VIII. Sunyi
Suara amarah yang menggelegar itu terdengar sangat menusuk telinga siapa saja yang mendengarnya.
Angger kembali gemetar ketakutan begitu suara itu sampai di telinganya. Ia bahkan memeluk erat dirinya sendiri.
"Tenanglah," kata Zulfikar lembut. "Ketika aku membawamu keluar dari sana, maka kamu akan benar-benar bebas dari orang itu."
"Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" tanya Husain. "Kamu membawa Angger tanpa sepengetahuan Pak Sukma. Wajar baginya untuk marah."
"Lalu apa?" Zulfikar menatap nanar Husain. "Kamu lihat, bukan? Dia sekarat saat aku menemukannya."
Husain tak bisa berkutik. Perkataan Zulfikar layaknya anak panah yang tepat sasaran.
"Sudahlah. Mumpung dia di sini, segera kita selesaikan apa yang seharusnya."
Zulfikar beranjak, melenggang menuju pintu utama rumah yang sepi. Eyang Danar dan Pak Sapta sedang tidak di rumah.
Ia pun langsung membuka pintu dua daun berbahan kayu jati dengan ukiran khas Jepara. Tampaklah Sukma dengan tampang urakannya.
"Heh ... keluar juga kamu." Pria itu berkacak pinggang menatap Zulfikar yang masih berdiri di ambang pintu dengan angkuhnya. "Cepat ... kembalikan Angger!"
"Tidak!" tolak Zulfikar dengan cepat. Ia melangkah menuju teras, dan menuruni satu per satu anak tangga hingga kakinya menyentuh tanah. Suasana desa yang gelap dan hening seakan membuat situasi semakin mencekam. Hanya ada embusan angin dan suara hewan nokturnal lainnya yang meramaikan kegelapan Jamanika malam itu.
"Aku tidak akan mengembalikan dia pada penjahat sepertimu!"
Entah bagian mana dari ucapan Zulfikar yang lucu, Sukma tertawa keras.
"Penjahat katamu? Hei ... ayolah. Aku ini ayahnya. Aku berhak melakukan apa pun pada anakku, dan ... bukankah di sini kamu yang terlihat seperti penjahat? Membawa kabur anak orang dari rumah dan keluarganya sendiri."
Dari arah dalam rumah, Husain dan Mirza keluar. Mereka mendekati Zulfikar dan memandang aneh Sukma.
"Tugas seorang ayah adalah melindungi, mengajari, memberi kasih sayang, dan mendidik putranya. Bukan malah menyiksanya sebagai pelampiasan karena kehilangan istri."
"DIAM KAU!!" Amarah Sukma sudah pada puncaknya.
Zulfikar tau, kalau menyebut istri dari orang itu adalah salah satu cara untuk memainkan emosinya. "Istri yang meninggal seharusnya didoakan. Bukan malah melarikan diri dari kenyataan dengan mabuk-mabukan, judi, bahkan menyiksa anak sendiri." Zulfikar menjedanya sejenak. "Betapa sedihnya ibu Angger melihat kelakuan suaminya yang seperti seorang bajingan."
Sukma mengeraskan rahangnya tak terima. Dadanya naik turun menahan amarah. Ia melangkah maju dengan kepalan tangan yang semakin kuat.
TAP!
BUGH!
Belum sempat Sukma melayangkan pukulannya, Zulfikar menangkis tangan pria itu dan membogemnya balik. "Anggap itu pembalasan untuk Angger, meski itu masih jauh dari kata cukup!"
"Zul, jangan gegabah!" Husain yang terlambat menghentikan langsung menyela.
"Bukan gegabah, Hus. Tapi berusaha menyadarkan. Orang sepertinya tidak akan mempan disadarkan hanya dengan kata-kata."
"Lalu dengan kekerasan ... akankah itu berhasil?"
Retorika Husain membuat Zulfikar tak berkutik.
"BERENGSEK!!"
Suara Sukma kembali menyadarkan Zulfikar dari lamunannya. Pria itu meludah, mengeluarkan darah akibat luka di mulut bagian dalamnya. Ia bangkit tanpa peduli sudut bibirnya robek akibat pukulan Zulfikar. Ekspresi yang terbaca dalam keremangan hanyalah wajah Sukma yang semakin bertekuk dalam. Ambisinya hanya ingin menyerang balik Zulfikar sekarang.
"Biar hal semacam ini menjadi urusanku. Kalian kembalilah ke dalam, dan rawat Angger."
"Tapi Zul―"
Ucapan Husain dihentikan oleh isyarat tangan Zulfikar. "Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu, Hus." Pemuda berwajah teduh itu mengambil beberapa langkah, menjauh dari Husain dan Mirza.
Ia mengangkat kedua tangannya, seraya mendongakkan wajahnya ke langit gelap berbintang. "Allahumma arinal haqqa haqqa warzuqnattiba'ah wa arinal bathila bathila warzuqnajtinabah. Aamiin." Diusapkannya kedua tangan itu ke wajah layaknya ketika berdoa.
"Bismillahirrahmanirrahim." Zulfikar langsung mengambil sikap pasang dengan sorot mata tajam ke arah Sukma. "Kita selesaikan malam ini juga."
"Sukma adalah jawara kampung."
Zulfikar tercekat ketika mendengar kebenaran itu dari Sapta.
"Dia pengawal Ustaz Ibrahim―guru yang menyeru di desa ini kala itu. Ketika kamu berhadapan dengannya, berhati-hatilah."
Perbincangannya di dapur dengan Sapta telah mengungkap fakta yang belum Zulfikar ketahui.
Kini, dari jarak 50 cm Sukma lantas melayangkan tinjunya, tapi berhasil di tangkis oleh Zulfikar.
Pemuda itu lantas memberi daya pada tangkisannya hingga membuat Sukma mundur. Ia kembali dengan sikap pasangnya, dan Sukma dengan serangannya yang membabi buta.
"Kelemahan seseorang terletak pada emosinya. Jika kita bisa mengendalikan emosi lawan, maka itu bisa menjadi celah untuk menyerang balik dan mengalahkannya."
Ucapan Buya ketika dirinya belajar silat tingkat madya terus bergema dalam ingatannya.
"Ketenangan batin dan jiwa adalah fondasi yang akan mengantarkanmu pada puncak tertinggi dalam pelajaran seni bela diri. Jaga itu, maka kamu akan mencapai kemenangan."
Restu dan wejangan-wejangan Buya itulah yang membuat Zulfikar tidak pernah kalah dalam pertandingan. Terakhir ia berhasil memenangkan medali emas pada kategori tanding kelas G dewasa pada kerjurnas di Solo, meski setelahnya ia harus rehat selama enam bulan akibat cedera pergelangan kaki.
Melihat kondisi Sukma yang semakin memanas karena kekalahannya, Zulfikar menyeringai.
"Kenapa kamu harus ikut campur dalam urusan keluargaku, hah?"
Sukma kembali menyerang Zulfikar. Mencoba meninju, memukul, bahkan mencakar. Gerakannya semakin semrawut ketika emosinya membludak karena tak bisa mengenai Zulfikar sedikit pun. Tidak ada aura jawara yang menguar dari dirinya. Di mata Zulfikar, kini Sukma seperti binatang buas yang tak punya akal dan hanya nafsu untuk menghabisinya.
"Bagaimana hati bisa tenang ... ketika melihat kekejaman terjadi di depan mataku sendiri?" Zulfikar menanggapinya dengan tenang.
Ketika kepalan tangan kanan Sukma hendak mengarah ke wajah Zulfikar, pemuda itu langsung menahan dengan telapak tangannya yang kokoh. Ia mencengkeramnya erat, hingga Sukma meringis menahan sakit. Berusaha menariknya, tapi sia-sia. Ia yang setengah mabuk tak akan mampu menahan kekuatan Zulfikar.
"Bukan besarnya tenaga atau hebatnya serangan, tapi ketenanganlah kunci utamanya."
Zulfikar langsung memelintir tangan Sukma yang ada di dalam genggamannya hingga menghasilkan bunyi gemeletuk.
"Arghhh!!"
Sukma memekik dengan suara yang menyedihkan dalam keheningan malam. Wajahnya meringis, ia menarik tangan kanannya yang seakan remuk akibat serangan yang Zulfikar berikan. Deru napasnya semakin tak beraturan.
Husain dan Mirza yang menjadi penonton tak kalah tercekatnya.
"Kau ... beraninya!"
Meski sudah terluka, Sukma masih tak kunjung sadar. Zulfikar langsung menarik tangan kirinya yang coba menyerang, menjatuhkan Sukma, dan menguncinya.
"Apa kamu bisa merasakan sakitnya? Apa kamu mengerti rasanya, hah?" bentak Zulfikar.
"LEPAS!!" Sukma berusaha memberontak.
"Sebelum kamu melepaskan Angger, aku tidak akan melepasmu."
"Dasar keparat! Kau―arghh!!"
Zulfikar mengeratkan kunciannya. "Aku yakin, istrimu pasti menangis melihat kelakuan durjana suaminya."
"Kau tidak mengerti apa pun!"
"Lalu kamu mengerti apa?" Hilang sudah rasa hormat Zulfikar pada orang yang sedang berhadapan dengannya itu. "Hal yang kamu lakukan sama saja artinya dengan melukai cinta kalian sendiri."
Perkataan Zulfikar seperti anestesi. Mendadak tubuh Sukma melemas.
"Kamu menyalahkan Tuhan karena kepergian cintamu, tapi kamu sendiri tidak menjaga peninggalannya dengan baik." Zulfikar menarik napas dalam-dalam. "Angger adalah bukti cinta kalian, bukan? Lantas kenapa ... kenapa kamu malah melukai dan memperlakukannya seperti binatang? Kamu mengkhianati istrimu sendiri, Pak Sukma! Kamu mengkhianati cintanya!"
Suasana malam itu sangat ribut, tapi tak ada satu pun warga tetangga yang datang atau melerai. Seakan mereka menulikan telinga atas kejadian di sekitarnya.
Zulfikar melepas kunciannya pada Sukma. Pria itu seperti kehilangan daya dan terduduk dengan pandangan kosong.
"Aku memang tidak berhak mencampuri urusan kalian, tapi ... jika aku tidak bertindak Angger pasti akan mati. Sama mendiamkannya, itu artinya aku sama kejamnya denganmu, dan aku tidak mau demikian."
Sukma masih bergeming.
"Jadi tolong ... kalau kamu tidak bisa menjaganya dengan baik, maka lepaskan Angger," pinta Zulfikar.
"Atau uang bisa membuatmu melepasnya?" Zulfikar menatap punggung Sukma. "Baik, aku akan mengambilkannya untukmu."
Ia lantas berjalan ke dalam rumah, masuk ke kamar dan mengambil tas kecil berisi uang yang ia bawa untuk persediaan.
Sebelum meninggalkan kamar itu, Zulfikar menatap Angger yang berlinang air mata. "Maaf jika aku berlaku kasar pada Ayahmu. Aku tidak tau harus bersikap bagaimana lagi."
Ia pun angkat kaki, kembali ke halaman rumah, lalu meletakkan uang itu ke hadapan Sukma.
"Dengan ini ... maka lepaskan dia. Bebaskan dia dari nerakamu. Dia berhak bahagia, seperti keinginan ibunya."
Perasaan bersalah bergelayut di dalam hati Zulfikar, tapi inilah yang terbaik untuk saat ini.
"Satu hal yang harus kamu pahami. Jika istrimu tidak menginginkan Angger, dia pasti tidak akan berjuang mempertahankan dan melahirkannya ke dunia sampai-sampai mengorbankan nyawanya sendiri."
Mata Sukma terbuka lebar tanpa Zulfikar ketahui.
Zulfikar angkat kaki dari sana, dan memilih untuk masuk. Kedua saudaranya mengekor.
"Zul ...."
"Tolong tinggalkan aku sendiri," potong Zulfikar ketika Mirza hendak menegurnya. Ia menatap kedua saudaranya bergiliran. "Tolong ... sekali saja."
Husain dan Mirza saling lempar pandang. Sebelum akhirnya memutuskan angkat kaki dari ruang tamu.
Zulfikar terduduk pasrah di kursi kayu. Ia menyandarkan tengkuknya dan memejamkan matanya.
"Astagfirullāh al-'aẓīm ... astagfirullāh al-'aẓīm ... astagfirullāh al-'aẓīm ...." Air mata Zulfikar lolos begitu saja. Jiwanya tertekan, ia merasa begitu bersalah atas ketidakberdayaan yang menderanya. "Ampuni aku, Ya Allah ...."
***
"Kak ...."
Zulfikar yang bersiap hendak menunaikan salat Jum'at seketika menoleh. Seharian kemarin suasana terasa begitu dingin. Tidak ada perbincangan, bahkan setelah Zulfikar menceritakan apa yang terjadi pada Eyang Danar dan Pak Sapta kembali dari urusannya.
Mereka sempat kaget, tak percaya kalau Zulfikar akhirnya menjalankan rencana itu. Semenjak saat itu juga, Sukma tak lagi pernah terlihat.
"Kenapa?" balas Zulfikar seraya memakaikan peci hitam ke atas kepalanya.
"Kenapa kita harus sholat?" Angger bertanya penuh penasaran. "Bahkan Kakak menangis setelah salat malam tadi."
"Kamu melihatku?"
"Aku tidak sengaja terbangun, lalu melihatmu sesenggukan."
Zulfikar mengembuskan napasnya. "Shalat adalah penghubung antara manusia dengan Allah ... Tuhan yang menciptakan aku, kamu, hewan, tumbuhan dan segala yang ada di semesta ini." Ia mendekati tempat tidur Angger. "Selain itu, salat adalah salah satu dari lima rukun Islam."
"Penjelasannya cukup panjang. Sekarang sudah hampir waktunya sholat Jum'at. Nanti selesai sholat aku akan menjelaskannya padamu."
Angger masih terdiam.
"Kalau begitu aku pergi dulu."
Baru saja Zulfikar mengambil beberapa langkah, Angger menghentikannya.
"Apa aku boleh ikut?"
Zulfikar menoleh, seutas senyum terbit di wajahnya. "Tidak ada alasan untuk tidak mengizinkanmu ikut. Ayo." Pemuda itu menelengkan kepalanya, mengisyaratkan agar Angger mengikutinya.
_________bersambung__________
Pict: @adji_copoo
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۖ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Padahal tak saling kenal, tapi kepergiannya menyisakan kesedihan begitu dalam.
On eternal patrol ...
Terima kasih atas dedikasimu karena telah menjaga kedaulatan laut Bumi Pertiwi selama ini, Para Kusuma Bangsa.
Tunai sudah baktimu di dunia.
Mungkin ragamu akan hilang ditelan waktu, tapi napas perjuangan yang kau embuskan akan selalu mewangi sepanjang masa, dan terukir abadi dalam prasasti sanubari.
Syahid di bulan suci penuh rahmat, maka izinkanlah doa yang terlantun ini menjadi pengiringmu menuju keabadian. Dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan oleh Yang Maha Kuasa.
Tetap Tabah Sampai Akhir 🇮🇩
>>>》●《<<<
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top