VII. Obat


E

yang Danar, Pak Sapta, dan ketiga pemuda itu duduk bersila di atas tikar pandan yang bisa mereka gunakan seperti biasanya. Di hadapan mereka tersaji menu hasil prakarya Zulfikar dan Pak Sapta. Tiwul, urap dan kuluban, serta bacem tahu. Meski baru mengenal beberapa hari ini, tapi Zulfikar dengan kemampuan sosialnya bisa cepat akrab pada orang yang semula ia anggap akan sangat anti sosial.

Suasana sarapan kali ini terasa berat. Bukan hanya berisi pujian masakan Zulfikar, tapi juga topik diskusinya.

“Apa uang benar-benar bisa menyelesaikannya?” Zulfikar berkacak pinggang, dan menggeleng sesaat―merasa sangat tak yakin dengan ide menukar Angger dengan uang. Bahkan nafsu makannya yang super mendadak hilang. “Rasanya bukankah kita seperti melakukan transaksi jual beli manusia?” protesnya masih tak terima.

Eyang Danar menghela napas tuanya. Menatap Zulfikar yang terlihat frustrasi. “Sukma itu candu judi. Orang berpendidikan sepertimu pasti mengerti, sekalinya seseorang jatuh ke dalam jerat itu akan sangat sulit untuk lepas darinya. Jadi, uang di sini bisa menjadi alternatif meski kita tidak tau seberapa besar persentase keberhasilannya.”

“Untuk saat ini ... menurutku ini adalah rencana yang terbaik demi menyelamatkan Angger.” Mirza menimpali. Pemuda itu menyuapkan nasi tiwul, lengkap dengan urap, dan bacem yang sedari tadi menggantung di tangan.

“Walaupun sama enggak manusiawinya?” kata Zulfikar dengan tatapan tajam.

Mirza mengangguk. Ia menelan kunyahan yang telah lembut. “Bukankah nyawa Angger yang paling utama saat ini? Uang ... kita punya itu. Kita bisa membaginya untuk kebutuhan dan menyelamatkan Angger.”

Zulfikar mengatupkan bibirnya. Benar. Itu tujuannya, tapi hatinya dipenuhi keraguan untuk tetap mengiakan ide yang seperti mencederai nalurinya. Ia lalu beralih memandang Husain yang tumbenan sedang anteng. “Menurutmu gimana, Hus? Setuju sama ide ini?” tanyanya spontan.

Keraguan juga terlihat dari mimik wajah pemuda cuek itu. “Sebenarnya aku enggak yakin, tapi sepertinya patut dicoba.”

Haruskah Zulfikar mengiakan ide gila ini? 

“Kesampingkan dulu egomu itu. Mana yang lebih penting ... nyawa orang atau idealismemu?” Mirza menatap lekat manik Zulfikar.

Pemuda itu refleks menundukkan pandangannya, menjadi sayu. Ia merenungkan perkataan Mirza barusan.

“Selesai benerin masjid kit ke sana,” ucap Husain tiba-tiba.

“Apa itu enggak kelamaan? Kenapa enggak habis ini aja?”

Seperti biasa, Zulfikar selalu menggebu terhadap sesuatu yang urgen. Terlebih urusan yang berkaitan dengan rasa. Hatinya sangat peka dan perasa dibanding Husain dan Mirza.

“Satu-satu kita selesaiin, Zul. Takut keburu jum’atan juga. Insyaallah enggak lama, dan berdoa aja Angger enggak kenapa-napa.”

Husain memang disiplin, terstruktur, dan terencana. Bisa dibilang dia itu paling sami’na wa atho’na jika ada apa-apa.

“Mulai sekarang kalian harus hati-hati.”

Ucapan Pak Sapta membuat Zulfikar tercekat. 

“Pak Kades akan segera kembali.”

“K–kapan? Kapan tepatnya orang itu akan kembali ke sini?” tanya Zulfikar tergugu.

“Lusa.”

“Tepat hari Jum’at?” Zulfikar mengembuskan napasnya penuh kekalutan. “Oh Allah, apa yang akan dilakukan orang itu nanti?”

“Kami mungkin tidak bisa berbuat banyak. Satu-satunya yang bisa melindungi diri kalian adalah kalian sendiri,” tambah Sapta.

Dalam hatinya Zulfikar bertanya-tanya, kenapa selalu berakhir menggantung? Pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Ingin dirinya itu bertanya, tapi ia sudah bisa memastikan kalau jawabannya akan sama seperti yang sudah-sudah. Hening. Tak ada jawaban spesifik. Mau tidak mau dia harus mencari jawabannya sendiri.

***

Dengan material genting, semen, dan pasir seadanya sisa milik Eyang Danar, ketiga pemuda itu membenahi Masjid Al-Fath―masjid satu-satunya di desa Jamanika―yang sudah mereka bersihkan rumputnya kemarin. Area dalam masjid itu cukup luas, cukup untuk menampung warga desa yang kata Eyang Danar tak sampai 100 kepala keluarga untuk salat berjamaah.

Pembagian tugas telah dilakukan. Husain menyikat dinding yang penuh coretan. Mirza mengepel dan membenahi jendela serta pintu. Sementara Zulfikar, anak itu memperbaiki genting yang berserakan dan pecah.

Husain mendongak, memperhatikan Zulfikar yang tampaknya sedang melamun di atas atap. Dirinya tau betul kalau bocah itu memikirkan hal lain saat ini.

“Selesaiin dulu yang di sini, baru nanti ke sana,” ungkapnya pada Zulfikar. Ia kembali menyikat dinding kotor masjid itu.

Zulfikar melirik ke bawah, memperhatikan Husain yang memasang tampang jijik ketika membersihkan dinding kotor di hadapannya. Kadang ia mengusap peluh dengan lengan bajunya. “Hus, kamu ganteng kalo lagi keringetan,” ucapnya mencairkan suasana.

“Aku emang ganteng. Tanpa keringetan pun aku udah ganteng.” Husain berkata tanpa mendongakkan pandangannya.

“Nyesel gini aku jadinya,” gumam Zulfikar. 

Pandangan Zulfikar pun teralih pada Mirza, yang sejak tadi dengan tenang mengerjakan bagiannya. “Mas Mirza, aman, ‘kan? Kayaknya dari tadi anteng banget.”

“Aman. Ini pintu sama jendelanya masih bagus kok. Kayunya kuat, tinggal dipasang lagi,” kata Mirza sedang berusaha memastikan kalau pakuannya kuat.

“Kalau Pak Kades tau ... habis kalian semua!”

Suara itu menyahut tiba-tiba di antara perbincangan Zulfikar dan Mirza.

Zulfikar seperti mengalami deja vu. Pelan ia menuruni tangga kayu yang tersandar di bagian ujung sisiran atap bagaian teras. Ia langsung melenggang, mendekati Mirza dan seorang bapak berbadan gempal yang berdiri di pintu depan masjid. 

“Apa kalian tidak takut jika dia akan langsung menghabisi nyawa kalian?” Bapak itu berusaha menguliknya, atau lebih tepatnya menciptakan kegoyahan pada Zulfikar dan yang lainnya untuk tidak melanjutkan. “Ingatlah satu hal, di desa ini hampir tiap sudutnya di awasi oleh orang-orangnya. Aku yakin, mereka juga sudah melaporkan gerak-gerik kalian. Tidak akan ada yang selamat kalau kalian tetap kekeh mempertahankan agama kalian di sini!”

Zulfikar tersentak mendengarnya. Apakah Pak Kades adalah definisi iblis berwujud manusia? Ia menghela napas sejenak. 

“Barang kali Anda lupa, bahwa masih ada Allah yang merupakan Maha di atas Maha. Merajai semesta dan seluruh makhluk cipataan-Nya yang tinggal di penjara bernama dunia,” kata Zulfikar yakin, hingga membuat bapak itu terdiam. 

“Semenakutkan apa pun Pak Kades itu, khauf ku hanyalah untuk Allah. Orang itu ... dia hanyalah pemimpin zalim yang sama sekali tidak patut dihormati, atau bahkan dihargai. Hal buruk yang dia lakukan hanya mengundang murka Allah dan bencana.”

“Mungkin kalian belum tau, tapi di desa ini hukumnya lah yang tertinggi. Apa pun bisa dia lakukan, bahkan menghilangkan nyawa orang sekali pun,” ucap warga itu tak mau kalah.

Kening Zulfikar berkerut dalam. Menghilangkan nyawa katanya? Dasar Fir’aun!

“Dan Allah masih ada di atasnya. Dia bahkan bisa mencabut nyawa siapa pun tanpa menunggu.”

Ucapan Mirza membuat Zulfikar menatapnya. Pria di sebelahnya itu memang tidak bisa ditebak. Misterius kalau dalam sudut pandang Zulfikar.

Lagi, bapak itu tak berkutik.

Zulfikar menyadari sesuatu dari sorotnya. “Apa Bapak tidak ingin lepas dari jerat orang itu?” Ia berusaha memastikan. Perubahan mimik itu semakin menguatkannya. “Kedamaian sebelum orang itu ke sini. Itu, ‘kan, yang kalian cari? Kenapa tak berusaha melepaskan jeratnya?” kata Zulfikar.

“Kalian tidak tau apa-apa!” tatapan nanar itu dilayangkannya. Ia membuang muka, lantas angkat kaki dari sana.

Zulfikar mengembuskan napasnya hingga tak tersisa lagi. Ia buru-buru manarik udara segar pedesaan untuk mengembalikan suasana hatinya.

***

BRAK!

Pintu dua daun bercat cokelat tua―yang kayunya mulai rapuh itu didobrak paksa. Zulfikar mengedarkan netranya ke sekeliling ruangan di hadapannya. Ia langsung menutup hidung ketika bau busuk sampah dan masam alkohol dari ruang ruang tamu itu menguar hebat.

Rumah tampak acak-acakan, kotor, dan bau. Sungguh ini tak berbeda dari sebuah bangunan terbengkalai, atau tempat sampah!

Zulfikar sudah tidak bisa menahan diri lagi ketika melihat Sukma melintas di depan rumah Eyang Danar yang seperti sedang buru-buru pergi. 

Sorenya, selepas ashar ia langsung menyatroni rumah Angger yang pernah diberitahu oleh Sapta. Ia takut akan terjadi hal buruk jika kelamaan menunggu. Bahkan ucapan Husain dan Mirza yang mencoba meredakannya tidak lagi diindahkan.

“Angger?” panggilnya keras-keras. 

Ia lalu melangkah menyusuri ruangan-ruangan, membuka satu per satu pintu yang tertutup tanpa kunci. Hingga sampailah ia di depan pintu terakhir bercat hijau telur bebek yang terkunci dari luar.

“Angger?” Ia mengetuk pintunya keras-keras, berharap kalau akan ada jawaban dari sana. “Apa kamu di dalam?”

Detik berlalu, tapi tetap tak ada jawaban.

“Aku yakin dia di ruangan ini.” Zulfikar berusaha mencari akal untuk membukanya. Menggerak-gerakkan gerendel yang di gembok sekuatnya.

Tak mendapati hasil, Zulfikar lantas coba mendobraknya.

    Satu kali.

    Dua kali.

    Tiga kali.

Pintu pun terbuka lebar hingga mengeluarkan bunyi debaman karena terbentur dinding.

“Angger?” lirih Zulfikar. 

Ia tak kuasa melihat kondisi anak laki-laki itu. Ditelanjangi bagian dadanya, kedua tangan diikat ke belakang dan kakinya diikat kuat dengan tali hingga mengoyak kulitnya. Ada banyak memar dan luka menatoi tubuhnya.

Ia mengambil langkah cepat, merengkuh tubuh Angger yang tergeletak tak berdaya di lantai berdebu. Panas! Itu yang Zulfikar rasakan.

“Angger!” Diguncangnya tubuh kurus itu. “Hei, sadarlah!” Lembut, ia tepuk pipinya.

Angger membuka matanya. Bibir biru pecahnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu.

“Jangan bicara dulu! Aku akan membawamu keluar dari sini.” Zulfikar membuka ikatannya, lalu menggendong Angger ke punggung. “Kamu akan selamat dan segera bebas dari neraka ini.”

Pemuda itu berjalan keluar, dan langsung mendapati dua saudaranya berdiri di ambang pintu rumah Sukma.

“Zul ....”

Mirza kaget bukan kepalang ketika melihat Zulfikar yang tergopoh menggendong Angger. Pun dengan Husain yang sepertinya baru tiba di sana.

“Dia―” Husain tak kalah syoknya.

“Jangan banyak tanya. Buruan pulang, obatin!” Zulfikar begitu cemas dengan kondisi Angger. Ia berjalan mendahului Mirza dan Husain untuk kembali ke rumah Eyang Danar.

***

Husain bergegas mengambil tas medisnya, dan kembali mendekati pembaringan Angger. Ia meletakkan tas itu di atas nakas, lalu mengeluarkan senjata kebesaran seorang dokter. 

Digerakkannya stetoskop itu di dada kurus Angger yang penuh memar. Ia juga meletakkan termometer di ketiaknya ketika merasakan hawa panas dari tubuh remaja itu.

“Tolong ambilkan air biasa dan air hangat. Di sini tidak ada es, jadi cari air sedingin mungkin.”

Mirza mengangguk. Ia lantas pergi ke dapur untuk mencari yang dimaksud.

“Dia demam,” kata Husain. “Tubuhnya mengigil. Aku akan membersihkan luka dan memberinya obat pereda nyeri.”

“Lakukan yang terbaik,” sahut Zulfikar.

 Husain mengangguk. 

Tak berapa lama, Mirza pun kembali. Lengkap dengan dua baskom berisi dua jenis air pesanan Husain.

“Zul, tolong bantu bersihin lukanya.” Baru akan mendekat Husain kembali berkata, “Cuci tanganmu dulu.”

“Tap―”

“Jangan protes. Di sini aku dokternya.”

Zulfikar tak bisa berkutik. Ia ke belakang untuk cuci tangan, dan kembali secepat kilat. 

Ia pun langsung melakukan apa yang diminta Husain.

“Mas Mirza, tolong bilas badan Angger. Biar gimana pun dia harus tetep bersih.”

Keduanya mengangguk paham dan langsung mengerjakan yang dipinta.

Lima belas menit sudah Zulfikar membersihkan lukanya, pun dengan Mirza yang membilas tubuh Angger.

Husain yang sedari tadi juga membantu mengeringkan tubuh Angger beranjak mendekati nakas. Lalu mengeluarkan mortar dan pestle ukuran sedang yang sengaja ia bawa serta sebuah kapsul paracetamol. Ia menghaluskan obat itu dengan mortarnya.

“Pantes tasnya segede gunung. Rupanya bawa ulekan juga,” celetuk Zulfikar.

“Mingkem aja kamu!” Husain menimpali dengan raut tak terima. “Lagian ini juga demi kebaikan kita.”

Selesai menumbuk, ia pergi ke dapur. Membawa segelas air dan sendok makan. Dituangnya paracetamol yang telah dihaluskan ke dalam sendok. Lalu ditambah sedikit air untuk melarutkannya.

Diminumkannya obat itu pada Angger yang masih belum sadarkan diri. Ia kembali beranjak dan kembali menuju nakas. Mengambil perban, spray polyhexamethylene biguanide (PHMB) dan krim heparin sodium dalam tas medisnya.

Cairan PHMB itu disemprotkan ke luka terbuka yang di derita Angger, setelahnya ditutup dengan perban, dan dilanjutkan dengan mengoleskan heparin sodium pada lebam-lebamnya. Tak lupa kompresan air hangat yang diletakkan di kening Angger.

Semuanya selesai. Kini tinggal menunggu bocah itu sadar. 

“Udah masuk waktu magrib. Ayo sholat,” ajak Zulfikar.

***

“Air ...” 

Lirihan itu membuat ketiga pemuda yang sedang khusyuk membaca Al-Qur’an mengalihkan perhatiannya. Buru-buru ketiganya menyudahi aktivitas itu. Terlebih Zulfikar.

“Ada yang sakit? Butuh sesuatu? Atau pengin makan?” tanyanya bak reporter.

“Haus ...” balas Angger.

Zulfikar mengangguk, langsung ke dapur mengambilkan minum.

Husain memeriksa kembali Angger. “Alhamdulillah ... demammu sudah turun.” Ketika pemuda itu akan berbalik, ujung kaosnya ditarik oleh Angger.

Husain pun berbalik dan menatapnya. “Apa masih ada yang kurang nyaman?”

“Kau seorang dokter, bukan?” bibir pecahnya bergerak perlahan.

Tatapan iba Angger membuat hati Husain terenyuh.

“Apa kau punya obat untuk menyembuhkan luka hati?” Ia menyentuh dadanya. “Rasanya sangat sesak dan sakit walau lukanya tak terlihat.” Mata anak itu berkaca-kaca. Ia menatap Husain lagi. “Bisakah kau berikan obat itu padaku sekarang?” tanyanya lagi.

“Aku sudah terlalu sakit untuk bisa bertahan lebih lama lagi.” Air matanya mulai luruh. “Ayah tidak menginginkanku. Rumah itu bukan rumahku. Tidak ada lagi tempat bagiku di dunia ini.”

Husain menganga tak percaya dengan ucapan Angger. “Aku memang seorang dokter, tapi aku tidak punya obat seperti yang kamu minta,” ucapnya dengan rasa bersalah.

Zulfikar yang mendengarnya langsung meletakkan gelas ke atas nakas. Ia pun duduk di dekat Angger. “Kamu masih punya aku, Angger. Jangan merasa sendiri lagi.”

“Tapi keluarga yang kupunya satu-satunya tidak menginginkanku lagi.” Angger tak kuasa membendung tangisnya.

Zulfikar mengusap lembut puncak kepala anak itu. “Untuk itu kami ada di sini.”

Angger menatap Zulfikar dengan mata sembab.

“Mungkin kehadiran kami di sini adalah bagian dari doamu yang akhirnya terjawab.” Zulfikar tersenyum hangat. “Sekarang kamu istirahat, dan jangan mikirin masalah itu dulu. Oke?”

Angger mengangguk lemah.

“Keluar kalian, Para Penculik!”

__________bersambung_________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top