II. Setapak Permulaan

Pria yang dipanggil oleh Zulfikar itu berbalik. Memandang ke arah dua pemuda yang sedang berjalan pelan mendekatinya. Ia tersenyum tipis.

“Kapan pulangnya, Mas? Kenapa enggak balik ke pesantren dulu?” tanya Zulfikar.

Mirza Aidan Tsaqif―pria bermata sendu itu memang sedang melanjutkan studi S3-nya di Madinah, tepatnya di Universitas Islam Madinah. Pria berusia dua puluh tujuh yang tahun ini akan bertambah satu angka itu masih betah melajang. Meski Abi Fikri sering mengenalkannya pada wanita yang dirasa cocok menjadi pasangannya kelak, Mirza selalu menolak. Ia hanya berpesan, bahwa jika menemukan wanita yang cocok, ia akan menghadap Abi Fikri sendiri. 

“Dua hari yang lalu. Sengaja memang enggak balik ke pesantren. Ada keperluan di luar soalnya.”

Zulfikar manggut-manggut. “Jadi ... Mas Mirza toh ... orang ketiga yang diomongin Buya?”

“Betul. Aku orangnya. Kaget?”

Zulfikar menggeleng. “Aku seneng karena orang yang Buya minta ikut itu Mas. Kupikir bakal orang lain. Seenggaknya, Husain enggak bakal bisa macem-macem.”

Husain merasa terpanggil. Ia pun memandang Zulfikar dengan raut tak terima. “Orang yang menyulut api justru melimpahkan kesalahannya pada orang yang terkena panasnya,” kata Husain dengan lirikan yang tajam lengkap dengan suara sengaknya. “Enggak logis.”

“Orang yang kena panasnya? Bukannya itu kamu yang gampang diprovokasi?”

“Cih ... gini nih kalo kakinya udah napak bumi. Kalo ngomong suka seenak jidatnya sendiri.”

“Heh ... kamu it―”

“Udah,” potong Mirza. “Perjalanan kita bakal lama. Jadi, jangan buang waktu buat masalah enggak penting.”

“Yok, Mas. Tinggal aja Zulfikar yang gak seberapa ini.” Husain menimpali.

“Kan Buya bilang bertiga? Kalo kamu ninggalin aku ... berarti kamu ngelanggar perkataan Buya dong?”

Pria berwajah cuek itu terdiam. Tak mampu berkutik dari ucapan Zulfikar yang logikanya benar.

Sementara Mirza, ia menghela napas merespons pemandangan klise di hadapannya itu. “Zulfikar, Husain, di sini Buya minta Mas buat jadi penengah kalian. Tolong jangan buat Buya kecewa karena Mas enggak bisa buat kalian akur.”

Zulfikar dan Husain terdiam. Mereka memang lebih muda dari Mirza. Tiga tahun selisihnya. Abinya Mirza sendiri adalah kakak dari abinya Zulfikar, serta abinya Husain. Oleh karena itu mereka bersaudara, satu kakek-nenek dari pihak ayah.

“Sekarang kalian ganti baju dulu.” Suara Mirza seolah menyadarkan Zulfikar dan Husain.

“Ha? Ganti baju?” tanya Zulfikar penuh kebingungan.

Mirza mengangguk. 

“Kenapa harus ganti? Gini aja ‘kan enggak apa-apa.” Husain tak kalah bingungnya. Sebab di balik jaketnya yang panjang ia juga mengenakan baju koko berwarna putih.

“Menjaga agar tidak terkesan eksklusif. Kita akan coba berbaur, dengan tetap menjaga batasan untuk tidak melebur.” 

“Bukannya malah bagus, ya? Siapa tau dengan penampilan kita ini bisa memotivasi mereka,” kata Zulfikar.

Mirza tersenyum. Memandang Zulfikar yang memakai kurta maroon dan sorban kotak-kotak hitam-putih berumbai yang melingkar di leher. “Memang benar, tapi enggak semua orang demikian, Zul. Manusia itu unik. Selalu punya penyikapan berbeda ketika menerima rangsangan, lalu mengolahnya dengan akal dan rasa hingga membentuk pola tertentu yang membuat tubuh mereka akhirnya bergerak sesuai dengan pola yang mereka ciptakan. Pun dengan persoalan semacam ini.” Ia mengembuskan napas ketika Zulfikar dan Husain tak berkutik. “Pokoknya ikuti dulu arahanku. Kalian akan mengerti ketika tiba di sana. Selalu ada alasan di balik sebuah putusan, bukan?”

***

Perahu mesin yang ketiganya tumpangi dan tengah dilajukan oleh seorang kemudi sedang melaju dengan kecepatan sedang. Memasuki wilayah perairan sungai payau yang diapit oleh hutan bakau.

Bagian ujung ranting-ranting bakau tanpa daun itu menjorok ke bagian tengah sungai seolah membentuk lorong dimensi yang lain. Tempat yang mereka lalui terasa begitu sunyi, seperti tak ada kehidupan. Matahari yang sudah mulai condong ke ufuk barat pun menjadi pertanda senja yang mulai tiba. Hanya bunyi mesin perahu yang membabat kesunyian kala tiada percakapan.

“Em ... Mas Mirza,” ucap Zulfikar memecah keheningan, “apa Mas pernah ke tempat yang mau kita tuju itu?” Pemuda itu bertanya tanpa mengalihkan pandangannya yang lurus ke depan.

Sesaat ia memandang Zulfikar, detik berikutnya Mirza kembali meluruskan padangan sejurus dengan yang menanyainya. Memperhatikan ranting-ranting bakau yang membungkus jalan perahu serta mungkin cukup panjang dan membosankan. “Pernah ... tapi itu sudah lama sekali. Ya ... ketika aku berusia sepuluh tahun.”

Zulfikar memutar lehernya, melirik hingga terjangkaulah wajah  Mirza dari posisi duduknya. “Ngapain?”

“Menjenguk seorang guru. Waktu itu aku juga pergi dengan Buya.”

“Guru?” Husain langsung ambil bagian dari dialog di atas perahu itu.

Mirza mengangguk. “Bisa dibilang dia itu sahabatnya Buya. Dia memilih untuk tinggal dan menyeru di sana. Dulu dia seperti menjadi oase di tengah gersangnya hati, saat agama masih tabu ... ia datang dan menjadi pembawa cahaya bagi orang-orang di sana.”

“Kalau dia adalah pembawa cahaya ... apakah ini ada kaitannya dengan ucapan Buya waktu itu?” Zulfikar mencoba berspekulasi. Menerka dengan informasi yang pernah gurunya itu sampaikan.

“Benar.” Ucapan Mirza menarik kedua pemuda itu dalam arus pemikiran. “Baru beberapa waktu lalu Buya mendapat kabar kepergian sahabatnya itu. Dia tidak punya pilihan selain mengutus kita untuk pergi. Kondisi Buya tidak memungkinkan sekalipun dia sangat ingin.”

“Kalau begitu ... kenapa bukan Abi yang dikirim?” Husain menimpali.

“Lalu yang akan mengurus pesantren? Kalian? Apakah kalian sudah sanggup memikul beban itu? Ingat ... tidak ada yang mudah di antara dua pilihan ini. Yang namanya amanah itu berat. Bahkan langit, bumi, serta gunung-gunung pun menolaknya, bukan?”

Zulfikar dan Husain mengangguk.

Innā ‘araḍnal-amānata ‘alas-samāwāti wal-arḍi wal-jibāli fa abaina ay yaḥmilnahā wa asyfaqna min-hā wa ḥamalal-insān ....” Zulfikar langsung membacakan potongan ayat yang dimaksud Mirza dengan suara merdunya. Memang, di antara ketiga pemuda itu, Zulfikarlah yang suaranya paling merdu. Berkatnya, ia sering diminta menjadi muazin ketika menjelang subuh, dan juga saat salat jumat.

 “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia ....” Husain langsung menyahutinya dengan terjemahan. “... Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh ...” sambungnya pada bagian ayat yang tak dilafazkan oleh Zulfikar.

Suasana seketika hening. Terjemahan ayat itu seolah menjadi penutup perbincangan. Menggantung.

Meski begitu, ketiganya tampak paham dengan apa yang kemudian dijelaskan ayat selanjutnya. Mereka sadar, bahwa bisa jadi mereka akan atau pernah menjadi salah satu yang disebutkan dalam ayat itu tanpa mereka sadari.

***

“Ya Allah ... tolong kuatkanlah salah satu makhluk ciptaan-Mu yang guanteng ini. Jangan biarkan kakiku keseleo, apalagi sampe ngegelinding ke jurang. Aku masih pengen pulang.” Zulfikar berucap dengan suara yang mendayu-dayu seolah tengah menghayati peran dalam sebuah drama. Suaranya itu membuat Husain yang ada di depannya menjadi illfeel, dan menampilkan wajah kesal. 

Mereka bertiga sedang berada di anak tangga tanah berbatu yang mengarah ke destinasi tujuan. Sisi sebelah kiri tangga itu adalah dinding batu berlumut. Lalu, sisi kanannya adalah jurang dangkal yang hanya diberi pegangan tambang besar yang diikat pada tiang kayu setinggi satu meter di atas permukaan tanah―ditanam tiap jarak dua meter.

Yang dipikir akan sampai setelah naik perahu selama sejam, ternyata salah. Mereka masih harus naik mobil pick up untuk menyisir hutan demi menghemat waktu. Belum lagi mendaki anak tangga yang tingkat kemiringannya sangat menguras tenaga. Husain rasanya ingin menangis!

Mirza berada paling depan, Husain di tengah, dan yang paling belakang adalah Zulfikar. Langit semakin gelap, tangga yang mereka daki tak menunjukkan tanda akan adanya penerangan. Mereka berusaha cepat, meski langkah sudah terseok-seok. Ditambah beban ransel yang juga tidak ringan.

“Tinggal sepuluh anak tangga lagi!” Mirza meneriaki Zulfikar dan Husain yang masih berada selisih beberapa anak tangga di bawahnya. “Ayo semangat!”

Baik Zulfikar maupun Husain tidak menjawab seruan Mirza. Penampilan keduanya benar-benar buruk. Rupa keduanya tak lagi berbentuk. Wajah lelah mereka semakin menyiratkan, bahwa permulaan langkah mereka pun tidaklah mudah. Tiada terkira lagi peluh yang mengguyur tubuh mereka. Tiada terkira lagi berapa kali hati dan lisannya mengaduh.

Sekitar lima menit, tiga pemuda itu akhirnya sampai di tempat tujuan. Sepasang gapura berbata merah bertingkat―berjarak sekitar 15 meter dengan sebagian rupa yang tertutupi ilalang telah tampak dari keremangan.

“Akhirnya ....” Zulfikar mengembuskan napasnya yang masih tersengal ketika kaki terakhirnya berhasil memijak di puncak pendakian.

Bruk!

Zulfikar menjatuhkan dirinya ke atas permukaan tanah dengan menjadikan kedua telapak tangan dan kedua lututnya sebagai pijakan. Tak peduli jika tanah yang dipijaknya pun lembek karena guyuran hujan. Kakinya terasa lemas tak bertenaga, dadanya pun masih sesak. Rasa letih seakan terasa semakin menggerogoti tubuhnya. Ia pun membenarkan posisi―duduk di atas tanah dengan kedua kaki yang diluruskan. Kedua tangannya berusaha memijati sepasang kaki yang kini sedang layu itu, meski itu tak berefek apa pun.

Husain melakukan persis seperti yang dilakukan Zulfikar. Duduk dan memijati kedua kakinya. Meski sering kali terdengar desisannya karena pakaian dan tubuhnya yang tampak sangat dekil, ditambah suasana lembab yang sangat membuatnya tidak nyaman.

Mirza memandangi kedua saudaranya itu. Ada perasaan iba ketika melihat kondisi keduanya yang ... cukup memprihatinkan. Perjalanan seharian ini benar-benar sudah menguras tenaga, waktu, bahkan kesabaran. 

“Apa kalian tamunya Eyang Danar?” 

__________bersambung___________

Mari sejenak kirimkan doa untuk saudara-saudara kita di NTT yang sedang tertimpa musibah. Semoga Allah mengganti setiap kesulitan, air mata, dan kehilangan dengan pahala dan hal yang lebih baik lagi.


Aamiin ...

Allah Subhanahu Wa Ta'ala befirman:

اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ

"(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali)."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 156)

#PrayForNTT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top