VI. Goresan

“Apa kamu yang bernama Zulfikar Syahidan Maalik?”

Jiwa mungil yang telah beranjak remaja itu terpanggil, ketika rumah yang ia impikan sejak kecil tak pernah menganggap hadirnya. 

Zulfikar Syahidan Maalik–Ma’had Nurul Dzikra.

Dua susunan kalimat yang dulu tak bisa ia baca kini menuntunnya ke tujuan, lalu menetap untuk suatu alasan. Mengembalikan sorban pada pemiliknya! 

Hampir delapan tahun ia menunggu manusia yang seperti Bang Toyib, tak pernah pulang ke pesantren dari Alif MA, hingga kuliah dan sekarang mengabdi kembali di tempat itu.

Kini, muara pencariannya sudah ada dalam jangkauan.

Pria berbaju koko warna navy dan dua orang lainnya yang tengah berjalan beriringan itu menghentikan langkahnya. Yang berbaju navy kemudian berbalik, menampilkan wajah teduhnya yang penuh bingung. Pun dengan dua orang yang bersamanya, yang memandang Alif dengan tanya.

Alif langsung menunduk, tak punya keberanian untuk menatap pria itu, takut dan khawatir akan menjadi zinah mata meski ia juga penasaran.

“Kamu siapa? Dan ... bagaimana tau namaku?”

“Ini.” Alif menjulurkan tangan yang memegangi sorban, tanpa memandang. “Aku mau mengembalikannya. Lima belas tahun lalu kamu meninggalkannya di halaman yang bunganya kamu pandangi.”

Zulfikar bingung. Ia lalu mengambil sorban itu, dan membentangkannya. Seketika senyumnya terbit. Ingat akan kejadian senja masa lalu itu. “Kamu anak perempuan yang mengataiku gila, bukan?”

Malu karena Zulfikar mengatakan hal itu, Alif mengangguk pelan. “Karena barang itu sudah kembali pada pemiliknya ... aku pergi. Assalamu’alaikum.” Ia berbalik dan mulai melangkah, untuk kembali ke ruang TU.

“Tunggu!” 

Alif berhenti, dan membalikkan tubuhnya lagi ketika panggilan pemuda itu terdengar.

“Tolong jagalah ini lebih lama lagi.” Pemuda itu berjalan beberapa langkah, dan langsung mengembalikan sorbannya pada Alif. “Ya, setidaknya sampai aku menyelesaikan pendidikanku.”

“Maaf, tapi aku bukan penyedia jasa penitipan barang,” tolak Alif cepat.

“Ada janji yang harus aku tepati padamu. Tunggulah hingga saat itu tiba.”

Alif bingung, janji katanya?    

“Ini adalah barang berharga pemberian Umiku. Aku percaya kamu bisa menjaganya sampai aku benar-benar kembali.”

“Kenapa kamu menitipkannya padaku? Kita ini hanya orang asing yang baru bertemu setelah belasan tahun.”

“Karena aku percaya padamu.”

Kening Alif berkerut. 

“Aku harap kamu mau menunggu, sampai aku kembali dan datang menemuimu untuk mengambil sorban itu sendiri.”

Alif mengembuskan napasnya, malas berbicara panjang lebar. Ia tak peka bahwa ada maksud terselubung dari ucapan pemuda di hadapannya itu. “Baiklah. Berapa lama aku harus menjaganya?”

“Satu tahun lagi.”

Alif mengangguk pelan, lalu mengambil sorban dari tangan Zulfikar. “Sekarang aku harus kembali bekerja. Assalamu’alaikum,” ucapnya tanpa basa-basi.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”

Tidak ada komunikasi lagi setelah pertemuan mereka yang kedua. Sampai satu tahun yang dijanjikan itu berlalu. Nuha, ibunda Zulfikar mendekati Alif ketika gadis itu masih melipat mukenanya selepas salat ashar.

“Nak Alif ....” panggilnya lembut. Ia lalu mengambil duduk berhadapan dengan Alif.

“Iya, Umi. Ada yang bisa Alif bantu?”

Wanita itu hanya tersenyum. “Ada seorang ikhwan yang ingin mengenalmu. Jika kamu berkenan, tolong buatkan CV mu, ya? Nanti biar Buya yang akan menjadi perantara di antara kalian.”

Terkejut? Sudah pasti. Alif tak pernah terpikirkan dengan hal ini, meski bukan tiada mungki ia akan mengalami.

“Jika boleh tau, siapa orang itu?” tanyanya ragu.

“Kamu mengenalnya.”

Jawaban singkat itu membuat Alif berpikir keras. Menerka siapa orang yang dimaksud oleh Nuha.

“Kalau begitu, Umi tunggu dua hari mendatang, ya?”

“I–iya, Umi.”

“Jangan khawatir. Umi kenal baik siapa pria yang ingin mengenalmu.” Wanita itu mengulas senyum. “Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.” Perkataan itu sekali lagi membuat Alif dilema. Taaruf? Apa yang harus ia lakukan ketika bertemu dengan lelaki asing yang tiba-tiba ingin mengenalnya?

Sampai hari itu pun tiba. Di hadapan Alif sudah ada CV orang yang mengajaknya untuk saling mengenal. Betapa terkejutnya ia ketika membaca nama yang tertera di sana.

 “J–jadi ikhwan yang dimaksud Umi itu ... Zulfikar?” gumamnya. “Tapi kenapa? Kenapa orang yang sesempurna dirinya memilihku?” Alif memandangi foto Zulfikar yang terlampir dalam CV penuh tanya. 

“Nak Alif?”

Alif tersentak, ia lupa kalau Nuha masih di sana.

“Silakan dipertimbangkan. Umi tau, kamu pasti kaget sekali. Umi pun tidak menyangka kalau Zulfikar menaruh hati padamu sampai ia memutuskan ini sebagai bukti keseriusannya.”

“Tapi kenapa orang yang dia pilih itu Alif, Umi? Alif bukan anak ulama sepertinya. Alif cuma―”

“Kamu bisa menanyakannya langsung jika ingin melanjutkan. Nanti jika dirasa tidak yakin, kamu bisa menolaknya.” Nuha tersenyum tipis. “Zulfikar itu sulit ditebak. Dia memang suka berisik dan mengusili saudaranya, tapi ... sekali dia punya prinsip, enggak akan ada orang yang mampu menggoyahkannya. Termasuk orang tuanya sendiri.”

Alif termenung.

“Dia sudah mengambil keputusan ini, itu artinya dia benar-benar yakin memilihmu.”

Alif mengangguk lemah. “Baiklah, Umi. Alif akan pertimbangkan.”

Dalam masa itu, Alif benar mempertimbangkannya, bahkan ia mengistikharahkannya untuk memantapkan hati atas keputusan untuk melanjutkan taaruf ini.

Sepekan berlalu, kini Alif, Zulfikar, Nuha, dan Buya Dzaki berada di ruang tamu. Alif duduk berseberangan dengan Zulfikar. Sejak tadi ia hanya menundukkan pandangan. Antara malu, dan ... entahlah, ia bingung harus bersikap bagaimana.

“Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan pada Zulfikar, Nak Alif?” Suara Buya memecahkan lamunan gadis itu.

Alif masih menautkan jemarinya di atas pangkuan seraya memainkannya. Kebiasannya ketika gugup. “Aku hanya ingin bertanya ....”

Zulfikar langsung menegakkan pandangannya. Meski sebenarnya mereka bisa bertatap muka untuk melihat satu sama lain, tapi Alif masih saja malu untuk itu.

“Kenapa kamu memilih, dan ingin mengenalku? A–aku tau ini melenceng dari yang biasanya, tapi sungguh ... aku ingin tau alasannya.”

Zulfikar tersenyum dibuatnya. “Aku memilihmu atas keyakinan yang Allah berikan padaku, Alif.”

Alif mengangkat pandangannya, dan bertemulah dua pasang mata itu. “Hanya itu?”

Pemuda itu mengangguk pelan.

“Bukankah di luar sana banyak wanita yang lebih baik dariku? Lalu kenapa aku?” Alif masih belum yakin atas ucapan itu. Ada banyak ‘kenapa’ yang bersarang dan ingin segera ia muntahkan.

“Jika aku mencari sosok sesempurna Khadijah, maka sampai aku berpulang lagi pun pasti tak akan pernah kujumpa. Bukankah dua insan dipersatukan adalah untuk saling melengkapi kekurangan?”

Alif masih diam.

“Asal kamu tau, Alif ... aku juga tidak sesempurna itu sampai kamu harus merasa tak pantas bersanding denganku. Allah yang telah menutupinya, apa pun yang ada pada diriku sekarang semua karena ridho-Nya.”

Entah kenapa Alif merasa takjub dengan Zulfikar. Apakah dia telah termakan kata-kata mutiara itu?

“Selama satu tahun itu aku terus meyakinkan hatiku, ... bahwa kamu adalah pilihan yang tepat dan sengaja Allah kirimkan. Aku tidak ingin meluluhkanmu dengan kata-kata manis, meski aku bisa saja melakukannya. Biar Allah yang menjadi alasan kamu memilihku.” 

“A–aku ...” Alif gugup. Sungguh ... kata-kata itu membuat darahnya memanas, hingga lisannya kehilangan kemampuannya. Bukan karena amarah, tapi karena malu.

“Aku akan menunggu. Kamu tidak perlu memberi jawabannya sekarang.”

Kembali, Alif mengangkat pandangannya. Menatap pria yang wajahnya begitu meneduhkan. Sekaligus caranya berbicara. Ia selalu melibatkan Allah dalam tiap tuturnya, bahkan untuk dirinya. Salahkah jika hatinya mulai condong?

“Beristikharahlah ... dan berilah keputusanmu atas diriku,” kata Zulfikar.

 [Sekarang]

Alif tersenyum ketika mengingat momen itu. Ia yang tidak pernah menjalin kisah kasih dengan lelaki lain tentu sangat gugup. Bukan tidak pernah menaruh rasa, ia hanya takut kecewa jika seandainya tak terbalaskan. Rasa kecewa yang ditorehkan keluarganya sendiri sudah cukup membuatnya sadar untuk tidak terlalu banyak berharap.

Namun, kini Alif yang cuek harus berhadapan dengan orang yang mengkhitbahnya. Setelah gadis itu mengiakannya, Zulfikar dan walinya menemui kedua orang tua Alif. Ya, meski orang tua Alif tampak tak peduli dengannya, dan langsung mengiakan maksud Zulfikar tanpa ada pembicaraan panjang.

Alif sempat takut akan stigma yang terbentuk karena sikap orang tuanya, hingga semuanya terputus dengan cepat.

“La takhaf,” kata Zulfikar kala itu. “Hanya karena orang tuanya buruk, bukan berarti anaknya demikian, bukan? Itu tidak akan mengubah keyakinanku padamu, Alif. Tenanglah.” 

Kata-kata itu menenangkan gejolak di hati Alif seketika.

Lalu, apakah semuanya terjadi begitu cepat? Entahlah, bukankah sesuatu memang selalu datang di saat yang tepat?

Alif memeluk erat sorban yang dengan sengajanya memang tidak Zulfikar ambil. 

“Ya Allah ... tolong jagalah selalu rindu segumpal daging bernyawa ini, sampai pemilik yang berhak atasnya dan yang kujaga cintanya itu kembali ... lalu membawaku pada ikatan yang Engkau ridhoi. Hingga aku tak lagi berdosa, karena merindui yang belum halal bagiku.”

***

TABIR

Binarnya pergi, menyisakan gulita yang tak berujung
Cintanya pergi, menyisakan tandus di hati yang kering

Kepergian mengutuknya
Menggoyahkan akar pendirian yang rapuh
Kepergian mengutuknya
Mengubah yang mencinta jadi menyalahkan

Raganya hidup, tapi tidak hatinya
Maka sirnalah segalanya!

Bagaimana kasih-Nya akan masuk, jika hatinya yang akan membuka itu tiada bernyawa?

Skenario takdir yang terus disalahkan

Mengubahnya jadi sekat halus yang memisahkannya dengan Tuhan

Mengaburkan sukma duniawi sang musafir kehidupan

Menjauh, hilang, dan tenggelam dalam kesesatan

Zulfikar dengan penanya. Tulisan itulah yang pertama ia gores setelah judul dalam buku Alif. Sebagai pandangan yang ia dapat setelah beberapa hari di Jamanika.

Ia lantas menutup buku dan pena yang telah selesai ia gunakan untuk menulis. Menyandarkan tengkuk pegalnya pada sandaran kursi kayu jati, menjatuhkan pandangan pada genting yang selalu sama dan akan lama menemaninya. 

Tangannya menyentuh sudut bibir yang mulai membiru. Ia mengeryit dan mendesis ketika sakitnya merasuk. Pikirannya jadi mengawang tak tentu. 

Hingga tiba-tiba saja rindu itu datang dengan seenaknya―menyusup raga yang sedang lelah. Tak berdaya, ia putuskan untuk mengalah―memejamkan mata sejenak, membiarkan rasa itu singgah dalam sanubarinya tanpa penolakan. 

“Kaifa haluk?”

___________bersambung_________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top