III. Alkisah Musabab

Seorang pria berusia sekitar 40 tahun yang memakai udeng―blangkon motif batik parang curigo, berkumis tebal, memakai baju serba hitam mirip jawara palang pintu pernikahan datang mendekati Zulfikar dan yang lainnya. Perawakan yang besar, serta kaki kirinya yang ketika berjalan diseret membuat Zulfikar menelan salivanya dengan susah payah. Takut-takut kalau dia adalah orang jahat.

"Eyang meminta saya untuk menjemput kalian ke rumahnya," ucap pria itu dengan suara berat yang dominan medok logat Jawa dan datar.

Zulfikar melempar pandang pada Husain dan Mirza dengan bingung.

"Eyang Danar?" tanya Zulfikar.

"Jelasinnya nanti. Ayo ikut, sebelum semakin gelap." Pria itu berbalik, dan memandu di depan.

Dengan sisa tenaganya, Zulfikar dan Husain bangkit. Ketiganya lantas mengekor di belakang pria itu.

Mendekati gerbang, atensi Zulfikar teralih pada plang desa yang talinya putus sebelah. Ia berdiam diri sejenak, seraya memandang ke plang itu. "JA-MA-NI-KA," ejanya membaca tulisan yang mulai pudar. "Kenapa enggak dibenerin sih plangnya?" Ia heran.

"Hei, buruan! Mau ditinggal apa?" Husain memperingatkan Zulfikar.

Pemuda itu langsung tersadar dan berjalan menyusul Husain. "Bawel banget sih!" gerutunya.

Husain mendecak, "Kalo enggak mau dibawelin ya jangan bikin onar."

"Hm ..."

Selama perjalanan, Zulfikar memandangi tiap sudut tempat itu, dan tertuju pada suara sorak sorai sekelompok pria dewasa yang ramai-ramai duduk di gardu dengan penerangan minim. Ada yang mengguncang kaleng, menyulut cerutu, menyusup kopi hitam, dan tak lupa yang minum minuman dalam botol-botol kaca hijau-bening. Penampakan itu membuat Zulfikar geleng-geleng seraya beristigfar dalam hati.

"Apa yang mereka lakukan magrib-magrib begini? Apa lagi haid makanya enggak sholat?" celetuk Zulfikar yang membuatnya lagi-lagi tertinggal dengan langkah Husain. Ketika ia kembali hendak melangkah ...

Bruk!

"Ugh!" Zulfikar jatuh terduduk. Ia mendongak, dan mendapati sosok yang perawakannya tak jauh berbeda dengan orang yang menjemput mereka. Hanya saja pria ini tampak lebih berumur dari bapak berkumis.

"Sopo kowe?" tanya pria berwajah garang yang ditabrak dan tampak asing dengan Zulfikar. Ia menelisik Zulfikar dengan tatapan penuh curiga.

"Saya―"

"Sepurane, Mas Guntur ... cah-cah iki tamune Eyang. Tembe merene, dadi ra ngerti dalane," ucap pria berkumis yang sedari tadi bersama Zulfikar cs.

"Mlaku kok ora nganggo moto!" Pria berwajah garang itu langsung berlalu begitu saja.

"Mlaku mah nganggo sikil, Pakde," gumam Zulfikar, membalas ucapan pria itu seraya berusaha untuk bangkit.

"Jangan buat masalah di sini. Bisa-bisa ... bablas kamu nanti." Orang suruhan Eyang Danar itu kembali memandu setelah memberi peringatan pada Zulfikar.

Husain mendekati Zulfikar yang masih mematung. "Kambuh lagi, 'kan, penyakitnya?"

"Berisik!" balas Zulfikar.

Mirza berjalan mendekati keduanya. "Udah, jangan ribut di jalan," ucapnya. Ia melirik gardu yang ramai itu. "Mereka yang seperti itu ... memang udah biasa. Lengkapnya nanti kalo udah nyampe tempat Eyang Danar."

"Siapa sih Eyang Danar itu?" Zulfikar melipat kedua tangannya ke depan dada.

"Orang yang memberi persinggahan untuk kita. Dia kenal dengan Buya."

Zulfikar manggut-manggut. "Ya udah, ayo jalan. Entar makin ketinggalan sama bapak berkumis itu."

"Ini kan gara-gara kamu," sergah Husain.

"Ya bodo!" Zulfikar mendahului Husain. Sejenak dokter muda itu melirik arah yang tadi sempat dituju Zulfikar, mengembuskan napas dan kembali berjalan menyusul kedua saudaranya.

Mereka berjalan di jalan utama desa yang berbatu, dengan penerangan sekedarnya. Sunyi. Itu kesan Zulfikar ketika ada di sana. Meski lampu rumah-rumah menyala, seolah masih gulita di sana.

"Tidak ada listrik di desa ini. Orang-orang pake genset buat penerangan sementara. Jam sembilan malam genset dimatikan, diganti obor atau petromaks," jelas orang suruhan itu. Melihat Zulfikar yang kepo, pria berkumis yang belum pernah tersenyum semenjak pertemuan mereka pun berkata, "Sapta. Panggil saya Sapta."

Zulfikar ber-oh tanpa suara, sampai matanya tertuju pada bangunan rusak yang dikerumuni ilalang setinggi dada orang dewasa, tepat di sebelah kiri jalan. Masjid terbengkalai!

Tempat itu berdiri di petak kosong tanpa ada warga di sisi kiri, kanan, depan, atau belakangnya. Ia terdiam menatap bangunan yang sudah rusak itu.

Genting yang tak lagi utuh, dinding yang berlubang bahkan ternoda oleh coretan pilok warna warni yang sungguh tak ada unsur estetikanya sama sekali. Pun dengan jendela dan pintu yang tak terpasang pada tempatnya. Wallahi ... ia ingin menangis melihatnya.

"Bagaimana bisa rumah Allah yang seharusnya dimuliakan jadi tampak begitu menyedihkan?" gumam Zulfikar.

***

"Abi kenapa? Kok malah ngelamun?" tanya Nuha yang baru saja keluar dari dalam kamar setelah selesai menggosok pakaian.

"Enggak apa-apa, Mi." Fikri menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi rotan ruang tamu, menghela napas dan memejamkan matanya sesaat.

"Abi khawatir sama Zulfikar?" Nuha berusaha memastikan.

Pria berusaha 47 tahun itu terdiam. Khawatir? Tentu saja dia khawatir. Dia adalah ayah kandung Zulfikar―putra semata wayangnya.

"Bi ..." Panggilan Nuha menyadarkan pria itu.

Fikri terlonjak, menatap istrinya yang duduk tak jauh darinya. Ia menautkan jarinya ke atas pangkuan, pandangannya kosong menatap permukaan meja rotan di hadapannya.

"Wajar, 'kan, kalo khawatir? Biar gimana pun dia itu putra kita satu-satunya." Pria itu tertunduk dengan wajah yang semakin sayu. "Selama ini ... Abi ngerasa terlalu keras sama anak itu. Enggak seharusnya Abi membentaknya kemarin. Sekarang ... Abi seperti merasa takut kehilangan, Mi."

"Sebenernya Umi enggak pengen Zul pergi," sela Nuha, "enggak ada yang tau gimana situasi di sana. Tapi ... Abi juga dukung keputusan Buya, 'kan? Kita bisa apa?" Kini, Nuha yang menyandarkan punggungnya pada kursi yang ia duduki.

"Sejak kecil anak itu udah nganggep Buya seperti ayahnya. Ucapan Buya seperti perintah yang harus ia turuti sebagai tanda kebaktian." Pandangan wanita yang selisih tiga tahun dari Fikri itu mulai mengembun. "Sebegitu marahnya anak itu sama kita, sampai akhirnya mencari pelarian ke sosok yang dianggapnya tepat sebagai orang tua."

Nuha tertunduk. "Waktu SMA pun dia minta sekolah di luar pesantren. Pergi ke Aceh sendirian sampai kuliah di sana. Dibanding pulang saat libur semester, dia justru milih ke tempat Uwaknya di Palembang." Suaranya mulai parau. "Orang tua mana yang tidak sedih ... ketika anak kandung satu-satunya berada di dekat kita, tapi seolah terasa jauh seperti ia adalah orang asing di dalam hubungan orang tua dan anak?"

Fikri merasa semakin bersalah. Hatinya tak karuan mana kala melihat buliran hangat itu mulai mengalir di pipi Nuha.

"Umi ingat ... betapa kecil dan rapuhnya Zulfikar ketika pertama kali ia lahir ke dunia ini." Nuha terkenang pada Zulfikar yang 24 tahun silam lahir prematur. "Kita menanti kelahirannya, dan terus mendoakannya ... meski pada akhirnya dia harus lahir lebih cepat daripada bayi normal. Dulu dia sangat dekat dengan kita, Bi ..." Ia memandang suaminya dengan mata yang sudah basah, "walaupun sebelum pergi dia merespons dan senyum sama Umi, tapi Umi merasa masih ada yang mengganjal. Hati seorang ibu enggak bisa dibohongin, Bi."

Setelah kelahiran Zulfikar, Nuha tak lagi bisa mengandung karena rahimnya telah diangkat. Placenta accreta yang menyebabkan postpartum hemorrhage alasannya. Dokter sudah mengupayakan tindakan medis yang terbaik, tapi Allah berkehendak lain. Kondisi Nuha kala itu tak kunjung membaik, hingga akhirnya jalan operasai caesar dan histerektomi jadi pilihan terakhir demi keselamatan Nuha. Zulfikar mungil berada di NICU, dan terus dalam pantauan dokter karena bayi merah dalam inkubator itu masih tidak menangis sejak dilahirkan.

Tangis Nuha semakin pecah kala mengingat semua momen itu. Zulfikar yang sangat rapuh, pun dengan kenyataan kalau ia tak akan lagi bisa memiliki anak.

Fikri pun langsung bangkit, duduk di sebelah Nuha dan menariknya ke dalam pelukan untuk menenangkan. "Tenang, Mi. Abi yang paling bersalah di sini," ucapnya dengan suara bergetar. "Kita doakan terus, ya ... supaya Zulfikar baik-baik saja di sana, dan bisa menyelesaikan misinya ... lalu pulang ke pesantren dengan selamat. Abi cuma pengin dikasih kesempatan untuk bisa minta maaf, dan menjadi rumah di dunia yang ia rindukan untuk pulang. Walau itu hanya sedikit."

Suami istri itu menangis dalam satu pelukan. Ucapan itu sungguh Fikri utarakan dari lubuk hati terdalamnya. Penuh harap dan doa, bahwa putranya akan bisa merinduinya lagi.

***

Zulfikar, Mirza, Husain, dan Eyang Danar duduk bersila di atas tikar pandan―di ruang tengah rumah joglo sederhana yang mereka tempati. Ketiga pemuda itu sudah selesai membersihkan diri, salat, dan kini tiba waktunya untuk mulai mengurai benang merah dari musabab mereka ada di sini.

"Jadi ... apa perjudian, mabuk-mabukan adalah hal yang lumrah dilakukan di tempat umum desa ini?" Zulfikar memulainya.

Eyang Danar―pria berusia sekitar 65 tahun itu mengangguk pelan. "Semenjak kepergian orang itu, ditambah kedatangan yang lainnya lah orang-orang di desa ini jadi menghalalkannya."

"Siapa orang yang Eyang maksud?" tanya Zulfikar lagi.

"Seorang alim ulama yang diibaratkan seperti pembawa lentera, dan menuntun kami pada ketentraman jiwa. Dia telah pergi, dan meninggalkan hal yang belum kuat."

Zulfikar dan Husain saling lempar pandang.

Mirza menghela napas. "Di sini pernah ada seorang guru, dia kenal dengan Buya. Kehadirannya seperti sebuah pohon, yang mengakar, dan memberi keteduhan bagi sekitarnya. Namun, ketika ia meninggal, mereka yang belum kuat seperti kembali kehilangan arah dan pegangan. Diuji oleh hempasan angin yang menggoyahkan, sampai akhirnya terbawa dan hanyut." Ia melirik ke arah Eyang Danar. "Benar seperti itu, 'kan, Eyang? Buya menceritakannya padaku."

Lagi, pria sepuh itu mengangguk, tanpa membalas pandangan Mirza.

"Jika ada masalah sebesar itu, lantas kenapa Eyang tak memanggil Buya agar segera datang kemari?" sahut Zulfikar.

"Benar. Jika segera setelah kepergian guru itu Eyang memanggil Buya ... hal sebesar ini pasti tidak akan terjadi." Husain menimpali perkataan Zulfikar dengan tenang.

"Aku sudah berusaha. Di sini tidak ada sinyal untuk berkabar melalui telepon. Jadi, aku mengiriminya surat. Sekian lama menunggu balasan, tapi tak pernah sampai apa yang dinanti. Aku rasa surat itu tak pernah sampai pada penerimanya. Lalu, kalian datang dan aku senang. Itu artinya Buya telah menerima suratku."

"Kenapa Eyang tidak langsung mendatangi Buya?" Husain yang bertanya kali ini.

"Aku tidak bisa meninggalkan desa ini. Jika aku pergi, siapa yang akan mengawasi mereka? Hal yang perlu kalian tau, peribadatan di sini dibatasi. Tidak boleh di tempat umum, menampilkan simbol-simbol Islam, bahkan para wanita dipaksa membuka kembali kerudungnya. Benar-benar aturan yang tidak logis bukan?" Pandangan Eyang Danar mendadak sendu.

Zulfikar melongo. Sungguh tak percaya dengan aturan yang benar memang tidak logis. "Pantas saja masjidnya sampai begitu," gumamnya.

"Pak Kades yang baru diangkat, beserta orang-orangnya mendoktrin para warga. Mengiming-iminginya dengan harta, melalui judi. Lalu, solusi untuk mereka yang jenuh dan lelah adalah dengan alkohol. Hadiah bahan pangan gratis, asal tidak melanggar aturan itu. Mereka yang goyah tentu akan langsung larut pada kecondongan itu." Eyang menjedanya sejenak.

"Bagaimana bisa semuanya seperti itu?"

"Kemiskinan. Orang-orang di sini bekerja membuat jala, menanam sayuran, kemudian menjualnya di pasar. Mereka bergantung dari sana. Jika dagangannya tidak laku ... dari mana bisa mendapatkan uang untuk membeli kebutuhan pokok? Celah inilah yang dimanfaatkan untuk menggoyahkan kembali keyakinan mereka. Memilih yang masuk di akal dan ada di depan mata, dibanding sesuatu yang tak nyata dan terkesan sia-sia."

"Tindakan yang dilakukan Pak Kades sangat salah, dan juga meresahkan. Lalu ... kenapa kalian diam saja dan tidak melawan? Jika kalian bersatu ... pasti bisa mengalahkan orang zalim sepertinya, bukan?" Khas Zulfikar dengan suara yang menggebu.

Eyang Danar tampak tergugu. Pandangan yang tadi seperti berani mendadak layu. Ada apa sebenarnya? Zulfikar semakin tak mengerti.

Pria tua itu malah hendak bangkit dari dudukannya. "Hari sudah larut. Sebaiknya kalian istirahat," ucapnya seraya berdiri.

"Jangan mengubah topik pembicaraan!" Zulfikar tak terima karena pertanyaannya belum dijawab.

"Di dunia ini ... ada hal yang bisa orang lain ketahui dan ada yang lebih baik mereka simpan." Pria itu berlalu meninggalkan ruang tengah tempat mereka berkumpul.

"Hei!"

Husain menahan Zulfikar yang hendak mengejar pria itu dengan menarik tangannya. "Jangan gegabah, Zul!" sergahnya. "Duduk dulu. Yang tenang. Jangan emosian. Gimana mau dapet jawabannya kalo kamu emosian gini?"

Zulfikar mereda. Ia duduk kembali dengan tenang, meski rautnya tak menunjukkan demikian.

"Husain benar, Zul. Pelan-pelan. Barang kali ada sesuatu yang memang tidak bisa diutarakan olehnya," sanggah Mirza.

"Kalo gitu ... gimana kita bisa tau permasalahannya?"

"Bukankah Eyang sudah mengatakan poinnya?" kata Mirza.

Zulfikar kembali menegakkan pandangannya. "Orang yang mendok―"

"Benar," pangkas Mirza. "Penyebab utama masalah ini adalah Pak Kades dan orang-orangnya."

"Satu yang membuatku bingung ... mereka mengangkat orang itu menjadi qiyadah di desa ini ... apakah sebelumya mereka tidak memperhatikan latar belakang orang itu?"

"Menurutmu ... siapa yang tidak akan termakan ketika orang itu datang dengan membawa visi misi yang sangat menggiurkan?" kata Mirza.

Zulfikar mengatupkan bibirnya. "Tapi 'kan bisa ditelisik lagi sebelum milih?"

"Ya, jika ada yang menuntunnya. Mereka baru kehilangan sosok penting yang menjadi pemandu. Tidak ada lagi yang akan mengarahkan mereka, kecuali diri mereka sendiri. Selain itu, Pak Kades memiliki kuasa yang besar di tempat ini."

"Di antara banyaknya orang, masak tidak ada satu pun yang masih berada di jalan yang benar?" sungut Zulfikar.

"Mungkin ada. Hanya saja tersembunyi."

Zulfikar menghela napasnya dalam. "Akan seperti apa hari esok? Berapa lama kita bisa menyelesaikannya? Argh!" Ia mengacak rambutnya yang masih basah.

"Jangan mengkhawatirkan apa yang belum terjadi. Husnuzan, biar doanya cepet di ACC sama Allah," imbuh Husain.

"Masyaallah ... Akhina Husain yang paling soleh, riweuh, dan steril ... kalo ngomong kadang suka bener."

"Aku memang selalu bener."

"PD sekali Anda?"

"PD karena emang bener."

Zulfikar kehabisan kata-kata. Memang benar Husain itu selalu benar. Pangeran Steril si manusia kubus itu selalu menjawab dengan logika dan apa adanya. Memang anak IPA sejati!

___________bersambung________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top