V. Perjumpaan Pertama
"Pulang!"
Wajah Angger memucat ketika pria berwajah tegas dan perawakan besar itu mendekatinya. Anak itu tertunduk, matanya tak lagi fokus, berulang kali ia menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya tremor seirama degupan jantung yang tak lagi teratur.
Zulfikar merasa aneh dengan gerak-gerik Angger. Ia lalu beralih menatap pria yang berjalan mendekati mereka dengan raut murka. Tanpa basa-basi pria itu langsung menarik kasar tangan kanan Angger.
"Pulang! Siapa yang ngizinin kamu keluar apa lagi berbaur sama mereka?" Tatapan nyalang itu ditujukan pada Zulfikar.
"Enggak mau! Lepas!" Angger berusaha memberontak. "Orang sepertimu enggak pantas disebut Bapak!"
"Pak―"
PLAK!
Netra Zulfikar membulat sempurna. Ia mematung seketika saat tamparan sekuat tenaga itu dilayangkan ke pipi Angger. Anak itu tak lagi melawan, wajahnya meringis menahan sakit, tangan kirinya mengusap pipi bekas tamparan yang memerah.
"Sejak kapan mulutmu jadi lancang hah?! Ayo pulang!"
Pria yang disebut bapak oleh Angger itu mulai menyeretnya.
Zulfikar yang geram langsung menghadang langkahnya. Husain berusaha mencegah langkah Zulfikar, tapi ia terlambat.
"Pak, mungkin bisa diselesaikan dengan cara baik-baik. Kasihan Angger. Lihat ... dia kesakitan." Ia masih berusaha baik-baik.
"Peduli apa kamu hah?! Minggir!"
Zulfikar menggeleng. " Saya tidak akan menyingkir. Anak itu amanah, gimana bisa Bapak―"
BUGH!
Zulfikar limbung, pandangannya mendadak kabur, telinganya berdengung, dan akhirnya ia terjatuh. Wajahnya meringis. Ia mengusap sudut bibir kanan yang dibogem oleh ayah Angger. Darah, bibirnya terluka.
"Zulfikar!"
Husain dan Mirza langsung berlari mendekati Zulfikar yang terduduk di tanah, tapi pandangan Zulfikar tertuju pada Angger. Ia mendapati tatapan iba anak itu, seakan merasa kasihan padanya.
"Saya sarankan ... jangan ikut campur urusan keluarga orang lain! Saya lebih tau bagaimana mengajari anak saya agar tidak menjadi seorang pembangkang." Ia beralih menatap Angger dengan tatapan penuh ancaman. "Mau melawan lagi? Kamu yang paling tau Bapak bisa berbuat apa kalau sampai kamu memberontak."
Angger langsung ciut. Tak lagi ada tatapan ingin memberontak.
Pria itu langsung pergi, menyeret paksa tangan putranya. Meski Angger merintih dan berusaha melepaskan cengkeraman itu, usahanya tetap sia-sia. Ia yang bertubuh kurus dan kecil kalah kuat dengan ayahnya.
Zulfikar berusaha bangkit. Ia hendak mengejar kedua orang itu.
"Enggak boleh!" Husain menahan bahunya.
"Tapi Hus―"
"Aku tau maksud kamu, tapi tolong jangan gegabah. Bapak itu ada benarnya. Kita enggak bisa ikut campur urusan keluarga mereka." Husain berkata dengan menggebu.
"Kalau dibiarkan ... anak itu bisa semakin menderita, Hus! Aku harus―"
"Enggak!"
"Kenapa kamu jadi enggak rasional sih, Hus? Ini udah nyangkut nyawa dan hak kebebasan orang, tapi kamu ..." Zulfikar menggeleng tak mengerti, "apa kamu mau membiarkan anak itu mati terlebih dahulu di tangan bapaknya sendiri baru kita bergerak?" Ia tertawa sarkas. "Padahal kita melihat kezaliman itu terjadi di depan mata kita, dan yang kita lakukan apa? Hanya diam saja menunggu akhirnya?"
"Sekarang bukan waktu yang tepat."
"Lalu kapan? Kapan, Hus? Kapan? Yang kita butuhkan aksi, bukan sekedar narasi. Sorot mata anak itu bahkan menunjukkan ketakutannya. Entah tindakan durjana apa lagi yang akan dilakukan oleh ayahnya pada dia."
"Terus, kalau kamu berhasil nyelametin anak itu ... apa yang bakal kamu lakuin selanjutnya? Apa kamu siap menjamin hidup dan masa depannya? Apa kamu siap dengan tanggung jawab atas dirinya? Inget Zul, mau seburuk apa pun ayahnya itu enggak akan mengubah fakta kalau darahnya juga mengalir di dalam tubuh Angger―anaknya."
Tolakan Husain membuat Zulfikar semakin meradang, hingga ia memilih angkat kaki dari sana dari pada melanjutkan perdebatan.
"Zul!"
Panggilan Husain tak lagi ia gubris. Hatinya ingin pergi menolong Angger. Seretan ayahnya telah menyingkap lengan baju Angger yang menutupi lengan kurusnya. Banyak luka lebam di sana. Pikirannya terusik, nuraninya menangis. Bagaimana bisa orang tua berlaku sangat tidak manusiawi pada anaknya sendiri?
***
Husain kembali dari kamar, mendekati Zulfikar yang duduk dengan muka marah di ruang tamu. Tangan kanannya membawa kotak P3K yang memang sudah ia persiapkan sebelum melakukan perjalanan.
"Sukma―ayah Angger memang berubah sejak kematian istrinya."
Zulfikar memfokuskan perhatian pada pria tua di dekatnya.
"Dia tadinya adalah muslim taat, dan sangat mencintai mendiang istrinya, tapi semua berubah saat sang istri meninggal ketika melahirkan Angger."
"Tapi Angger tidak bersalah. Semua itu sudah menjadi takdir," sahut Zulfikar.
"Cinta bisa mengubah seseorang. Entah jadi lebih baik, atau malah sebaliknya. Ketika ia kehilangan cintanya ... ia akan merasa kehilangan segalanya. Pria itu hampir gila, perlahan memaki dan meninggalkan Tuhannya. Lalu bertingkat jadi menghalalkan judi, mabuk-mabukan, bahkan melampiaskan amarahnya pada darah dagingnya sendiri."
"Tetap saja, tindakan Pak Sukma tidak bisa dibenarkan," maki Zulfikar. Wajahnya pun kembali memadam. "Duka karena kehilangan cinta itu boleh saja, tapi berlebihan hingga menyakiti diri sendiri atau orang lain itu sangat tidak dibenarkan." Ia menatap Eyang Danar. "Apa warga di sini tidak ada yang melaporkannya?"
Eyang Danar menggeleng. "Itu hal yang percuma. Tidak akan ada warga yang membantu, apa lagi pihak desa."
Zulfikar mengembuskan napas, dan meraup wajahnya dengan kasar. Ia mendongakkan wajahnya menatap genting joglo tempatnya berteduh.
"Apa kita bisa membuat ayah Angger melepasnya? Maksudku apakah sama sekali tidak ada jalan baginya untuk lepas dari Pak Sukma? Jika penyiksaan itu terus menerus terjadi, aku khawatir dengan kondisi kejiwaan anak itu."
Mirza yang sedari tadi diam pun mulai angkat bicara.
"Aku tidak yakin apa cara yang terlintas ini akan berhasil."
"Kita coba," sahut Zulfikar tiba-tiba. "Sekecil apa pun kemungkinan berhasilnya kita harus mencobanya."
"Hm ... baiklah, semoga ada titik cerah setelahnya," balas Eyang Danar.
"Sebelumnya obati lukamu." Husain menyela, meletakkan kotak P3K itu ke meja di hadapan Zulfikar. "Bisa sendiri, 'kan?" tanyanya dengan wajah datar.
"Ini cuma luka kecil, dibiarin juga sembuh."
"Kamu mau infeksi? Terus bengkaknya enggak ilang?" Husain menyilangkan kedua tangannya. "Ya ... enggak apa-apa sih kalo kamu maunya gitu. Entar kalo Alif tau dan malah enggak kenal sama ka―"
"Iya aku obatin." Zulfikar manyun. Jika menyangkut gadis itu ia tidak bisa berkutik.
Husain tersenyum sinis. Dia menang!
***
Suasana malam di pesantren memang selalu menenangkan. Gadis berkerudung mocca itu tengah merapikan pakainnya di dalam lemari kamar. Alifia Nousha, biasa dipanggil Alif yang merupakan wanita asal Palembang dan telah dipinang oleh Zulfikar.
Perjumpaan mereka benar-benar sepele dan biasa saja. Namun, justru itulah yang membekas, dan menuntunnya hingga menyeberang jauh kemari.
Kini, perhatinnya teralih pada sebuah benda yang telah mengantarkannya. Sehelai kain putih berumbai yang terlipat rapi dan selalu ia letakkan di tempat paling aman sudut lemari. Ia meraihnya, membawanya duduk di tepian ranjang, dan memandanginya.
"Siapa sangka jika sorban ini seperti menjadi benang takdir di antara aku dan dia." Alif mengenangnya, kisah pertemuan pertamanya dengan Zulfikar.
[Palembang, senja di 16 tahun silam]
Alif yang berusia enam tahun kala itu sedang dalam perjalanan pulang setelah mengaji di musala. Ia bersenandung sepanjang jalan, menenteng tas kecil yang berisi iqro, sajadah, dan mukenanya. Tak lupa jilbab biru langit yang dibiarkan menyumpal tak beraturan di puncak tasnya.
Seketika perhatiannya tercuri ketika mendapati seorang anak laki-laki tengah mengamati bunga aster yang tumbuh di pekarangan orang. "Anak itu ngapain jongkok di situ?"
Anak perempuan itu pun berjalan mendekat untuk mencari jawabannya.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanyanya tanpa basa-basi.
Anak laki-laki yang mengenakan baju koko putih lengan pendek, celana dasar hitam seatas mata kaki, dan sandal gunung itu berdiri, berbalik lalu menatapnya dengan seutas senyum di bibirnya.
Mereka berhadapan. Kini Alif merasa pendek. Tinggi tubuhnya hanya sebawah bahu anak itu, tapi ia tidak mau terlalu peduli meski harus sedikit medongak agar bisa melihat wajahnya.
"Kalau kamu suka bunga itu, minta sama yang punya. Biar enggak perlu senyum-senyum sendiri lihatnya."
Lagi, anak laki-laki yang lebih tinggi dari Alif itu tersenyum.
"Apa kamu gila? Kenapa dari tadi senyum-senyum sendiri?"
"Enggak apa-apa," balasnya. "Sebenarnya, aku sedang mengagumi salah satu makhluk ciptaan-Nya," ucapnya dengan suara lembut. Ia pun berbalik dan menatap kembali bunga aster putih yang tertanam rapi itu. "Coba perhatikan makhluk kecil ini."
Alif yang penasaran langsung mendekat, menyejajarkan posisinya dengan anak itu.
"Lebah?" kata Alif setelah mendapati sekelompok lebah yang sedang mengambil nektar dari bunganya.
Anak itu mengangguk. "Rasanya aku iri pada mereka."
Kedua alis Alif bertaut. "Kenapa kamu harus iri pada lebah? Kamu lebih besar dari mereka, kamu bisa berjalan, bahkan berbicara. Coba dengar ... mereka hanya mengeluarkan suara bising dan tidak teratur. Bahkan tidak jarang mereka menyengat manusia."
"Bukankah manusia itu sama ... akan berusaha mempertahankan diri ketika kehidupannya terancam?" sanggah anak lelaki itu.
Alif terdiam. Sementara anak itu masih terus mengamati lebah-lebah yang hilir mudik.
"Aku iri, karena mereka selalu membawa manfaat di tempatnya hinggap. Aku iri, karena sepanjang hidupnya selalu menghasilkan sesuatu yang manis. Aku iri, karena kesetiaannya hingga rela mengorbankan nyawanya. Dan aku iri, karena makhluk kecil ini diabadikan khusus oleh Tuhannya."
Alif semakin tidak mengerti. Ia diam saja ketika anak di sampingnya itu mulai berdialektika.
"An-Nahl ... Allah mewahyukannya. Mengabadikan makhluk kecil yang kita sebut lebah ini dalam kalam cinta-Nya. Bukankah itu hal yang sangat romantis?"
Apa maksudnya? Alif benar-benar tak paham dengan hal rumit yang dikatakannya. Dia hanya bocah enam tahun, bagaimana mungkin mengerti dengan pembicaraan kelas berat seperti itu?
Anak laki-laki itu menjedanya sejenak ketika melihat mimik bingung dari Alif. "Al-Qur'an banyak mengangkat kisah seperti ini, dan yang aku katakan hanyalah salah satunya."
"Abang!"
Suara teriakan itu membuat keduanya menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita dengan hijab syari berwarna hijau army tengah berdiri di dekat mobil sedan putih―tak jauh dari keduanya berada, seolah menunggu anak yang tadi ia panggil untuk menghampirinya.
"Aku harus pergi," ucap anak laki-laki itu pada Alif.
Alif menatapnya dalam. "Sekarang?"
Anak itu mengangguk. "Kelak jika kita ditakdirkan kembali dalam perjumpaan yang diridhoi Allah ... aku akan menceritakan kisah lainnya padamu. Ini adalah sebuah janji." Ia tersenyum hangat. "Aku pergi ... assalamu'alaikum."
Saat anak itu baru mengambil beberapa langkah, ia kembali terhenti, dan berbalik menatap Alif lagi. "Ringankanlah hisab ayah dan saudara laki-lakimu."
Kening Alif berkerut.
"Kerudung itu ...." Ia menunjuk dengan dagunya, "kenakanlah ketika kamu bertemu orang yang bukan mahram bagimu."
"Mahram?" Alif tambah bingung. "Aku melepasnya karena panas, dan ... kenapa kamu cerewet banget sih? Aku bahkan enggak tau namamu," gerutu Alif seraya menyilangkan kedua tangannya.
"Ingatlah, namaku seperti nama sebilah pedang milik Rasulullah ... Nabiku, dan Nabimu juga. Sebuah senjata yang lalu diwariskan dan menjadi pendamping zirah Sang Babul 'Ilmi―Ali bin Abi Thalib dalam setiap pertempurannya melawan musuh Allah."
"Kamu ngomong apa sih?" Alif belum mengerti itu, sebab guru ngajinya belum menceritakan kisah yang dikatakannya.
Melihat kebingungan Alif, dia terkekeh pelan. "Sampai jumpa lagi. Assalamu'alaikum," pamitnya.
"H-hei!"
Alif berusaha mencegah anak itu, untuk mendapat jawabannya langsung. Namun, usahanya tak berhasil. Anak itu langsung berlari menjauh, benar-benar pergi, dan menaiki mobil tanpa berhenti atau memandang Alif lagi.
Mobil sedan putih itu pun melaju pergi dari tempatnya terparkir. Lalu menghilang dari jangkauan pandangannya dalam suasana senja yang mulai meremang.
Ia mengembuskan napas kesal, lalu mengalihkan pandangannya ke arah bunga yang sempat dipandangi oleh bocah yang membuatnya bingung. Hingga, ketika ia melirik ke bawah tampaklah sehelai kain putih dengan rumbai teronggok di sana.
Tak hanya diam, ia segera mengambil dan melihatnya dengan seksama.
"Kayak yang dipake Ustaz Yahya," katanya, ingat kalau guru ngajinya itu juga mengenakan sorban ketika mengajar. "Ini pasti punya anak laki-laki tadi." Ia terdiam sejenak, berpikir. "Eh ... dia 'kan udah pergi barusan, gimana aku mau balikinnya?"
Kebingungan itu membuat Alif terus berpikir. "Apa ... aku simpen dulu, ya? Siapa tau nanti ketemu lagi."
Ketika tangan mungilnya masih membolak-balikan sorban putih itu, tak sengaja netranya tertuju pada sulaman Arab gundul berwarna merah di pinggir dekat rumbainya.
Alif memicingkan matanya, berusaha memahami tulisan apa yang ada di sana.
"Apa bacaannya sih?" Ia menggaruk kepalanya. Bingung adalah hal yang pasti. Anak itu baru belajar iqro, bagaimana dia akan mengerti huruf Arab sambung tanpa tanda itu?
"Apa ini alamat anak itu, ya?" sambungnya lagi. Ia mulai frustrasi, mendecak kesal. "Ck ... kayaknya aku harus cepet khatam iqro biar bisa baca tulisan ini."
Hari yang semakin gelap mengingatkannya untuk segera pulang. Alif memutuskan untuk melipat, dan memasukkan sorban itu ke dalam tas mungilnya. Menyimpannya sampai ia bisa berjumpa lagi dengan pemiliknya.
Ia pun bergegas meninggalkan halaman itu, melangkah dengan riang, dan menyenandungkan hafalan Asmaul Husna. Tanpa tau bahwa penantiannya untuk berjumpa lagi pada sang pemilik sorban itu tidaklah sebentar.
___________bersambung__________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top