkan bahunya di kosen pintu. Memandang kosong halaman depan bangsal yang ditumbuhi bunga melati.
“Aku bukan ulama yang sudah fasih beragama, tapi sebagai sahabatmu ... aku peduli, dan aku cuma mau saling ngingetin aja, Lif. Apa kita tau kalau masalahmu itu bisa jadi bagian dari tipu daya setan yang coba melemahkan?”
Netra Alif melebar mendengar penuturan Ayu. Namun, dirinya masih enggan untuk mengindahkan.
“Aku takut, semua itu akan menjadi penyakit hati yang bisa memengaruhi keimananmu, Lif. Birrul walidain itu hukumnya fadhu ain. Kalau kamu enggak menjalankan, bukankah kamu sama saja melawan Allah dan Rasul-Nya?”
Alif berbalik, kembali melayangkan tatapan tajam pada Ayu. “Apakah orang seperti mereka pastas diberi bakti? Usahaku dulu pun tidak pernah dihargai.”
Ayu tau kalau sahabatnya itu begitu marah. Sorot mata tajam hingga kening berkerut dalam, serta nada ketusnya saat bicara adalah penanda. “Seperti kataku sebelumnya, beristigfar dan taubat nasuhalah agar Allah kembali melembutkan hatimu.”
Gadis keturunan Palembang yang berkulit putih, berwajah oriental, dan mata almond itu tak bisa berkutik saat Ayu kembali mengulangi ucapannya. Mungkinkah dia marah?
Alif memutuskan berbalik, dan melangkah pergi dari sana. Ia hanya tidak ingin berdebat dan membuat hubungannya dengan Ayu jadi rusak. Sekarang ia sedang keras hati, keras kepala, dan tinggi ego. Akan sangat sulit berbicara dengan kepala dingin.
“E–eh ... hey!”
Ayu berusaha mencegah, tapi usahanya sia-sia karena Alif langsung berlari hingga langkahnya menimbulkan gema di lorong. Ayu mengembuskan napas frustrasi, dan memutuskan kembali ke dalam.
Suasana ruangan itu terasa semakin hening. Ayu duduk pasrah di tepian ranjang. Ada sedikit penyesalan karena membuat sahabatnya itu menangis dan kembali mengingatkannya pada rasa sakit. Akan tetapi, jika ia tidak bergerak, Alif hanya akan terus begitu.
“Mungkin inilah alasan, kenapa kalian berdua ditakdirkan,” gumamnya. Ia mengingat bagaimana kisah Alif dan Zulfikar tercipta. “Untuk menjadi penawar dari luka yang masing-masing kalian derita.” Ia terkenang. “Zul, cepet balik dan nasihatin calonmu,” katanya lagi.
Ayu membaringkan tubuhnya ke tempat tidur pasien. Memandangi langit-langit putih ruangan. Memikirkan Alif dan Zulfikar, Ayu teringat dengan cintanya sendiri.
“Kalian begitu mudah dekat, lantas bagaimana denganku?” Ia tersenyum miris. “Dia sepertinya tidak pernah menyadari perasaanku. Jarak antara aku dan dia begitu jauh, atau bahkan tidak ada masa depan sama sekali. Ah, Alif ... kadang aku juga iri denganmu.”
***
“Perasaan, kenapa di desa ini enggak ada ibu-ibu seperti umumnya? Apa anak-anak cuma tinggal berdua sama bapaknya?” Zulfikar mengutarakan isi hati yang sedari awal mengganjal.
Hari ini mereka berkeliling dari rumah ke rumah untuk mengundang anak-anak ke taman baca dan serta para orang tua untuk buka bersama.
Ketika tiba, yang menyambut adalah bapak atau anaknya. Tidak ada tanda dari tanggapan dari para ibu. Bukan sambutan hangat yang mereka peroleh, tapi juga amarah, hinaan, dan kata-kata kasar dari warga. Mirisnya anak-anak mereka juga begitu. Nilai moral seakan telah terhapus dari sana.
“Kemungkinan besar mereka dikurung.” Galuh berkata dan berhasil membuat Zulfikar menganga tak percaya.
“Kok? Aku pikir Pak Kades cuma―”
“Cuma melarang peribadatan?”
Zulfikar mengangguk.
“Para wanita dipaksa melepas kerudungnya. Mereka yang melawan akan dimarahi, dipukul, sampai dikurung oleh suaminya seperti tahanan. Bahkan juga diancam akan dicampakkan. Sebagaimana peraturan Pak Kades. Mungkin Eyang sudah menceritakannya pada kalian.”
“Astagfirullah. Terus ... kamu? Kenapa kamu bisa berkeliaran bebas?”
Langkah Galuh terhenti. “Karena aku mengikuti peraturan desa.”
Mata Zulfikar membulat sempurna. “J–jadi kamu ....”
Galuh mengangguk. “Aku tau ini berdosa, tapi apa yang bisa aku lakukan? Memberontak seorang diri?” Ia menggeleng. “Itu mustahil dan sama saja dengan bunuh diri. Tapi sekarang berbeda. Ada kalian di sini. Aku merasa sedikit tenang. Mungkin saja kalian memang kunci agar desa ini bisa kembali damai dan mendapatkan kebebasannya.”
Zulfikar seakan diingatkan kembali tentang amanah yang dipikul pundaknya. Berat memang rasanya.
“Untuk itu, aku ingin kembali ber-Islam. Kamu ... sungguh akan mengajariku dari awal lagi, bukan?” tanyanya penuh harap.
Tanpa memandangnya, Zulfikar mengangguk pelan. Itu membuat sebuah senyum terbit di wajah Galuh. Perlahan, keinginannya akan segera terwujud.
***
Menjelang waktu berbuka, mereka putuskan untuk berdiam diri di masjid. Mirza sedang menyiapkan hidangan berbuka, Husain mengajari Angger mengaji, dan Zulfikar dengan janjinya untuk mengajari Galuh. Ah, Sakha, dia juga ada di sana. Duduk melingkar bersama Angger dan Husain. Ya, meski kakinya masih diperban.
“Jadi, aku harus mulai dari mana?” tanya Galuh dengan antusias. Ia menutupi kepalanya dengan selendang.
“Syahadat.”
“Bukankah aku sudah Islam, lalu kenapa harus bersyahadat lagi?”
Zulfikar tersenyum tipis. “Terkadang yang mengaku Islam juga harus di Islamkan lagi, Galuh. Mungkin kita terlahir dari keluarga muslim, tapi apakah kita sendiri sudah menegaskannya sendiri?”
Galuh tak menjawab. Ia menyimak dengan tenang kata demi kata yang terlantun dari mulut Zulfikar.
“Syahadat menjadi pintu gerbang untuk masuk Islam. Secara bahasa, syahadat diartikan sebagai sumpah, ikrar atau janji. Dari sini bisa dipahami, bahwa yang namanya sumpah ataupun janji haruslah dipegang erat sampai kapan pun.”
“Lalu, bagaimana jika sumpah itu dilanggar?” tanya Galuh..
“Tentu akan ada konsekuensinya. Yang khianat akan dikenakan balasannya, pun dengan yang berpegang teguh.”
Sesaat Galuh terpegun. Suasana mendadak canggung.
“Ketika mencintai seseorang, kamu pasti akan melakukan apa pun demi memenangkan hatinya, bukan?”
Galuh menjatuhkan pandangan ke atas ambal masjid. Sampai ia mengangguk pelan, membenarkannya. Benar. Bahkan saat ini Galuh pun sedang ada dalam fase itu.
“Maka begitulah ketika kamu sudah bersyahadat yang merupakan bukti cintamu pada Sang Pemilik Kehidupan. Melakukan berbagai ikhtiar bukan demi pahala surga semata, tapi ridho Allah lah yang merupakan puncak tertinggi,” kata Zulfikar. “Ketika Allah ridho, pahala pasti akan mengalir dengan sendirinya.” Zulfikar kembali berkata. Ia pun mengembuskan napas.
“Kalau begitu bersyahadatlah. Dengan begitu kamu hanya akan menjadikan Allah sebagai satu-satunya Tuhanmu, dan membenarkan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya,” ucap Zulfikar. “Kamu ... sudah tau lafaznya, ‘kan?” Zulfikar memastikan. “Atau perlu aku bimbing?”
“A―aku sudah tau!” ucapnya. Galuh menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan berjuta keyakinan untuk memulai ikrarnya.
“Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah.”
Zulfikar memejamkan matanya ketika ucapan itu selesai. Tiada ungkapan lain selain syukur yang terus ia gaungkan dalam hatinya. Ada kelegaan di sana, setelah apa yang ia temui di Jamanika beberapa waktu ini. Syahadat dalam satu tarikan napas benar-benar menjadi oase dalam kegersangan iman yang melanda hati.
Setelah Angger, kini bertambah lagi satu orang yang berada dalam kapal yang mengarung dalam samudera kebenaran.
___________bersambung___________
Aina Shalahaddin?
Saat kita hendak bersuka cita menyambut hari raya, mereka yang di Palestina sedang berjuang dengan nyawa. Bukan hanya demi diri mereka sendiri, tapi juga demi Al-Aqsa--kiblat sholat pertama umat muslim.
Wahai Saudara dan saudariku yang dimuliakan Allah,
Jika seandainya engkau tak memiliki kemampuan untuk berjuang bersama secara langsung, maka berilah sedikit dari hartamu untuk membantu mereka.
Jika seandainya engkau tak memiliki cukup harta, maka berikan doamu, untuk keselamatan dan kemenangan umat muslim Palestina dalam melawan penjajah.
Doamu bisa jadi kekuatan untuk mereka yang sedang berjuang. Doamu juga bagian ikhtiar dalam mengetuk pintu langit.
Semoga Allah mendengar doa dan harapan kita untuk Palestina 🇵🇸.
"You don't need to be Muslim to stand for Gaza. You just need to be HUMAN."
"Kamu tidak perlu menjadi Muslim untuk membela Gaza. Kamu hanya perlu menjadi MANUSIA."
~Anonim
#SavePalestine #AlAqsaUnderAttack
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top