2. How Much Did I Hurt You?

Anna mengaduk perlahan teh di hadapan, menggerakkan sendok dari dengan gerakan maju dan mundur perlahan tanpa menimbulkan denting dari cangkirnya. Beberapa kue manis dan sepotong roti lapis tersaji di sampingnya, menanti untuk dicicipi. Dia kini sedang menikmati afternoon tea-nya, sendirian, di salah satu tea room milik hotel mewah yang ada di Manchester. Dari tempatnya duduk, kesibukan kota terbesar kedua di Inggris, setelah London itu bisa dia nikmati. Tujuannya datang kemari, selain karena short course untuk para akuntan yang dia ikuti di Manchester Metropolitan University, tapi juga karena dia ingin menikmati liburan sejenak, menjauhkan diri dari dunia kerja yang mulai terasa menjemukan, kembali pada masa-masa kuliahnya.

Ketika wanita itu mulai menyesap tehnya, ponsel yang dia letakkan di atas meja mulai bergetar, dan menampilkan nama 'Arkandhut' di layar, nama yang telah dia gunakan sejak pertama kali memiliki ponsel, dan dia terlalu malas untuk mengubahnya. Membuat Anna mengerutkan alisnya. Sebulan lalu, ketika dia baru pertama kali datang, dia sudah mengabari Arkan, meskipun baru dia lakukan setelah tidur dan berkurang jetlag-nya.

Anna hanya mengirim pesan singkat melalui aplikasi chat, yang langsung mendapatkan balasan dari CEO itu. Pria yang tiba-tiba kembali menjadi sosok cerewet itu bertanya tentang suhu di sana, juga meminta Anna untuk menyiapkan pakaian yang lebih hangat karena sudah mendekati musim dingin. Dan balasan dari wanita itu? Tidak ada. Meskipun hampir setengah jam Anna membaca ulang percakapan singkat mereka, Anna tak memberikan balasan apapun.

Selama dua belas tahun dia tak pernah berkomunikasi secara personal dengan laki-laki, dia tak pernah merasa nyaman dengan obrolan-obrolan non-bisnis dengan kaum adam itu. Dan, meskipun dulu dia pernah akrab dengan Arkan, tak menjadikannya merasa nyaman untuk bicara lebih banyak dengan pria itu setelah kesalahpahaman di antara mereka selesai.

Dengan menghela napas, Anna mengusap layar ponselnya sebelum meletakkannya di samping wajah. Wanita itu melirik jam tangan di pergelangan tangannya, jam empat sore, berarti di Indonesia sudah jam sebelas malam.

"Kau mabuk lagi?" tanya Anna sambil memijat pangkal alisnya, mempersiapkan diri dengan semua ocehan pria itu.

"Apakah aku selalu menelepon ketika aku mabuk?" jawab Arkan dengan suara yang sangat jelas, membuat Anna langsung menegakkan pundaknya, waspada pada apapun yang akan dibicarakan orang itu.

"Kau sudah minum berapa gelas?" Anna kembali bertanya, dia tak pernah menyiapkan diri untuk membicarakan ini dengan Arkan, bukankah selamai ini ketika sadar Arkan tak pernah membicarakan perilakunya selama mabuk? Dia tak pernah ingat apapun yang terjadi ketika alkohol menguasai darahnya.

"Tak satu gelas pun." Ada marah yang tertahan pada nada bicara Arkan, membuat Anna tak mengerti.

"Lalu mengapa kau meneleponku?" Anna berusaha melawan keinginannya dari memutuskan sambungan, karena dia tahu itu tak akan memberikannya ketenangan.

"Jadi benar, aku selalu menelepon ketika mabuk?"

"Aku tak tahu, tapi ketika menelepon kau selalu mabuk." Anna menggenggam tangannya kuat.

"Mengapa kau tak bilang apapun soal itu?" Kali ini Arkan yang bertanya, marah. Tapi kepada siapa?

"Karena itu tak penting!" Hampir saja Anna memekik, tapi dia berusaha menahan suaranya.

"Jadi tak pernah ada yang benar-benar penting dariku?" Anna bisa mendengar pria di ujung telepon itu mendengus frustrasi.

"Bukan itu maksudku."

**

Anna terdengar kesal dari ujung telepon, dan itu membuat Arkan sadar dia melakukan kesalahan. Dia memang marah, tapi objek kemarahannya adalah dirinya sendiri. Dia bahkan harus menahan kepala dengan tangan karena saat ini dia benar-benar ingin membenturkan kepalanya ke tembok. Dalam keadaan seperti ini, biasanya dia akan berdiam di lounge dan memanjakan frustrasinya dengan alkohol. Dan ketika keinginannya untuk menenggak alkohol semakin menjadi, dia memilih berjalan menjauh dari bangunan club dan menuju mobilnya.

Telepon masih tetap di samping wajahnya, tapi tak ada percakapan. Dia perlu mengatur emosinya sebelum bicara, dan sepertinya itu juga yang sedang dilakukan Anna, karena tak ada suara yang terdengar dari speaker ponselnya.

"Menurutmu aku tak berhak tahu kebodohanku sendiri?" Pria itu memijat lehernya yang mulai terasa tegang, duduk di atas kap mobil mewah miliknya.

"Jika aku memberi tahu, apakah kau akan menghentikan kebodohanmu?" tantang Anna, semakin memojokkan Arkan, tak mampu memberikan jawaban. "Aku pernah menghadapi orang mabuk sebelumnya. Sehingga aku cukup tahu, bahwa apapun yang dilakukan ketika mabuk, kita tak perlu menganggapnya penting. Ketika sadar, itu semua hanya bualan." Kata-kata Anna bergetar, sangat emosional. Arkan tahu siapa yang wanita itu bicarakan, ayahnya.

"Maaf," Arkan menelan segala kebanggaannya, "Untuk semua hal yang telah aku lakukan." Dia berharap bebannya terkurangi dengan mengatakan itu, tapi nyatanya perasaannya makin sesak, mengetahui bahwa satu-satunya hal yang bisa dia lakukan hanya sebatas permintaan maaf.

"Can we just move forward? Aku tak suka membicarakan masa lalu." Anna menghela napas di akhir kalimat, menyerah atau lelah?

"How much did I hurt you?" Pertanyaan Arkan bukan untuk lawan bicaranya, tapi untuk dirinya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top