I. Buku Kosong
"Urip iku urup."
Begitulah Buya Dzaki―guru Zulfikar dan Husain yang berdarah Minang, tapi besar di Jawa itu membuka topik pembicaraannya. Kini, mereka bertiga sedang duduk melingkar di pendopo dekat masjid pesantren. Dersik semilir seolah menjadi simfoni yang mengiringi narasi Buya siang ini.
"Zulfikar, apa kamu mengerti maksudnya?"
Pria yang ditanya oleh Buya pun mengangguk. Tampak yakin jika ia paham dengan falsafah warisan yang dimaksud. "Urip iku urup ... hidup itu nyala. Artinya baik kehidupan, atau keberadaan kita sebagai manusia harus bisa membawa kebermanfaatan bagi orang lain dan sekitar. Tentunya kudu ikhlas, tanpa mengharapkan pamrih. Laksana pohon Ruyung, dari daun sampai akarnya bisa membantu kehidupan manusia. Bahkan enggak pernah protes ketika kolang-kalingnya diambil untuk dibuat kolak yang enak waktu Ramadhan. Duh, jadi laper!" Zulfikar mengakhiri seraya mengusap perut datarnya, dan ...
"Aw, sakit, Hus!" Zulfikar meringis dan langsung mengelus bahu kirinya yang dikeplak Husain.
"Buya sama aku nungguin ... kamu malah guyon wae loh, Jul!" sungut Husain tak terima.
"Aku cuma bicara fakta, Hus. Ini faktanya." Zulfikar mengerutkan bibir. "Lagian, kamu juga suka toh ... kolak kolang-kaling? Sepanci juga bisa kamu habisin, kayak waktu itu tuh ... pas acara keluarga."
Husain mendelik menatap Zulfikar―manusia selengean yang mulutnya super lemes. "Candaanmu itu di waktu yang enggak pas tau enggak!"
Husain adalah rival Zulfikar. Bukan hanya karena usia yang sama, tapi karena dia bisa menjadi 'pawang' terbaik ketika Zulfikar kebablasan. Bahkan pertengkaran semacam ini pun kadarnya lebih dari sekedar sering. Ra gelut, ra masok pokoke. Umpamanya Husain si api merah, dan Zulfikar si api biru. Sama-sama panas, tapi Zulfikar yang paling panas. Kalau keduanya sudah padu, bisa membara jagat Ma'had Nurul Dzikra yang damai ini.
Meski begitu, Zulfikar mengakui, bahwa Husain adalah anak pamannya yang paling cerdas. Bagaimana tidak? Dia adalah dokter muda lulusan UK, cumlaude pula. Benar-benar kriteria mantu idaman! Sebenarnya satu yang sering membuat Zulfikar sebal, apalagi kalau bukan rasa cinta kebersihannya yang sangat ribet. Pangeran Steril, begitulah gelar kehormatan yang diberikan Zulfikar untuknya.
"Wis, jangan ribut lagi. Fokusnya dibalikin, ya?" Suara Buya memecah perseteruan dua pemuda di hadapannya itu.
Baik Zulfikar maupun Husain kembali meluruskan pandangan, menatap sang guru yang wajahnya mulai keriput, rambutnya mulai memutih, pun dengan alis dan juga jenggotnya.
"Jadi ... apa kalimat pembuka tadi ada kaitannya kami dipanggil kemari, Buya?" Akhirnya Husain mengungkap rasa kepo terpendamnya.
Buya mengangguk. "Memang ada kaitannya. Tentang Buya, kalian, orang lain, bahkan semesta. Buya tidak akan mengatakan banyak hal, karena semuanya akan terungkap ketika kalian melakukan tugas yang akan kuberikan."
Zulfikar dan Husain saling lempar pandang―tak paham dengan ucapan Buya sebelum akhirnya mereka menatap pria tua itu lagi.
"Buya ... tolong bicaralah yang jelas. IQ-ku terlalu minus untuk bisa memahami ucapanmu yang rumit itu," ucap Zulfikar setelahnya.
Sesaat Buya tergelak medengar ucapan Zulfikar. Setelah dirasa cukup, ia berdeham untuk menstabilkan dirinya. "Aku akan mengirim kalian ke suatu tempat untuk menjalankan misi perubahan. Tentu saja demi kemaslahatan banyak orang. Selama ini kalian sudah banyak belajar banyak hal, termasuk teori. Baik untuk bersosialisasi, ataupun hidup beragama. Perjalanan ini adalah cikal bakal yang akan membentuk diri kalian yang sebenarnya. Bukankah teori tanpa praktik itu seperti sebuah kecacatan? Pun sebaliknya?"
"Apa Buya mau mengirim kami ke tempat terisolir dan ada peperangan?" Zulfikar menggebu, panik, dan tidak berharap kalau Buya akan mengiakan pertanyaannya.
"Tidak sepenuhnya salah."
Zulfikar melongo tak percaya. "Gimana bisa Buya ngirim kami ke sana? Aku? Hidup di pelosok yang penuh konflik?" Ia menggeleng. "Bahkan imajinasiku tidak sampai, Buya."
Husain memicingkan mata ke arah Zulfikar yang terus saja mengeluh. "Diem dulu bisa enggak sih?! Ribut bener dari tadi," katanya dengan sengak.
"Cih, sok yes banget mau pergi. Manusia gila kebersihan kayak kamu itu ..." Zulfikar melirik Husain dari kepala hingga kakinya, "aku yakin enggak bakal tahan hidup di tempat kayak gitu."
"Oh, ya? Belum juga mangkat, gimana bisa tau hasilnya? Otakmu itu terlalu liar sama hal negatif tau enggak? Perlu disterilkan!"
"Lah, fakta! Memangnya kamu pernah KKN atau hidup di tempat terpencil? Kalo aku sih pernah. Jadi ... yakin aja kalo bisa bertahan. Beda sama Pangeran Steril yang kukenal. Udah takut kotor, takut serangga pula. Ish ... ish ... dasar lemah!"
"Kamu―"
"Haish, kalian ini. Apa enggak bisa kalo lagi bareng enggak gelut?" kata Buya di sela-sela perdebatan Zulfikar dengan Husain. "Zulfikar, Buya tau kalau selama ini tempat paling pelosok yang pernah kamu singgahi sepanjang hidup adalah pesantren ini, atau tempatmu dulu KKN. Tapi, itu bukan alasan untuk menolak maksud baik misi ini, bukan? Pun dengan kamu, Husain."
Kedua pemuda itu menundukkan pandangan. Seperti anak kecil yang baru saja dimarahi ayahnya.
"Memang tempatnya pelosok, sangat jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Tapi ... bukankah itu tantangannya?" Buya menghela napas. "Sebenarnya, desa itu dulunya desa yang bersinar, tapi sekarang ... desa itu seperti mati bersamaan dengan cahaya yang menghilang."
"Maksud Buya?" Zulfikar semakin tak mengerti. Bersinar? Cahaya yang menghilang? Apa listrik tak lagi mengalir di sana? Buya memang sulit dimengerti!
"Apa Buya akan mengirim kami ke sana?" Husain menimpali pertanyaan Zulfikar yang bahkan belum dijawab. "Tapi kenapa kami? Bukankah akan ahsan jika mengirim Abi, atau siapa pun yang lebih berpengalaman? Husain rasa ini tidaklah mudah."
Buya tersenyum. Memandang Zulfikar dan Husain bergiliran. "Bukankah kalian adalah agen perubahan yang akan meneruskan jalan ini? Tantangan menyeru pada kebaikan, akan semakin berat di masa mendatang. Jika kalian saja sudah dulu menyerah sebelum memulai, lantas bagaimana ke depannya nanti?"
Keduanya tak menjawab. Zulfikar dilema. Satu sisi ia senang bisa bebas dari peraturan pesantren yang menyebalkan, tapi di sisi lain ia takut pada kemungkinan terburuk di tempat asing itu.
Mereka hening sesaat.
"Benih yang akan ditebar oleh petani di sawah ... sudah pasti akan diseleksi terlebih dulu, 'kan? Hanya yang terbaiklah yang akan mampu bertahan dari invasi hama. Pun dengan kalian. Kalian itu seperti benih yang murni, yang kelak akan tumbuh, hidup, dan berbaur dengan lingkungan yang lebih luas. Dengan menempa kalian lebih awal, Buya yakin ... kalau kalian kelak bisa bertahan di tengah perubahan zaman yang semakin menggila ini. Buya khawatir kalau kalian yang malah akan terwarnai seandainya tak ditempa sejak awal."
Tak ada sahutan meski Buya telah menyelesaikan perkataannya. Melihat itu, Buya tersenyum tipis. "Kalian tidak akan pergi berdua saja."
Sontak kedua muridnya itu menegakkan pandangannya lagi. Penasaran, dan bingung.
"Akan ada orang ketiga yang akan menjadi pemandu, sekaligus penengah kalian. Buya takut, kalau kalian akan ribut di tengah jalan. Makanya ... Buya mengirim dia untuk pergi bersama kalian."
"Siapa orang itu, Buya?" tanya Zulfikar dan Husain bersamaan.
Buya tersenyum. "Kalian akan bertemu dengannya di dermaga nanti."
***
"Apa ini?" tanya Zulfikar ketika menerima sebuah paper bag batik dari Alif―wanita yang telah dikhitbahnya tiga hari lalu.
"Buka aja."
Zulfikar sesaat memandang Alif, lalu kembali fokus untuk membuka bingkisan itu.
"Buku?" kata Zulfikar ketika melihat isi bingkisan itu adalah sebuah buku bersampul cokelat―mirip buku agenda. Ia membuka sampulnya yang bertali dan mendapati halaman-halaman kertas bookpaper yang beraroma khas kesukaan Alif. Benar. Alif adalah book sniffer, dan jenis kertas novel ini adalah favoritnya.
Gadis itu mengangguk. "Kamu adalah buku kosong itu."
Kedua alis Zulfikar bertaut, diiringi pandangan yang ia naikkan menatap gadis di hadapannya.
"Polos dan tidak bergaris. Seperti kebebasanmu." Alif menjeda ucapannya. "Selama melakukan misi ini, tolong tuliskan perjalananmu dalam buku itu. Bebas dengan gaya tulisanmu. Lalu kembalikanlah padaku saat kamu kembali. Dengan buku yang sudah tak lagi kosong pastinya."
Senyum Zulfikar merekah. Ia kembali menatap benda di tangannya itu. "Baiklah," balasnya. "Tapi satu wasiatku."
Kini giliran kening Alif yang berkerut bingung. Ia pun memandangi pemuda yang masih fokus pada pemberiannya.
"Carilah lagi kebahagianmu jika seandainya aku tak kembali."
"Kamu pasti kembali," sergah Alif, tak mau sampai ucapan Zulfikar terjadi.
Lagi, pria di hadapan Alif itu tersenyum menatapnya. "Tidak ada yang tau bagaimana nanti. Doamu, dan doaku pasti sama ... muara hubungan ini. Aku mengikatmu dalam tali pertunangan yang masih bisa diputus. Jadi, seandainya sesuatu ter―"
"Ucapan adalah doa." Alif memotong ucapan Zulfikar. "Jangan dilanjutkan. Aku mengerti itu, tapi aku akan tetap menunggumu." Pandangan Alif menjadi sayu. Binar bahagia ketika memberikan hadiah itu pada Zulfikar seolah padam begitu saja.
"Kata 'sah' belum terlantun, dan aku tidak ingin mengurungmu dalam penjara kesedihan jika memang aku tidak bisa kembali. Jadi, apa pun yang terjadi nanti ... kamu harus terus bahagia." Kebiasaan yang Zulfikar berikan adalah memberi wasiat sebelum pergi, meski doanya selalu terucap agar ia bisa kembali.
Alif menundukkan pandangannya semakin dalam. Hening, itulah yang kini terjadi meski di sana juga ada Buya, Umi dan Abi Zulfikar, serta kedua orang tua Husain. Seolah suasana di sana hanya menjadi miliknya dan Zulfikar.
"Woy!"
Suara teriakan itu berhasil meruntuhkan keheningan antara Alif dan Zulfikar. Semua orang yang ada di depan gerbang pesantren itu langsung menoleh ke sumber suara.
"Pfft ... hahaha ..." tawa Zulfikar pecah hingga menarik atensi orang-orang di sana.
Husain berjalan tergopoh mendekati Zulfikar. Ia memakai masker, kacamata hitam, sarung tangan, sepatu kets, jaket, topi, lengkap dengan tas carrier yang melebihi tinggi kepalanya.
"Kamu itu mau pergi ke desa, apa mau ngartis?" Zulfikar kembali tertawa.
Manusia pecinta kebersihan itu membuka maskernya. "Kita enggak tau gimana kondisi di sana. Mencegah lebih baik daripada mengobati."
"Hah ... iya juga. Pangeran mana boleh kena panas? Takut item, dekil, kuc―"
"Mingkem aja kamu!"
"Udah-udah, jangan berantem lagi oke," kata Umi Nuha―uminya Zulfikar melerai. "Zulfikar, kamu juga ... hobi banget ngusilin Husain. Enggak malu apa dilihatin Alif juga?"
"Husain yang mulai, Mi. Coba lihat penampilannya ... meriah banget." Tawa Zulfikar kembali pecah. Ia tak mengindahkan lagi teguran uminya.
"Istigfar kamu, Zulfikar!" Kini Abi Fikri yang maju. Raut muka Zulfikar langsung berubah. Ia diam. Orang-orang di sana pun juga kaget mendengarnya.
Selang beberapa detik kemudian, sebuah mobil APV berwarna silver yang akan Zulfikar dan Husain tumpangi menuju dermaga tiba.
Cepat-cepat Zulfikar menyalami Uminya. "Mi, Zulfikar berangkat."
Umi Nuha menarik putra semata wayangnya itu ke dalam pelukan. "Hati-hati. Jaga sholat, jaga iman, dan jaga hati. Semuanya menunggumu pulang, Le."
Pelukan itu pun lepas. Zulfikar mengangguk dan kemudian beralih memeluk Buya.
"Ingat pesan Umimu." Buya melepas pelukannya dan memegangi kedua bahu Zulfikar. "Buya yakin, kamu bisa menyelesaikannya." Ia melepas pelukannya, dan lanjut menyentuh puncak kepala Zulfikar. "Semoga Allah selalu melindungimu."
Seutas senyum terbit di wajah Zulfikar. "Aamiin." Pemuda itu pun langsung beralih ke Abinya. Mereka sempat adu tatap, sebelum akhirnya Zulfikar menyalami Abinya dengan malas dan singkat.
"Zu―" Abi Fikri ingin mengatakan sesuatu, tapi Zulfikar langsung berlalu ke hadapan Alif.
"Aku berangkat," ucapnya seraya memandang Alif yang masih terus menunduk. "Assalamu'alaikum."
Bibir Alif bergetar ketika ucapan salam itu sampai ke pendengarannya. Pun dengan degup jantungnya yang semakin tak beraturan. Bukankah yang namanya menyambut itu harus gembira? Lantas, bagaimana jika itu menyambut kepergian orang terkasih? Terlebih tidak ada waktu pasti kapan ia akan kembali. Haruskah hati tetap bahagia?
"Wa-wa'alaikumussalam." Akhirnya Alif menjawab, meski dengan terbata.
Zulfikar tersenyum setelah mendengar salam balasan dari Alif. Ia pun berbalik, dan melangkah menuju mobil APV yang sudah terparkir menunggu.
"Kembalilah dengan selamat."
Suara Alif menghentikan langkah Zulfikar. Pemuda itu kembali berbalik, memandang sejenak Alif yang kini berjarak lima meter darinya, tersenyum sebentar, dan langsung berbalik lagi masuk ke mobil tanpa menjawab.
***
Dua jam berlalu. Selama perjalanan tadi, Zulfikar hanya diam. Memandangi pemandangan di luar kaca mobil yang seperti berjalan mengikuti lajunya. Namun, semuanya berubah ketika kaki pemuda itu telah menapak bumi lagi. Ia kembali menjadi diri yang sebelumnya, berisik dan selengean. Dasar manusia aneh!
Selesai menunaikan salat zuhur di musala terdekat, keduanya tiba di area dalam dermaga. Mereka terus melangkah di bawah terik seraya mengedarkan pandangannya untuk mencari orang yang dimaksud Buya.
"Katanya ketemu di dermaga? Mana? Dicari-cari enggak ketemu."
"Coba cari yang baju biru."
Zulfikar mengerutkan keningnya. Berkacak pinggang menatap Husain yang sibuk membenarkan topinya. "Heh ... ini tuh tempat umum. Coba lihat ... yang pake baju biru enggak cuma satu. Gimana sih, Hus!"
"Kata Buya orangnya bakal nunggu di jembatan," tambah Husain.
"Jembatan?" Zulfikar langsung mencari jembatan yang memang hanya ada satu di sana. Begitu menemukannya, matanya pun langsung berbinar. "Kayaknya itu deh. Ke sana, kuy!" ajaknya setelah melihat orang dengan ciri yang dikatakan tengah berdiri di ujung titian kayu dermaga.
Kedua pemuda itu langsung berlari cepat menuju jembatan. Sesampainya, Zulfikar seperti mengenali perawakan orang itu. Tubuh tinggi tegap dengan bahu lebar, rambut hitam, dan kulit putih bersihnya yang semakin bercahaya ketika terkena matahari.
"Mas Mirza?"
__________bersambung__________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top